KPK: Setya Novanto Tidak Kooperatif
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menilai terdakwa kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik Setya Novanto tidak kooperatif sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu belum memberikan informasi baru berharga yang dapat mengungkap kasus KTP-el lebih dalam lagi.
“Itu akan menjadi pertimbangan kita. Akan tetapi, sampai dengan saat ini, saya sih belum melihat Beliau (Novanto) kooperatif,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, saat diwawancarai usai hadir di acara PPATK, Selasa (27/3/2018), di Hotel Grand Mercure, Jakarta.
Sebelumnya, Novanto mengajukan JC sebelum persidangan terdakwa yang dilaksanakan pada Kamis lalu. Dia berkeyakinan akan membantu KPK untuk mengungkap kasus KTP-el. Dengan harapan, tuntutan hukumannya bisa dikurangi.
Meski demikian, Laode mengatakan, informasi yang diberikan Novanto tidak ada yang penting. Untuk itu, KPK tidak bisa mendalami kasus tersebut karena tidak menemukan bukti atau kesaksian baru.
“Informasi bersangkutan itu tidak ada informasi baru yang berharga, sampai saat ini. Makanya, saya juga kurang tahu apa yang ada di pikiran dia. Apalagi dia sudah mengusulkan JC beberapa kali dan katanya bersedia memberikan informasi pada KPK,” kata Laode.
Pada persidangan terdakwa, Novanto menyebutkan beberapa nama baru yang ikut menikmati aliran dana KTP-el, seperti politisi PDI-P Puan Maharani dan Pramono Anung. Namun, kesaksian itu diakuinya berasal dari tersangka KTP-el lainnya, Made Oka Masagung.
Novanto pun mengungkapkan keterlibatan anggota DPR 2009-2014 yang terlibat, antara lain Ganjar Pranowo, Arif Wibowo, Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, M Jafar, Melchias Mekeng, dan Mirwan Amir. Kesaksian itu kembali didapatkannya dari orang lain, yaitu keponakannya yang saat ini menjadi tersangka KTP-el, Irvanto Hendra.
Menurut Laode, kesaksian yang berdasarkan perkataan dari orang lain tidak bisa dijadikan alat hukum untuk menjerat satu orang. Hal itu hanya informasi awal yang belum cukup untuk membuktikan keterlibatan pelaku lain.
“Itu keanehan, selalu dia mendengar dari orang, diceritakan orang lain dan bukan dari dia sendiri. Ya kalau itu hanya informasi awal saja,” kata Laode.
Bahkan, kesaksian Novanto itu disangkal langsung oleh Oka keesokan harinya. Oka menyatakan tidak pernah memberi uang ke Puan dan Pramono. Begitu juga Puan dan Pramono yang mengatakan tidak menerima dana sedikit pun.
Sementara itu, Novanto belum mengakui dirinya terlibat dalam korupsi KTP-el. “Ini yang perlu dicatat dengan baik, dia menyebut banyak keterlibatan orang lain tetapi tidak mengakui apa yang dikerjakan sendiri,” tutur Laode.
Tidak laik
KPK akan mempertimbangkan ulang kelaikan status JC Novanto dengan berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan JC.
Dalam SEMA, yang bersangkutan harus mengakui kejahatan yang dilakukannya, memberikan keterangan sebagai saksi, dan bukan merupakan pelaku utama. Syarat itu wajib dipenuhi untuk mendapatkan status JC.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar mengatakan, ragu Novanto akan mendapatkan JC. Dari ketiga poin dalam SEMA itu, belum dipenuhi oleh mantan Ketua Umum Golkar tersebut.
“Dia belum mengakui perbuatannya. Kalau dia tidak mengaku tidak mungkin dapat JC. Syarat utama harus mengakui perbuatannya karena posisi dia di sana bukan whistle blower,” ucap Erwin.
Syarat untuk memberi kesaksian dalam pengadilan pun belum dilakukan sungguh-sungguh. Menurut Erwin, Novanto hanya menyebutkan nama berdasarkan keterangan orang lain. Dalam hukum, itu disebut testimonium de auditu, yang tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti.
Bila ingin mendapatkan JC, kata Erwin, Novanto harus meniru Mindo Rosalina yang menjadi JC pada kasus Wisma Atlet. Mindo mengungkap keterlibatan aktor-aktor penting dalam kasus tersebut. Akhirnya, dia yang awalnya tersangka, dibebaskan bersyarat karena memenuhi tiga kriteria SEMA itu.
Syarat JC lainnya, yaitu bukan pelaku utama juga sulit dipenuhi Novanto. Berdasarkan tersangka KTP-el yang telah bersaksi sebelumnya, Andi Agustinus atau Narogong, Novanto adalah aktor kunci dalam kasus korupsi itu. Bahkan Novanto diduga menerima uang 7,3 juta dollar Amerika Serikat.
“Ketika melihat kesaksian itu, terlihat pelaku utamanya Novanto. Untuk itu dia harus membuktikan siapa pelaku utamanya, bila ingin mendapatkan JC. Kalau dia tidak bisa meyakinkan KPK, lebih baik tidak usah diberikan status JC karena tidak ada untungnya juga,” kata Erwin.
Pada Kamis, Novanto mengatakan, dia hanya berniat untuk membantu Andi dan pihak lainnya dalam menyelesaikan proyek KTP-el. Dia mengaku akan membantu orang lain yang sedang kesusahan karena mantan Ketua Fraksi Golkar itu pernah menjadi pembantu dan supir.
Sidang Novanto akan dilanjutkan pada Kamis, (29/3/2018), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Rencananya, sidang itu akan membacakan tuntutan pada terdakwa kasus korupsi KTP-el itu.