Perjuangan Demi Bisa Memilih
Derap langkahnya tertatih. Asam urat di kaki kanannya membuat ia harus menahan sakit saat berjalan. Akibatnya, tak hanya sekali langkahnya terhenti ketika menuju lantai empat Kantor Komisi Pemilihan Umum Jakarta Selatan. Kendati begitu, semangatnya tak surut untuk memperjuangkan hak pilihnya.
Pagi itu, Jumat (5/4/2019), Warsi bersama keluarga dan temannya berangkat bersama dari tempat tinggalnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta, untuk mengurus surat pindah memilih. Khusus Warsi, dia merelakan hari itu izin tidak bekerja.
Di Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019, nama mereka tercantum di tempat asal mereka, di Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Sementara saat waktu pemungutan suara, 17 April 2019, mereka berencana memilih di Jakarta.
“Harus masuk kerja, Mas. Tidak seperti pemilu sebelumnya, pemilu nanti saya kerja,” ujar Warsi yang sehari-hari bekerja sebagai juru masak di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.
Namun perjuangannya untuk memperoleh formulir A5 atau surat pindah memilih, bukan perkara mudah. Saat menyerahkan berkas ke petugas KPU, dia diberitahu berkasnya tidak lengkap.
“Ada yang salah dari surat keterangan dari perusahaan. Harus diubah. Saya harus kembali ke perusahaan minta surat baru,” katanya dengan nada kecewa.
Surat dimaksud, surat yang membuktikan dirinya betul-betul bertugas di hari pemungutan suara. Ini disyaratkan oleh KPU untuk memperoleh surat pindah pemilih.
Untungnya, temannya bersedia mengurus kembali ke perusahaan, hari itu juga. Tak ingin kehilangan hak pilih, Warsi pun setia menunggu temannya di kantor KPU Jakarta Selatan.
Tengah hari, temannya baru datang. Namun dia datang saat petugas KPU masih istirahat untuk Salat Jumat. Akhirnya Warsi harus menunggu kembali. Sekitar pukul 14.00, baru Warsi bisa menyerahkan surat tugas yang sudah direvisi. Petugas menerima berkas itu, dan kemudian menyerahkan A5 ke Warsi.
“Alhamdulillah sudah dapat. Jadi nanti 17 April, bisa milih pilihan saya,” kata Warsi.
Warsi tidak sendirian, selain dia, ada puluhan pemilih lain yang mendatangi KPU Jaksel hari itu. Sejak kantor dibuka pukul 09.00 hingga pukul 16.00, mereka bergiliran datang. Tujuannya sama, tidak ingin hak pilihnya hilang.
Gagal
Sebagian dari mereka berhasil memperoleh A5 seperti Warsi tetapi tak sedikit pula yang gagal.
Ini seperti dialami oleh Yemima Tisyri (21), mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Satu jam lebih dia mengantre tetapi setelah giliran tiba pada dirinya, dia harus menerima kenyataan tidak bisa memperoleh A5.
“Petugas bilang mahasiswa sudah tidak bisa lagi mengurus formulir A5,” keluhnya. Untuk kategori pemilih seperti dirinya, A5 hanya bisa diurus maksimal 30 hari sebelum pemungutan suara. Saat itu, dia tak bisa mengurusnya karena sibuk kuliah.
Begitu pula saat hari pemungutan suara, tak mungkin dia kembali kembali ke Medan, tempat namanya tercatat di daftar pemilih tetap Pemilu 2019. Menjelang akhir semester, tugas kuliah menumpuk, yang membuatnya tidak mungkin pulang.
Dengan kenyataan itu, Yemima harus melewatkan pemilu pertamanya. Upayanya selama ini untuk mengikuti visi dan misi dari peserta Pemilu 2019, juga meneliti rekam jejak mereka, sebagai bekal saat memilih, tak pelak harus dikuburnya dalam-dalam.
Nasib serupa dialami oleh Tsani Sirojul Munir (25). Dia mengurus A5 di KPU Jakarta Pusat setelah sebelumnya mencoba mengurusnya di kantor KPU Pusat dan kantor KPU DKI Jakarta. Untuk diketahui, lokasi setiap kantor berjauhan jaraknya. Jadi, tak hanya makan waktu tetapi juga tenaga dan biaya.
