[caption id="attachment_9908099" align="alignnone" width="720"] Penyelenggara pemilu dan pimpinan partai politik di Sumatera Barat (Sumbar) berfoto bersama usai acara silaturahmi di Padang, Rabu (14/3/2018). Dalam acara itu, mereka juga mendeklarasikan komitmen bersama untuk melawan segala bentuk Isu SARA, Hoaks, dan Politik Uang pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Sejumlah kepala daerah hasil Pilkada, saat ini dproses hukum oleh KPK karena korupsi.[/caption]Demokrasi tengah mengalami pembusukan. Pemilihan langsung yang digelar sejak 2005 berada pada titik kelelahan luar biasa. Banyak cerita kepala daerah berakhir tidak bahagia. Hampir-hampir publik “imun” menyaksikan berkali-kali kepala daerah digelandang ke KPK karena terjerat kasus korupsi. Tak ayal tahun 2018 ini merupakan tahun penuh kabut.
Bayangkan saja, sepanjang 2018, 23 kepala daerah diciduk KPK. Terdiri 19 bupati, 2 walikota, dan 2 gubernur. Artinya setiap bulan dua kepala daerah terbongkar kasus korupsinya. Secara statistikal, jumlah tersebut terbilang kecil dibanding jumlah total kepala daerah di seluruh Indonesia sejumlah 548 orang (terdiri 34 gubernur, 416 bupati, dan 98 wali kota termasuk daerah khusus). Tetapi, itu data setahun. Jika dihitung sepanjang kurun pilkada langsung jumlah kepala daerah tersangkut korupsi lebih fantastik lagi. Sampai akhir tahun lalu, data Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan ada 392 kepala daerah terjerat hukum (di antaranya 313 kasus korupsi) dalam kurun 2004-2017.
Ada 392 kepala daerah terjerat hukum (di antaranya 313 kasus korupsi) dalam kurun waktu 2004-2017.
Lagi pula persoalan korupsi bukanlah menyangkut angka-angka numerik, melainkan soal substantif menyangkut mental dan karakter kepemimpinan. Sesuai amanat reformasi, seharusnya zero toleran terhadap korupsi. Tidak ada kompromi. Sebab, korupsi merusak sendi-sendi dasar bangsa yang membuat negara-bangsa ini rapuh, karatan, dan busuk. Seruan Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, Selasa (4/12/2018), juga sudah tegas, “Tidak ada toleransi sedikit pun terhadap pelaku korupsi.”
Faktor figur
Kasus korupsi kepala daerah adalah sisi gelap demokrasi. Demokrasi langsung (electoral democracy) menuntut perolehan suara terbanyak untuk menduduki kursi kepala daerah. Namun, dalam kontestasi politik yang lebih mempertontonkan rebutan kekuasaan, segala cara dan daya difokuskan untuk merebut kursi kekuasaan itu. Tak heran, politik uang menjadi cerita sehari-hari yang mengusik hati nurani. Politik uang menjadi jalan pintas. Padahal, sebetulnya tidak compatible dengan sistem pemilihan langsung. Demokrasi langsung ditentukan oleh figur seseorang. Bahkan partai politik pun kewalahan sehingga tidak lagi menjadi fakor dominan.
Maka, dalam wacana demokrasi langsung, hasil elektabilitas akan dipengaruhi oleh faktor popularitas figur. Dalam konteks ini, dinamika politik dapat dilihat bagaimana membangun pencitraan untuk figur tertentu. Memvermak nobody menjadi somebody sangat penting. Dinamika lain adalah fenomena selebritas yang ramai-ramai terjun ke politik. Menurut Dan Nimmo (2008), modal popularitas memang mempermudah figur untuk dapat merebut perhatian publik, sehingga elektabilitas figur bisa terdongkrak.
Resep demokrasi dengan rekrutmen pemimpin secara langsung sesungguhnya merupakan pola yang lebih legitimate dan acceptable karena mengakar di bawah. Ada beberapa argumen. Pertama, pola itu mendorong seorang pemimpin punya basis kekuatan (power base) di akar rumput. Dia akan mempunyai pijakan kokoh, bukan pemimpin karbitan yang ujug-ujug muncul di pentas nasional. Pola rekrutmen pemimpin daerah ibarat memanjat tangga, ia akan menjejak di setiap anak tangga.
Kedua, dengan pengalaman di daerah seorang pemimpin punya kapasitas lengkap, andal, dan mumpuni. Indonesia adalah untaian puzzle-puzzle daerah, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Memahami persoalan daerah menjadi modal penting untuk memimpin Indonesia. Ketiga, pola distribusi kekuasaan tidak lagi elitis, tetapi lebih populis dan pluralis. Posisi-posisi puncak di pusat negara bukanlah monopoli elite politik Jakarta, tetapi menjadi hak semua orang di republik ini. Dengan demikian terjadi keadilan dalam distribusi kekuasaan.
