JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan dari masyarakat sipil berharap para calon anggota legislatif mampu menjaga rasionalitas pemilih dalam rentang waktu kampanye yang semakin sempit. Pemilih perlu mengenal langsung calon legislator yang bertarung dalam Pemilihan Umum 2019 serentak di daerah masing-masing.
Peneliti politik Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik M Pratama, Sabtu (23/2/2019), di Jakarta, mengungkapkan kekhawatirannya atas kurang masifnya kampanye oleh para calon anggota legislatif (caleg) sejak 23 September 2018. Sementara masa kampanye berakhir pada 13 April 2019 dengan diselingi periode kampanye rapat umum, iklan media cetak, elektronik, dan daring pada 24 Maret 2019.
”Sejauh ini, saya kira, caleg masih akan menunggu 21 hari terakhir kampanye. Bayangkan, berapa banyak informasi yang akan dipaparkan banyak caleg kepada calon pemilih. Ini bisa mengganggu rasionalitas masyarakat,” kata Heroik seusai acara diskusi bertajuk ”Apa Kabar Pileg” di Jakarta, Sabtu.
Rasionalitas yang dimaksud adalah kemampuan masyarakat memilih peserta pemilu berbasis visi dan misi ataupun program yang ditawarkan. Untuk menjaga rasionalitas tersebut, caleg harus melakukan kampanye dua arah jelang pemilu legislatif (pileg) mendatang.
”Perundang-undangan yang ada telah memfasilitasi adanya pertemuan terbatas, pertemuan terbuka, pertemuan akbar, yang bisa memanfaatkan forum-forum kepartaian. Upaya ini bukan hanya untuk kepentingan elektoral, tapi juga setelah pemilu,” ujarnya.
Kepentingan caleg untuk dikenal dekat oleh masyarakat adalah konsekuensi dari sistem proporsional daftar terbuka. Dalam sistem ini, kemenangan caleg ditentukan berdasarkan suara terbanyak.
Bersamaan dengan itu, ada kedekatan yang harus dicapai, baik oleh caleg maupun pemilih. Kedekatan itu perlu dijalin tidak hanya pada masa pemilu, tetapi juga setelah masa pemerintahan baru berjalan.
Polarisasi partai
Kurang masifnya kampanye caleg juga dinilai semakin diperburuk oleh pamor pemilu presiden-wakil presiden (pilpres). Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mahfudz Sidiq, yang juga hadir dalam diskusi itu, mengkhawatirkan adanya polarisasi dalam partai pengusung caleg.
”Ketika pilpres lebih ingar-bingar, ada polarisasi yang kuat. Itu tidak hanya melibatkan calon presidennya, tetapi juga partai pendukung. Ketika ada polarisasi terjadi, suasana pemilu yang dibawa bukan lagi politis, tetapi juga ideologis. Hal ini membuka peluang-peluang terjadinya kekerasan,” tuturnya.
Polarisasi semacam itu juga dikhawatirkan membuat masyarakat cenderung memilih caleg berdasarkan partai. Meski tidak ada larangan atas pilihan tersebut, keputusan memilih caleg hanya berdasarkan partai tidak sesuai dengan semangat sistem proporsional daftar terbuka.
”Dengan sistem itu, masyarakat diberi kesempatan agar tidak memilih kucing di dalam karung. Masyarakat tentunya diharapkan tidak hanya pilih partai, tetapi pilih orang atau figur caleg,” ujar pengurus Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiansyah, salah satu pembicara.
Pada pemilu 17 April 2019, masyarakat tidak hanya akan memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Partai peserta Pemilu 2019 berjumlah 16 partai nasional dan empat partai lokal asal Aceh. (ERIKA KURNIA)