“Saya kira sama seperti Pemilu 2014, hanya tunjukin KTP elektronik dan terdaftar di DPT untuk mengurus A5. Namun ternyata ada persyaratan lain, harus ada keterangan dari perusahaan bahwa saya bekerja saat pemungutan suara," ucapnya.
Surat ini yang tak mungkin dipenuhinya. Sebab, saat waktu pemungutan suara, perusahaan tempatnya bekerja meliburkan seluruh karyawannya. Oleh karena libur, KPU menilai Tsani bisa menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara di Surabaya, di mana namanya tercatat sebagai salah satu pemilih.
Padahal tak mungkin Tsani pulang ke Surabaya. "Ongkosnya mahal dan hanya sehari lalu kembali ke Jakarta,” katanya.
Dihadapkan pada kendala biaya tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk tidak memilih di Pemilu 2019.
Tidak hanya di Jakarta, fenomena masyarakat berbondong-bondong mengurus A5 juga terpantau di kantor-kantor KPU di daerah. Dan sama seperti di Jakarta, sebagian berhasil memperolehnya. Sebagian lain gagal, sehingga sepertinya harus merelakan hak pilihnya tak digunakan di pemilu kali ini.
Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XVII/2019, tanggal 28 Maret 2019, memang membuka ruang lebih banyak orang untuk bisa menggunakan hak pilihnya.
Salah satunya, karena ruang pengurusan surat pindah memilih yang sebenarnya sudah habis 30 hari sebelum hari pemungutan suara, diperpanjang menjadi tujuh hari sebelum hari pemungutan suara. Itu berarti tenggat pengurusan surat pindah yang semula 17 Maret 2019, diperpanjang menjadi berakhir di 10 April 2019.
Meski demikian, ruang yang dibuka MK sangat terbatas. Pasalnya, mereka yang boleh mengurus A5 di masa perpanjangan waktu, hanya pemilih dengan keadaan tertentu. Yang masuk kategori ini, pemilih yang sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, dan menjalankan tugas saat pemungutan suara.
Pembatasan itu harus rasional dan tidak mempersulit pemilih menggunakan hak pilihnya, apalagi hanya karena prasyarat administratif
Oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mereka yang masuk kategori menjalankan tugas adalah pemilih yang saat hari pemungutan suara tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat domisilinya karena harus menjalankan tugas. Ini harus dibuktikan dengan surat tugas atau keterangan yang dikeluarkan perusahaan.
Bagaimana dengan pelajar? Kebanyakan KPU di daerah tidak memasukkan mahasiswa dalam kategori pemilih dengan keadaan tertentu. Namun ada pula yang memasukkannya.
Salah satunya, KPU Jakarta Selatan. "Jika dia (mahasiswa) baru dapat pengumuman 20 Maret 2019 dan mulai kuliah pada 1 April 2019, tentunya dia memenuhi syarat. Karena mereka tidak mampu memperkirakan perpindahan tersebut sebelum tanggal 17 Maret 2019," kata Komisioner KPU Jakarta Selatan Ahmad Barizi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berharap KPU bisa memaknai putusan MK itu untuk "merangkul" kelompok pemilih yang kesulitan kembali ke domisilinya.
Sekalipun mereka libur saat waktu pemungutan suara, bukan berarti mereka bisa kembali untuk memilih. Ada faktor-faktor lain yang rasional yang patut dipertimbangkan oleh KPU agar mereka tetap bisa memilih di tempat lain.
"Semangat di balik lahirnya putusan MK itu hendaknya bisa ditangkap oleh KPU. Memang betul MK mengatakan untuk pemilu yang jujur dan adil diperlukan tertib administrasi sehingga dibenarkan ada pembatasan. Namun pembatasan itu harus rasional dan tidak mempersulit pemilih menggunakan hak pilihnya, apalagi hanya karena prasyarat administratif,” jelasnya.
Selain itu, penting pula bagi KPU agar melahirkan petunjuk teknis yang jelas bagi KPU di daerah agar tidak melahirkan perlakuan yang berbeda bagi pemilih yang mengurus surat pindah pemilih. Hal tersebut penting agar pemilih tidak merasa mengalami diskriminasi yang justru bisa berdampak buruk pada proses demokrasi lima tahunan ini.
Akhir pekan lalu, KPU telah menjanjikan petunjuk yang lebih detil bagi KPU di daerah. Tentu harapannya, hak pilih mereka yang terancam hilang karena tak bisa kembali ke domisilinya, sekaligus bisa diselamatkan.