AMBON, KOMPAS — Sejumlah kader partai politik di beberapa daerah ikut dalam bursa pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pencalonan kader mereka dinilai sebagai bagian dari agenda partai politik untuk menguasai MPR, yang memang terdiri dari DPR sebagai perwakilan partai politik dan DPD sebagai perwakilan daerah.
Di Provinsi Maluku, bakal calon anggota DPD dari partai politik di antaranya Bitzael S Temmar, Bupati Maluku Tenggara Barat 2007-2017 dari PDI-P; Lutfi Sanaky, anggota DPRD Provinsi Maluku dari Gerindra; Hermanus Hattu, anggota DPRD Provinsi Maluku dari Nasdem; dan Suhfi Majid, mantan anggota DPRD Provinsi Maluku dari PKS.
Sementara di Kalimantan Barat, sejak pendaftaran calon anggota DPD dibuka dari Senin hingga Rabu (11/7/2018), dari 15 orang yang mendaftar, dua pendaftar adalah kader partai politik, yakni Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta dan mantan Wakil Gubernur Kalbar yang juga politikus Partai Demokrat Christiandy Sanjaya.
Di Maluku, hingga Rabu (11/7/2018) petang, 21 bakal calon sudah mendaftarkan diri di Sekretariat KPU Maluku. Sebelumnya, 29 orang mengajukan berkas persyaratan ke KPU Maluku. Mereka berkompetisi memperebutkan empat kursi di DPD. Sesuai jadwal, batas akhir pendaftaran ditutup pada Rabu kemarin pukul 23.39 WIT.
Anggota KPU Maluku, Irane S Ponto, mengatakan, tidak ada aturan pelarangan bagi kader partai politik yang mendaftar sebagai bakal calon anggota DPD. ”KPU bekerja sesuai dengan aturan yang ditentukan. Selama semua persyaratan dipenuhi, pasti akan diterima,” katanya.
Menurut pengamat politik dari Universitas Pattimura, Ambon, Said Lestaluhu, pertarungan kader partai menuju DPD merupakan bagian dari strategi partai politik untuk menguasai MPR. MPR merupakan lembaga yang terdiri atas DPR sebagai representasi partai politik dan DPD sebagai perwakilan daerah.
Dengan menguasai DPD, partai politik akan mudah mengendalikan DPD ketika ada pembahasan di MPR. ”Ini bisa jadi ada agenda tertentu dari partai politik. Di dalam DPD akan ada banyak kepentingan partai politik,” katanya.
Namun, ada sebagian juga, ujarnya, yang memilih ke DPD lantaran tingginya persaingan di dalam partai sendiri. Peluang keterpilihan sangat kecil. Bahkan, ada yang khawatir tidak diusulkan dalam pencalonan.
Secara terpisah pengamat politik dari Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (Epagar) Kalbar, Furbertus Ipur, menilai pencalonan kader partai politik menjadi anggota DPD memang tidak dilarang. Namun, ada hal lain yang hendaknya dijadikan patokan, yakni masalah kepatutan.
”Saya menilai kader partai menjadi calon anggota DPD tidak patut. Sebab, spirit awal pascareformasi, DPD itu untuk mewakili daerah yang bukan dari partai. Namun, regulasinya malah dibebaskan. Hal ini akan membuat kader partai memperjuangkan partai lewat DPD,” kata Ipur.
Dampak buruknya DPD menjadi ”pintu lain” dari partai untuk merebut kursi di MPR. Akhirnya, tidak ada lagi ruang bagi mereka yang bukan partisan partai politik. Padahal, DPD disediakan untuk orang-orang yang tidak terikat dengan partai. ”Sekali lagi ini tidak patut. Ke depan hendaknya perlu regulasi yang mengatur itu agar kader partai tidak masuk dalam pencalonan DPD,” kata Ipur.