Komitmen Pemberantasan Korupsi Pemerintah Belum Memuaskan
JAKARTA, KOMPAS — Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjalan, komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dianggap belum memuaskan. Arah pemerintah yang ingin mengoptimalkan pembangunan infrastruktur dan pemerataan ekonomi harus diawasi secara maksimal supaya tidak terjadi penyelewengan.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2016, Indonesia masih berada pada posisi ke-90 dari 176 negara dengan skor 37 untuk skala 0-100. Indonesia belum mampu mencapai skor rata-rata dunia di angka 43. Bahkan, skor Indonesia masih di bawah rata-rata negara Asia Tenggara yang tercatat pada angka 40 (Kompas, 18/12) .
Pada 2014, IPK Indonesia meningkat dua poin lebih tinggi daripada tahun sebelumnya dengan capaian skor sebesar 34. Pada 2015, IPK kembali meningkat hingga mencapai skor 36. Namun, peningkatan itu melambat pada 2016 karena skor hanya meningkat setinggi satu poin daripada tahun sebelumnya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, korupsi yang terjadi saat ini belum mencerminkan apa yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi melalui Nawacita. Keinginan Jokowi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih belum dapat benar-benar terwujud.
”Dalam Nawacita itu, Jokowi menginginkan pemerintahan yang bersih dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap insititusi demokrasi. Hal itu tampaknya belum terwujud saat ini,” ujar Ade Irawan saat menjadi pembicara dalam Diskusi Madrasah Antikorupsi bertema ”Catatan Akhir Tahun 2017: Satu Tahun Politik Antikorupsi Jokowi” di Jakarta Pusat, Rabu (27/12).
Korupsi yang terjadi saat ini belum mencerminkan apa yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi melalui Nawacita. Keinginan Jokowi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih belum dapat benar-benar terwujud.
Selain Ade, narasumber lainnya dalam acara itu adalah Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak dan aktivis antikorupsi Haris Azhar. Dalam undangan yang diedarkan, terdapat nama mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang seharusnya menjadi pembicara. Namun, Bambang berhalangan hadir.
Berdasarkan survei World Justice Rule Project: Rule of Law Index 2016, Indonesia lemah pada empat faktor. Faktor pertama adalah korupsi di pemerintahan yang diukur dari persoalan suap, penyelewengan anggaran, dan pengaruh dari pihak lain. Selanjutnya, faktor pemenuhan keadilan, faktor penegakan hukum yang bebas dari diskriminasi dan korupsi, serta faktor pemenuhan hak dasar negara.
Pada 2017, Transparency International (TI) menyurvei pelaku usaha di 12 kota yang ada di Indonesia dan menemukan bahwa 17 persen pelaku usaha pernah gagal karena pesaingnya memberikan suap kepada para pemangku kepentingan, baik daerah maupun pusat. Potensi suap paling tinggi terdapat pada sektor lapangan usaha berupa air minum, perbankan, dan kelistrikan. Praktik suap itu sendiri berkaitan erat dengan korupsi.
Dalam diskusi, Ade mengatakan, saat ini praktik korupsi yang paling rawan itu ada pada bidang pengadaan. ”Sekitar 30 persen kasus korupsi itu dilakukan melalui proyek pengadaan,” katanya.
Terkait pernyataan Ade itu, dalam survei TI ditemukan bahwa pengadaan termasuk salah satu sektor yang terdampak korupsi. Dua sektor lainnya adalah perizinan dan penerbitan kuota perdagangan.
Presiden Jokowi terus menggalakkan pembangunan infrastruktur untuk pemerataan serta pertumbuhan ekonomi. Haris Azhar, aktivis HAM dan antikorupsi, mengatakan, ada sekitar 250 proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh pemerintah pusat pada masa kepemimpinan Jokowi ini.
Hal yang coba dikritisi Haris adalah alokasi pemerintah untuk infrastruktur melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar. Namun, hal itu tanpa disertai pengawasan yang benar-benar ketat.
