JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum tetap meminta Oesman Sapta Odang untuk mundur sebagai pengurus partai politik sebelum namanya dicantumkan dalam daftar calon tetap perseorangan peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah. Oesman diminta mundur paling lambat pada 22 Januari 2019. Jika syarat itu dipenuhi Oesman, namanya akan dicantumkan di dalam DCT.
Keputusan itu diambil oleh KPU sebagai tindak lanjut atas putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dibacakan Rabu (9/1/2019) terkait keikutsertaan Oesman di dalam Pemilu. Keputusan KPU itu tidak sejalan dengan putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU untuk mencantumkan nama Oesman ke dalam DCT. Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk tidak menetapkan Oesman sebagai calon terpilih bilamana yang bersangkutan tidak mau mengundurkan diri sehari sebelum penetapan calon terpilih dalam Pemilu 2019.
“Berdasarkan rapat pleno, KPU mengambil sikap sebagai penyelenggara pemilu yang bebas, jujur, dan adil, serta memenuhi prinsip berdasarkan hukum, kami tetap meminta DR HC Oesman Sapta Odang untuk melakukan beberapa hal, yakni melaksanakan amanat konstitusi, UUD 1945, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2017, dengan mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik dalam hal pencalonan untuk anggota DPD. Pengunduran diri itu dilakukan dengan menyerahkan surat pengunduran diri yang diserahkan kepada KPU paling lambat 22 Januari 2019,” kata anggota KPU Hasyim Asy’ari, dalam keterangan persnya, Rabu (16/1/2019) di Jakarta.
KPU tetap meminta DR HC Oesman Sapta Odang untuk melakukan beberapa hal, yakni melaksanakan amanat konstitusi, UUD 1945, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2017, dengan mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik dalam hal pencalonan untuk anggota DPD.
Hasyim mengatakan, apabila sampai 22 Januari, Oeman belum mengundurkan diri, nama Oesman tidak dapat dicantumkan di dalam DCT. Sikap KPU tersebut menurut KPU telah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang mengikuti UUD 1945, dan putusan MK, yang pada intinya melarang pengurus parpol untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Merujuk pada pertimbangan MK, KPU dapat memberikan kesempatan kepada pengurus parpol untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD apabila telah mengundurkan diri. Sepanjang hal itu tidak dilakukan, anggota DPD yang menjadi pengurus parpol bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan itu berlaku dalam Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu selanjutnya. Oleh karena itu, apabila ada pengurus parpol mencalonkan diri sebagai anggota DPD, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri sebagai pengurus parpol. Jika hal itu tidak dilakukan, maka yang bersangkutan tidak dapat dinyatakan sebagai calon anggota DPD.
Ketua KPU Arief Budiman menegaskan, keputusan KPU itu dilakukan melalui rapat pleno yang diikuti oleh seluruh anggota KPU. Keputusan itu bersifat kolektif kolegial. Surat keputusan itu ditandatangani pada Selasa, 15 Januari 2019, dan telah dikirimkan kepada pihak Oesman, Rabu.
Kuasa hukum Oesman, Gugum Ridho Putra, menyesalkan keputusan KPU tersebut. “Apa yang dipertontonkan KPU ini tidak elok. Dua putusan lembaga yang diberi wewenang undang-undang, yang sama dengan kewenangan KPU menyelenggarakan pemilu bisa diabaikan. Hal ini tidak elok bagi negara hukum,” katanya.
Gugum mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan meminta Bawaslu untuk menindaklanjuti sikap KPU ini dengan melaporkannya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Dengan demikian, atas perkara ini yang dipertaruhkan adalah marwah Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu. Untuk opsi pidana, kami masih mendiskusikan kemungkinan itu,” kata Gugum.
Menurut Gugum, hukuman administrasi berat seharusnya dijatuhkan DKPP kepada KPU karena tidak melaksanakan dua putusan, yakni putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan putusan Bawaslu.
Kemarin, PTUN Jakarta juga menggelar sidang klarifikasi eksekusi putusan PTUN. Pihak Oesman meminta Ketua PTUN Jakarta menyurati Ketua KPU RI agar segera melaksanakan putusan PTUN tersebut. “PTUN akan mengirimkan surat perintah pelaksanaan putusan PTUN tersebut dalam waktu dekat,” ujarnya.
Keputusan KPU yang tidak memasukan nama Oesman mendapat penolakan dari para pendukung Oesman. Puluhan massa yang mendeklarasikan sebagai Aksi Bela OSO tersebut mendatangi KPU untuk menyampaikan keberatannya, kemarin. Dalam orasinya, massa meminta KPU untuk memasukan nama Oesman dalam DCT sesuai dengan perintah PTUN dan Bawaslu.
Tepat
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, keputusan KPU tersebut merupakan sebuah langkah yang tepat karena KPU berada di antara empat putusan yang ada, yakni MK, Mahkamah Agung, PTUN, dan Bawaslu terkait dugaan pelanggaran administrasi.
Oleh karena itu, kata Titi, KPU juga harus mengambil putusan yang paling dekat dengan Konstitusi. Sebab, pemilu yang konstitusional hanya akan bisa diterima publik jika penyelenggaraan dan tata laksana pemilu didasarkan pada nilai-nilai konstitusi.
"Ini tidak bisa dimaknai sebagai perlawanan teehadap putusan Bawaslu. Tetapi situasi yang memang harus diambil oleh KPU di tengah kondisi pilihan hukum yang tidak sejalan satu sama lain. Jika KPU menjalankan putusan Bawaslu, maka KPU melakukan pelanggaran administrasi baru yaitu menerepkan sebuah aturan yang tidak ada dasar hukumnya," katanya.
Titi menambahkan, berlarut-larutnya perkara ini sangat merugikan para pemilih karena seharusnya mereka bisa mendapatkan calon-calon anggota DPD yang bebas dari pengurus partai dan berkepastian hukum. Pemilih juga dihadapkan pada opini hukum, seperti ketidaksahan calon anggota DPD.
"Situasi ini membuat Pemilu kita dihadapkan pada kekuatan di atas konsitusi. Padahal, jangan sampai ada warga negara yang berada di atas konstitusi. Hal ini juga dapat merugikan tata kelola pemilu yang konstitusional," ungkapnya.