Kisah sukses dan kisah gelap
Sepanjang era demokrasi langsung best practices itu sudah kita miliki. Ada beberapa contoh menarik. Presiden Jokowi, misalnya, karier politiknya dimulai menjadi Wali Kota Solo (2005-2012) dan Gubernur DKI Jakarta (2012-2014). Ridwan Kamil sebelum merebut kursi Gubernur Jawa Bawat (2018-2023) adalah Wali Kota Bandung (2013-2018). Alex Noerdin adalah Bupati Musi Banyuasin (2001-2008) yang menjadi Gubernur Sumatera Selatan (2008-2018). Nurdin Abdullah adalah Bupati Bantaeng (2008-2018) yang terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Selatan (2018-2023). Gubernur Papua Lukas Enembe berangkat dari Wakil Bupati Puncak Jaya (2001-2006) lalu Bupati Puncak Jaya (2007-2012). Bahkan mantan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo benar-benar menjadi birokrat yang merangkak dari kepala wilayah Kecamatan Bontonompo (1984), Bupati Gowa (1994-2002), wakil gubernur (2003-2008), dan akhirnya gubernur dua periode (2008-2018).
Kisah-kisah kesuksesan kepala daerah juga menjadi bukti kuat sisi positif demokrasi langsung.
Kisah-kisah kesuksesan kepala daerah juga menjadi bukti kuat sisi positif demokrasi langsung. Ada sejumlah kepala daerah, selain beberapa disebut di atas, yang terus berkibar karena mampu membangun dan memajukan daerahnya dan mengangkat harkat masyarakatnya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini boleh jadi perempuan wali kota yang begitu fenomenal. Ia menyulap Surabaya, bukan saja berwajah kota yang cantik tetapi juga membenahi sistem birokrasi yang transparan dan pelayanan yang memudahkan masyarakat, sekaligus membangun karakter warganya. Sampai-sampai ada warga Surabaya tak rela bila Risma “naik kelas” menjadi kandidat Gubernur Jawa Timur. Ada juga Bupati Batang periode 2012-2017 Yoyok Riyo Sudibyo yang menekankan membangun daerah dan manusianya, terutama menolak korupsi.
Memang, kita tidak menafikkan ada banyak kisah gelap. Selain praktik korupsi, juga suburnya praktik dinasti politik. Agak sulit memahami dinasti politik yang feodal dan kuno bisa subur di arena sistem demokrasi modern. Di Banten, misalnya, aroma dinasti politik keluarga Gubernur Ratu Atut Chosiyah (periode 2005-2014 dan kini dipenjara dalam kasus korupsi) paling kuat. Sejumlah bupati/wali kota dan pimpinan DPRD di wilayah provinsi itu masih keluarga atau kerabat Atut. Begitu juga di Sulsel, Syahrul Yasin Limpo menjadi patron di mana keluarganya menguasai beberapa jabatan politik.
Di sejumlah wilayah lain, dinasti ini berpola relasi suami-istri, ayah-anak, atau saudara kandung atau sepupu. Jabatan publik didistribusikan di antara keluarga dan kerabat. Ini terjadi karena modal politik dan jaringan keluarga sangat kuat dan potensinya begitu besar terhadap tingkat elektabilitas sehingga jabatan publik berputar-putar di pusaran keluarga patron.
Parahnya lagi, terjadi juga perselingkuhan antara praktik dinasti politik dan korupsi. Misalnya Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija (2012-2017) ditangkap KPK pada 2016, bersama suaminya M Itoc Tochija. Atty menjadi wali kota menggantikan suaminya yang memimpin dua periode (2002-2012). Contoh lain, Wali Kota Kendari Adriatma ditangkap bersama ayahnya Asrun, yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara pada pilkada serentak 2018. Adriatma menggantikan posisi sang ayah yang menjadi walikota dua periode (2007-2017). Masih banyak contoh lain, yang hanya membuat panjang daftar kesuraman.
Terapi politik
Semua kisah-kisah negatif itu bukan kegagalan pola rekrutmen politik dalam demokrasi langsung. Tetapi itulah penyimpangannya. Bukan juga mengulangi aksi tak populis pada 2014 ketika Koalisi Merah Putih menyusun kekuatan untuk merampas demokrasi langsung dari tangan rakyat dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang Pilkada yang hendak mengembalikan pesta demokrasi lokal ke DPRD seperti zaman Orde Baru yang otoriter.
pepatah kuno mengajarkan ”ikan lebih cepat membusuk di bagian kepalanya”.
Dalam sistem sebaik apapun, selalu ada deviasi. Apabila deviasi terus dibiarkan, maka pembusukan negeri ini sejak dari daerah akan semakin cepat. Sebab, pepatah kuno mengajarkan ”ikan lebih cepat membusuk di bagian kepalanya”. Agar tidak terjerumus ke jurang pembusukan lebih dalam, haruslah ada terapi cepat dan secara kontinu, yakni mengikis residu demokrasi seperti politik uang, korupsi, dinasti politik, dan lainnya. "Pemerintah yang sangat korup biasanya punya masalah besar dalam memberikan layanan, menegakkan hukum, dan mewakili kepentingan publik," kata Francis Fukuyama (2014).
Saat sama peneguhan demokrasi mesti diperkuat. Partai politik yang salah satunya memiliki fungsi rekrutmen politik seharusnya meneguhkan proses rekrutmen bottom-up secara lebih transparan, sembari menghindari pola oligarki yang top-down dan sarat praktik transaksional dan pragmatisme. Ini bisa terwujud apabila demokrasi diperlakukan sebagai instrumen untuk kemajuan negara-bangsa dan kesejahteraan masyarakat, bukan dijadikan alat tunggangan demi merebut kekuasaan dan korup pula.