Pengajuan PK oleh Terpidana Korupsi Harus Disikapi Bijak
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 26 terpidana kasus korupsi mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sejak Maret hingga Desember 2018. Dengan belum diprosesnya sebagian besar pengajuan langkah hukum untuk meringankan hukuman tersebut, sejumlah kalangan mengingatkan kembali agar fenomena ini harus disikapi dengan bijak oleh pihak-pihak terkait.
”Mereka, para pemohon PK (peninjauan kembali), mengemukakan kembali bukti-bukti yang sudah diungkapkan, baik di persidangan maupun kasasi, bukan bukti yang dikategorikan sebagai novum,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan, dalam diskusi di Jakarta, Rabu (13/3/2019).
ICW mengatakan, 26 terpidana korupsi mengajukan PK dengan mengemukakan kembali bukti yang pernah sampaikan. Padahal, sesuai Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan PK harus memiliki dasar bukti baru (novum) atau kekhilafan hakim di pengadilan tingkat sebelumnya.
Terpidana kasus korupsi yang mengajukan PK itu antara lain mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Jero Wacik, serta mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Selain itu, ada mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar dan anggota DPR Dewie Yasin Limpo yang terakhir mengajukan pada 13 Desember 2018. Mereka dipidana dengan hukuman penjara mulai dari 2 tahun hingga 14 tahun.
ICW pun meminta Mahkamah Agung (MA) agar menolak setiap permohonan PK yang diajukan terpidana korupsi, seperti halnya MA yang menolak PK oleh Siti Fadilah. Mantan Menkes ini merupakan terpidana korupsi alat kesehatan dan dihukum 4 tahun penjara. Terhadap pengajuan PK yang dilayangkan pada 24 Mei 2018, MK telah menolaknya pada 5 Desember 2018.
ICW juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengawasi jalannya persidangan serta hakim yang memeriksa PK terpidana korupsi, yang juga menjadi wewenang Komisi Yudisial.
Masukan tersebut diapresiasi Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang ditemui secara terpisah. Menurut dia, sesuai kewenangan dalam memproses PK, KPK sudah mengajukan jawaban dan bantahan-bantahan terhadap 26 PK yang diajukan terpidana korupsi tersebut.
”Dari perspektif kami, mestinya sejumlah PK tersebut ditolak karena bukti-bukti sudah diuji di persidangan yang terbuka untuk umum, apalagi sejumlah PK yang diajukan juga tidak mengandung novum atau bukti baru,” tuturnya.
Menurut ICW, pengajuan PK kerap dimanfaatkan terpidana korupsi untuk bebas dari jeratan hukum. Berdasarkan data 2007 sampai 2018, ada 101 narapidana kasus korupsi yang dibebaskan, 5 putusan lepas, dan 14 lainnya dihukum lebih ringan dari tingkat pengadilan karena pengajuan PK. Perkara tersebut tidak hanya dari yang ditindak oleh KPK, tetapi juga aparat hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Faktor Artidjo
Banyaknya pengajuan PK oleh terpidana kasus korupsi juga ditengarai akibat pensiunnya hakim agung dan Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar pada 22 Mei 2018. Selama 18 tahun menjadi hakim agung, Artidjo dikenal sering memberikan putusan hukuman berat pada pelaku kasus korupsi.
ICW mencatat, pada 2009-2018, Artidjo setidaknya telah memvonis 842 pelaku korupsi dengan putusan hukum berat. Tidak hanya itu, pada periode yang sama, Artidjo juga menolak 10 PK yang diajukan oleh terpidana korupsi.
”Atas dasar itu, menjadi mudah membangun teori kausalitas atas tindakan narapidana korupsi yang mengajukan PK saat ini,” ujar Kurnia.
Kesimpulan itu setidaknya terlihat dari waktu pengajuan PK oleh mayoritas terpidana korupsi, yakni sekitar Mei 2018, setelah Artidjo pensiun.
Abdul Fikar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, dalam acara diskusi Rabu, berpendapat, pensiunnya Artidjo berdampak psikologis ataupun sosiologis bagi paradigma para terpidana yang diperberat hukumannya oleh Artidjo.
”Putusan-putusannya yang lebih banyak menghukum berat para koruptor ini menjadi sesuatu mengerikan sehingga mereka tidak berani mengajukan PK. Setelah dia pensiun, MA dan MK harus lebih ketat mengawasi pengajuan PK yang didasari adanya keadaan baru,” katanya.
Pada 2009-2018, Artidjo setidaknya telah memvonis 842 pelaku korupsi dengan putusan hukum berat. Pada periode yang sama, Artidjo juga menolak 10 PK yang diajukan terpidana korupsi.
Selain faktor Artidjo, Fikar juga berteori, fenomena pengajuan PK karena faktor kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar dan faktor kepercayaan. Faktor Antasari didasarkan pada pengalaman terpidana kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen, tersebut yang pernah mengajukan PK lebih dari satu kali.
Pada 2014, MK mengabulkan gugatan Antasari perihal PK. Melalui putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal Maret 2014, MK menyatakan Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Teori terakhir yang menurut Fikar menjadi pendorong banyaknya terpidana mengajukan PK adalah faktor kepercayaan.
”Faktor ketidakpercayaan bisa positif atau negatif. Ketidakpercayaan positif kalau dasarnya kritik kepada sistem hukum yang ada. Yang negatif, bisa karena para koruptor berpikir mereka bisa mengerahkan segala sumber daya untuk menolak hukuman dengan mengajukan PK,” tuturnya. (ERIKA KURNIA)