Sumbar Kembangkan Bisnis Rotan Berbasis Masyarakat
Oleh
Ismail Zakaria
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Bisnis rotan dalam skema perhutanan sosial dikembangkan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Bukit Barisan Sumatera Barat. Rotan tidak akan dijual dalam bentuk mentah, tetapi setengah jadi atau sudah dipoles sehingga punya nilai tambah.
”Saat ini, ada 12 kelompok perhutanan sosial di KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Bukit Barisan. Semua kelompok bisa ambil bagian. Tetapi, kami tentu akan mengidentifikasi kelompok mana yang memiliki potensi rotan. Berdasarkan data kami, komoditas itu potensinya besar di Pesisir Selatan dan Lintau Tanah Datar,” tutur Bambang Suyono, Kepala Unit Pelaksanaan Teknis Daerah KPHL Bukit Barisan saat menandatangani nota kesepahaman pengembangan bisnis berbasis masyarakat dengan PT Sahabat Usaha Rakyat, di Padang, Jumat (20/7/2018).
Hadir Direktur PT Sahabat Usaha Rakyat Widya Wicaksana, Direktur KPHL Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hargyono, serta Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat Hendri Octavia.
KPHL Bukit Barisan merupakan salah satu dari 10 kesatuan pengelolaan hutan di Sumbar dengan luas wilayah 85.000 hektar. KPHL Bukit Barisan membawahkan kawasan hutan lindung di sejumlah kabupaten/kota, antara lain Pesisir Selatan, Padang Panjang, Tanah Datar, dan Limapuluh Kota.
Widya mengatakan, KPHL Bukit Barisan dipilih karena memiliki potensi rotan yang besar di beberapa daerah. Di sisi lain, KPHL Bukit Barisan termasuk yang sangat aktif dan memiliki kelompok perhutanan sosial.
Kerja sama serupa pernah mereka lakukan untuk komoditas madu di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan rotan di Sulawesi Tengah.
Menurut Widya, mereka nantinya akan membantu pemasaran produk rotan dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial di KPHL Bukit Barisan. ”Tahap awal ini, kami mencoba memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, yakni rotan. Jadi, rotan-rotan ini akan kami pasarkan, tetapi tidak dalam bentuk mentah, tetapi setengah jadi atau sudah dipoles sehingga punya nilai tambah. Jadi, selain membantu pemasaran, juga teknis,” tuturnya.
Widya yang juga Koordinator Unit Kerja Pengembangan Ekonomi Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial mengatakan, produk rotan dari kelompok perhutanan sosial di KPHL Bukit Barisan akan dikirim sebagai bahan baku ke daerah industri furnitur atau rotan, misalnya Cirebon, Jawa Barat.
”Tetapi, secara bertahap, apakah memungkinkan untuk mengajak industri-industri itu berinvestasi di sini. Ke depan, tidak hanya rotan, bisa juga komoditas lain ikut dikembangkan,” lanjut Widya.
Hargyono mengatakan, sebagai perusahaan sosial (social enterprise), PT Sahabat Usaha Rakyat selain mengolah juga bisa menjadi off-taker, yakni berperan sebagai penyimpan produk dari kelompok perhutanan sosial. Artinya, ketika ada persoalan seperti gejolak harga yang sering dihadapi komoditas rotan, perusahaan itu diharapkan mengumpulkan dan menyimpan produk kelompok perhutanan sosial.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar Uslaini yang ikut mendampingi sejumlah kelompok perhutanan sosial menambahkan, pengembangan bisnis ini sangat penting.
Uslaini menyebutkan, selama ini, ada kelompok yang sudah mendapat izin perhutanan sosial. Namun, hingga dua tahun sejak izin didapat, mereka tidak tahu harus berbuat apa.
”Jadi, memang perlu didorong ada usaha masyarakat di sana sehingga mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi. Kalau tidak, kami khawatir mereka justru kembali menebang hutan,” lanjutnya.
Hendri mengatakan, izin perhutanan sosial di Sumbar telah diberikan kepada 113 kelompok. Skema perhutanan sosial itu meliputi hutan kemasyarakatan, hutan nagari, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan.
Menurut dia, hal itu menjadi potensi sekaligus tantangan agar masyarakat Sumbar dapat sejahtera melalui pengelolaan hutan yang lestari. ”Perhutanan sosial harus dapat memberikan manfaat, baik ekologis, sosial, maupun ekonomi,” ucap Hendri.