JAKARTA, KOMPAS – Dalam mewujudkan proses Pemilihan Umum yang berkualitas, penyelenggara pemilu memiliki peranan paling besar dibandingkan peserta dan pemilih. Kini, penyelenggara pemilu dihadapkan pada proses rekrutmen di tingkat bawah yang cenderung kompleks.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, karena penyelenggara pemilu memegang peran besar tersebut maka prinsip kode etik penyelenggaraan Pemilu harus dijunjung tinggi.
“Setidaknya ada empat komponen yakni regulasi, penyelenggara, peserta, dan pemilih. Penyelenggara memiliki peran paling besar,” kata Arief dalam acara diskusi yang diselenggarakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Selain Arief, narasumber dalam diskusi bertema "Penguatan Kapasitas Kelembagaan Penyelenggara Pemilu untuk Pemilu Berintegritas" tersebut ialah Ketua DKPP Harjono; Anggota DKPP Ida Budhiati; Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso; Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Melda Kamil Ariadno; dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti.
Arief mengatakan, KPU terus mengedepankan prinsip-prinsip etika yakni transparansi, profesionalisme, dan integritas. Berbeda dengan komponen lain, penyelenggara pemilu memiliki kemungkinan dilaporkan dalam berbagai perspektif mulai dari persoalan etika hingga pidana.
“Indonesia harus mengeluarkan energi yang cukup besar untuk penyelenggaraan Pemilu,” ungkap Arief.
Pada Pemilu 2019 ini, Arief mengatakan, ada sekitar 17 juta orang yang terlibat pada 809.500 TPS. Adapun KPU akan merekrut setidaknya 7,2 juta orang sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) karena setiap tempat pemungutan suara (TPS) setidaknya akan ada 9 anggota KPPS.
“Dalam proses rekrutmen, mereka ditanya apakah berpartai atau tidak, umurnya cukup atau tidak, sudah dua kali menjadi penyelenggara atau tidak, macam-macam syaratnya,” tegas Arief.
Kompleksitas
Sementara itu, Abhan mengatakan, dalam proses rekrutmen pengawas TPS, Bawaslu juga berusaha memenuhi kompleksitas tersebut. Kendala terbesar yang dihadapi saat ini adalah mencari calon yang berusia minimal 25 tahun. Sebagai perbandingan, usia minimal KPPS adalah 18 tahun.
“Saat masih ada lebih kurang 20 persen yang belum terpenuhi. Strateginya, kami mengambil dari desa lain, tapi itu juga tidak mudah karena ada desa yang keberatan,” ungkap Abhan.
Meski begitu, Abhan tetap optimis dapat memenuhi kebutuhan tersebut sebelum 20 Maret 2019. Saat ini seluruh proses rekrutmen sedang dilakukan di Bawaslu tingkat daerah. Selain itu, Bawaslu juga akan menyiapkan pelatihan kepada pengawas TPS dan saksi dari partai politik.
Kepercayaan publik
Harjono menegaskan, DKPP akan terus menjaga agar kepercayaan publik terhadap penyelengggara pemilu tidak turun. Dalam hal ini kode etik penyelenggara harus terus diperhatikan. Ia mengajak seluruh masyarakat untuk melaporkan kepada DKPP jika mengetahui ada pelanggaran dari penyelenggara pemilu.
“Mereka bisa melanggar kode etik tanpa melanggar pidana, tapi saat melanggar pidana pasti melanggar kode etik,” kata Harjono.
Harjono mengatakan, selama 2018 setidaknya sudah ada 70 orang penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran berat dan sudah diberhentikan. Angka tersebut meliputi anggota KPU dan Bawaslu dari berbagai tingkat.
“Pelanggarannya macam-macam, namun yang terberat adalah saat mereka melakukan pelanggaran yang menurunkan kredibilitas dan integritasnya,” ungkap Harjono.
Adapun Susi mengemukakan, pemerintah kini sedang membentuk suatu sistem pemilu yang berintegritas melalui berbagai cara. Salah satunya memberlakukan sistem pengawasan dan keseimbangan antarlembaga penyelenggara.
“Dengan sistem tersebut tidak ada lembaga yang merasa lebih superior dibandingkan lembaga lain,” kata Susi. (FAJAR RAMADHAN)