”Bermula dari masukan pemerintah daerah yang takut mengeksekusi proyek karena takut dikenai pasal-pasal korupsi. Lalu, Presiden membuat perpres (peraturan presiden) yang isinya tidak boleh memidanakan orang yang melaksanakan proyek infrastruktur tersebut,” kata Haris.
”Kemudian, masuk unsur Kejaksaan Agung untuk melindungi proyek-proyek tersebut. Intinya, pihak lain tidak boleh mengawasi proyek tersebut,” kata Haris.
Sementara, dalam temuan TI, melihat dari kalangan pelaku usaha, Kejaksaan Agung, termasuk tiga besar layanan pusat yang memiliki probabilitas suap yang tinggi. Dari 141 total interaksi layanan, terjadi 22 interaksi suap. Adapun probabilitas suap untuk lembaga itu sebesar 16 persen.
Keraguan terhadap Kejaksaan Agung ditunjukkan pula oleh ICW. Agustus lalu, ICW melalui rilis media menyampaikan bahwa Jaksa Agung gagal mereformasi kejaksaan. Dalam rilis itu disebutkan bahwa setidaknya ada sembilan jaksa yang pernah ditangkap oleh KPK terkait kasus korupsi.
Terkait dengan isu infrastruktur, TI mendapati bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi yang tertinggi kedua probabilitas suapnya. Persentase untuk probabilitas suap lembaga itu sebesar 22 persen. Hal itu tampak dari adanya 59 interaksi suap dari 268 total interaksi layanan di lembaga itu.
Dengan fakta-fakta yang ada disertai obsesi Presiden Jokowi untuk menggeber pembangunan infrastruktur, Ade menyatakan bahwa Presiden harus mengimbanginya dengan komitmen untuk memberantas korupsi. Caranya adalah dengan menguatkan lembaga-lembaga antikorupsi dan pengawasan yang ketat terhadap kementerian terkait.
Hal yang dikhawatirkan adalah apabila pembangunan infrastruktur tidak disertai dengan komitmen pemberantasan korupsi, maka pembangunan akan menjadi sia-sia. ”Tanpa pengawasan yang kuat, justru yang terjadi adalah penyelewengan-penyelewengan,” kata Ade.
Obsesi Presiden Jokowi untuk menggeber pembangunan infrastruktur harus diimbangi dengan komitmen memberantas korupsi. Caranya adalah dengan menguatkan lembaga-lembaga antikorupsi dan pengawasan yang ketat terhadap kementerian terkait.
Ancaman
Komitmen pemberantasan antikorupsi juga tak tampak dengan adanya lembaga antikorupsi yang lemah. Salah satu bentuk lemahnya lembaga antikorupsi itu adalah adanya ancaman dan rasa takut para petugas pemberantasan korupsi dalam menjalankan tugasnya.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzhar Simanjuntak mengatakan, belum ada progress berarti untuk mengungkap kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah 257 hari berlalu. Hal itu membuat Dahnil semakin bertanya-tanya terhadap komitmen pemerintah untuk pemberantasan korupsi.
Haris Azhar, aktivis HAM dan Antikorupsi, mengatakan, tidak hanya Novel yang merasa terancam dalam menjalankan tugasnya. ”Banyak petugas pemberantasan korupsi itu masih merasa takut untuk bertugas. Akibatnya, pemberantasan korupsi masih belum bisa optimal. Novel adalah salah satu kasus yang besar bahwa ada ancaman dalam melakukan pemberantasan korupsi,” kata Haris.
Terkait kasus yang dialami Novel, Ade menyatakan bahwa serangan balik terhadap upaya pemberantasan korupsi memang terasa kencang. Namun, hal yang disayangkan adalah belum diketahui pelakunya. Serangan balik juga terjadi lewat dibentuknya Panitia Khusus Hak Angket KPK oleh DPR.
”Upaya ini jelas bukan untuk mengoreksi KPK. Ini upaya terhadap serangan pemberantasan korupsi,” kata Ade. (DD16).