JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mengadakan pertemuan di Kalimantan Timur dengan pihak pemerintah dan lembaga terkait untuk menindaklanjuti temuan pengelolaan tambang batubara bermasalah. Pertemuan itu dilakukan untuk mulai menjalankan sejumlah rekomendasi dalam rangka mencegah bertambahnya kerugian negara.
Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK Wawan Wardiana, di Jakarta, mengatakan bahwa pertemuan itu merupakan kelanjutan dari rapat koordinasi pada 16 November 2018. Rapat koordinasi dilakukan untuk meningkatkan pengawasan penambangan dan perdagangan batubara.
Pada Selasa (26/2/2019), KPK mengirimkan Tim Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Kasupga) dan Litbang untuk bertemu dengan berbagai pihak, antara lain Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla), dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Pertemuan diadakan di Samarinda dan Balikpapan.
”Rekomendasi yang dibuat seperti penuntasan penagihan kewajiban royalti ataupun bagi hasil ke daerah oleh pemegang izin tambang yang tidak clear and clean. Dalam hal pengawasan, seperti persiapan membuat kantor pengawasan terpadu di jalur sungai tempat keluar masuknya kapal pembawa batubara,” katanya kepada Kompas.
Dalam rapat koordinasi sebelumnya, KPK dan sejumlah pihak terkait turun ke lapangan dan menemukan sejumlah permasalahan. Salah satunya adalah ditemukannya sejumlah jetty atau pelabuhan batubara tak berizin dan tidak berfungsi.
Pelabuhan bermasalah tersebut berlokasi di beberapa titik di muara Sungai Mahakam, tepatnya di Kecamatan Anggana. Masalah ditambah dengan jauhnya pengawasan lembaga berkepentingan, seperti Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan yang terkonsentrasi di Samarinda. Kondisi ini ditengarai merugikan daerah.
”Oleh karena itu, pembuatan kantor pengawasan terpadu akan dibangun, dan pemerintah provinsi hadir di situ. Nantinya, kapal yang lewat akan diketahui jelas dari perusahaan mana, berapa banyak kalorinya, tujuannya ke mana, semua tercatat,” tutur Wawan.
Temuan di Kalimantan Timur tersebut akan menjadi model bagi koordinasi pengawasan sumber daya alam di daerah lain, dengan KPK menjalankan kewenangan pemantauan. Hal ini untuk mencegah kerugian negara akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak maksimal.
Menurut data Litbang KPK tahun 2013, negara rugi hingga Rp 1,2 triliun karena kewajiban royalti penambangan tidak disetorkan oleh pengusaha.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menghitung potensi kerugian negara hingga Rp 133 triliun sejak 2006 hingga 2016. Indikasi kerugian negara ini disebabkan adanya transaksi ekspor batubara berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak dilaporkan.
Lama diabaikan
Pengampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Dwi Sawung, mengatakan, temuan kasus oleh KPK sudah bertahun-tahun dilaporkan, bahkan sudah melahirkan rekomendasi. Sayangnya, rekomendasi tersebut belum dikerjakan.
”Kendalanya pada aparat di bawah untuk menegakkan peraturan. Bisa jadi, mereka juga ketakutan atau mereka juga bagian dari sistem,” ujarnya yang dihubungi pada hari Rabu (27/2).
Mengenai pengawasan, ia juga telah mendapat laporan adanya praktik petambang ilegal yang menyelundupkan hasil batubara ke pelabuhan berizin sekalipun. Untuk mengontrol hal tersebut, pihak berwenang diharapkan salah satunya bisa memanfaatkan teknologi informasi.
”Harusnya terbatas saja yang diberikan izin. Pengawasannya harusnya juga sudah menggunakan alat berbasis online dan realtime,” ujarnya.
Menurut catatan Walhi Indonesia dalam buku ”Tinjauan Lingkungan Hidup 2019”, pasokan batubara domestik disebutkan kadang disalahgunakan untuk kebutuhan ekspor. Untuk itu, pengawasan yang kuat antarlembaga diharapkan hadir di kawasan tersebut. (ERIKA KURNIA)