Rendah, Tingkat Kepatuhan Anggota DPR Isi LHKPN
JAKARTA, KOMPAS – Tingkat kepatuhan para anggota DPR RI terkait penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara menjadi yang terendah. Padahal LHKPN merupakan salah satu sarana pengawasan dan pencegahan terhadap penyelenggara negara dari tindak pidana korupsi, serta masyarakat dapat memantau langsung peningkatan kekayaan para wakil rakyat tersebut.
Sepanjang periode 2018, tingkat kepatuhan pelaporan hanya mencapai 64,05 persen
Berdasarkan data KPK sepanjang periode 2018, tingkat kepatuhan pelaporan hanya mencapai 64,05 persen, dari 78 persen pada tahun sebelumnya. Dari 303.032 wajib lapor, baru 194.095 yang menyerahkan berkas. Anggota DPR menjadi yang terendah dengan 21,42 persen yakni hanya 115 orang dari 537 wajib lapor yang sudah menyerahkan LHKPN.
Dari sebaran per fraksi, anggota PPP menjadi yang tertinggi dengan 32,43 persen dari 37 wajib lapor. Diikuti Partai Demokrat dengan 30,51 persen dari 59 wajib lapor, PKS dengan 26,32 persen dari 38 wajib lapor, PDI Perjuangan tercatat 24,77 persen dari 109 wajib lapor, dan Golkar dengan 22,83 persen dari 92 wajib lapor. Sedagkan untuk Partai Hanura, tidak satu pun anggota DPR RI dari partai itu yang mengisi kembali LHKPN pada periode 2018.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (22/1) menyampaikan, pihak telah mengirimkan surat pemberitahuan dan melakukan sosialisasi untuk tiap partai mengenai kewajiban untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK secara periodik sejak 2017. Ini sesuai dengan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
“Penerapan kewajiban pelaporan LHKPN secara benar ini perlu dilakukan. Dengan kepatuhan dari para penyelenggara negara, kemungkinan perolehan kekayaan secara tidak wajar dapat diminimalisir sejak awal dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, tingkat kepatuhan di sini menjadi sangat penting untuk diperhatikan, terutama oleh publik. Pelaporan juga harus rinci, tidak hanya melaporkan yang belum dilaporkan. Jika tidak ada yang ditutupi, tidak perlu ragu,” kata Febri.
Pada awal 2018, DPR RI bahkan meresmikan klinik penyerahan LHKPN di Gedung DPR RI yang dilakukan langsung oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Akan tetapi, keberadaan klinik tersebut nyatanya tidak banyak membawa pengaruh.
Sibuk persiapan pemilu
Fraksi-fraksi di DPR beralasan, rendahnya tingkat kepatuhan menyampaikan LHKPN disebabkan ketidaktahuan anggota Dewan bahwa catatan harta kekayaan harus dilaporkan rutin setiap tahun. Selain itu, di tengah kesibukan mempersiapkan diri menghadapi Pemilihan Legislatif 2019, anggota Dewan umumnya lupa memperbarui LHKPN.
Ketua Fraksi Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir mengatakan, semua anggota termasuk dirinya, sudah menyampaikan LHKPN pada awal masa menjabat, 2014 lalu. Menurutnya, itu sudah cukup. Inas mengatakan, ia baru berencana menyampaikan LHKPN lagi menjelang akhir masa jabat, tahun ini. Inas berdalih fraksinya tidak tahu LHKPN harus diperbarui setiap tahun. “Kami tidak dapat sosialisasi apa-apa dari KPK. Tidak ada surat pemberitahuan sampai ke meja saya, bagaimana bisa tahu?” Kata Inas.
Alasan Inas bertentangan dengan rekam jejak kepatuhan Fraksi Hanura selama ini. Catatan Kompas, tingkat kepatuhan anggota Fraksi Partai Hanura melaporkan LHKPN sebenarnya pernah mencapai 93,75 persen pada 31 Maret 2017. Sementara, pada 31 Maret 2016, setidaknya 50 persen anggota DPR dari Hanura memperbarui LHKPN-nya.
Fraksi yang anggotanya paling banyak menyampaikan LHKPN adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Fraksi yang anggotanya paling banyak menyampaikan LHKPN adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Dari total 39 anggota wajib lapor, 32,43 persen anggota DPR dari PPP melaporkan harta kekayaannya pada 2018. Namun, dibandingkan sebelumnya, capaian itu termasuk rendah. Pada 2017, PPP tercatat pernah mencapai tingkat kepatuhan 94,74 persen.
Ketua Harian Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, tidak semua anggota DPR sadar LHKPN perlu diperbarui setiap tahun, bukan hanya di awal dan akhir masa jabat. Meski KPK sudah pernah menyosialisasikan aturan tersebut, tetapi, ujar Arsul, tidak semua anggota DPR mengingatnya.
Arsul sendiri mengakui ia belum memperbarui lagi LHKPN-nya. Arsul pun berharap KPK bisa memberi peringatan rutin menjelang tenggat melaporkan harta kekayaan melalui pesan singkat (SMS) atau pesan melalui Whatsapp. “Kalau perlu, kami diingatkan beberapa bulan menjelang deadline pelaporan,” ujar Arsul.
Sekarang ini tahun politik, kami mana sempat,
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon meyakini, tidak ada kesengajaan anggota DPR menutup-nutupi laporan kekayaan. Ia mengatakan, beberapa anggota DPR tidak melaporkan karena memang tidak ada perubahan atau penambahan aset secara signifikan yang perlu diperbarui. Apalagi, saat ini, mayoritas anggota DPR tengah sibuk berkampanye. “Sekarang ini tahun politik, kami mana sempat,” kata Fadli.
Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, pimpinan DPR akan mengimbau pimpinan sepuluh fraksi agar mengingatkan anggotanya untuk lebih rajin melaporkan harta kekayaan demi mendorong transparansi dan akuntabilitas. Dengan dibukanya konter klinik LHKPN di DPR, anggota seharusnya lebih gampang memenuhi kewajibannya.
“Sebetulnya anggota bisa meluangkan waktu hanya beberapa menit untuk memperbaiki LHKPN. Sebenarnya tidak rumit, tetapi kami bisa maklumi kalau banyak yang tidak tahu, karena selama ini anggapannya, LHKPN cukup dilaporkan di awal dan akhir masa jabat,” ujar Bambang.
LHKPN menjadi sarana pengawasan dan pencegahan yang ampuh karena para penyelenggara negara tidak bisa serta merta menumpuk harta kekayaan secara ilegal
Secara terpisah, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyayangkan LHKPN yang memiliki fungsi vital tidak diikuti dengan sanksi tegas terhadap para penyelenggara negara yang tidak patuh melapor secara rutin. Padahal apabila diatur dan dioptimalkan, LHKPN menjadi sarana pengawasan dan pencegahan yang ampuh karena para penyelenggara negara tidak bisa serta merta menumpuk harta kekayaan secara ilegal. “Karena publik juga bisa turut memantau apabila ada yang tidak sesuai dengan laporan dan kenyataan. Bisa menjadi pedoman publik untuk memilih juga,” kata Ade.