Duga Ada Lobi Politik, Permohonan di MK Dicabut
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menetapkan pencabutan permohonan uji materi hak angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan oleh Busyro Muqoddas dan elemen masyarakat anti-korupsi.
Penetapan MK ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas pencabutan berkas yang dilakukan oleh pemohon sebelumnya, 7 Desember 2017.
Ketua MK Arief Hidayat di dalam sidang MK di Jakarta, Kamis (14/12), membacakan penetapan pencabutan berkas itu.
Empat pemohon yang mencabut permohonan tersebut ialah Busyro Muqoddas, Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).
Salah satu hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat, diduga melakukan negosiasi atau lobi politik dengan DPR terkait kasus hak angket DPR terhadap KPK yang perkaranya sedang diujimaterikan di MK.
Penetapan pencabutan lalu diikuti dengan penerimaan kembali berkas permohonan. Perwakilan pemohon, yakni peneliti dari ICW Lalola Easter mengatakan pencabutan berkas itu dilakukan atas kesepakatan bersama empat pemohon.
Pencabutan dilakukan karena merasa ada konflik kepentingan di dalam pemeriksaan uji materi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Salah satu hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat, diduga melakukan negosiasi atau lobi politik dengan DPR terkait kasus hak angket DPR terhadap KPK yang perkaranya sedang diujimaterikan di MK.
“Sikap hakim kan sulit dibaca ya, apakah mereka yang terlihat memberikan dukungan di sidang akhirnya memang benar-benar mendukung permohonan kami di putusan. Namun kami menilai ada konflik kepentingan yang terjadi di dalam perkara ini, sehingga kami memutuskan untuk mencabut permohonan,” kata Lalola.
Sikap hakim kan sulit dibaca ya, apakah mereka yang terlihat memberikan dukungan di sidang akhirnya memang benar-benar mendukung permohonan kami di putusan.
Pekan lalu, kabar tentang adanya lobi politik yang dilakukan oleh Arief mengemuka di publik setelah Arief hadir di dalam rapat Komisi III DPR.
Di dalam rapat itu, Arief menyatakan kesediaanya untuk dipilih kembali sebagai hakim konstitusi. Sebab, pada 1 April 2018, masa keanggotannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengakui kepada Kompas bahwa ada upaya lobi-lobi politik yang dilakukan oleh Arief.
Dalam pertemuan dengan Komisi III DPR itu, Arief antara lain menyebutkan nama hakim konstitusi lainnya, Saldi Isra, yang akan menjadi Ketua MK bila dirinya tidak lagi menjadi hakim konstitusi.
Perkataan Arief itu, dalam pemahaman Desmond, adalah pernyataan politis yang tidak seharusnya diungkapkan oleh seorang Ketua MK. Fraksi Gerindra sudah pasti tidak akan memilih Arief kembali menjadi hakim konstitusi.
Pekerjaan politik yang dilakukan Pak Arief sendiri, yakni dengan membikin jebakan-jebakan di fraksi di DPR, seolah-olah kalau dia tidak terpilih nanti lalu membentur-benturkan dengan Saldi Isra yang pro KPK, itu secara etik tidak sesuai.
“Pekerjaan politik yang dilakukan Pak Arief sendiri, yakni dengan membikin jebakan-jebakan di fraksi di DPR, seolah-olah kalau dia tidak terpilih nanti lalu membentur-benturkan dengan Saldi Isra yang pro KPK, itu secara etik tidak sesuai. Itulah juga yang akan membuat Gerindra takkan memilih Pak Arief,” kata Desmond.
Dalam konteks hukum, adanya lobi politik oleh Arief itu amat disayangkan terjadi oleh para pemohon. Sebab, pada saat bersamaan ada perkara uji materi tentang hak angket DPR terhadap KPK yang sedang ditangani oleh MK.
Konflik kepentingan amat rentan terjadi, terlebih lagi posisi Arief sebagai Ketua MK akan berperan sangat besar.
Pencabutan berkas itu merupakan pendidikan hukum yang penting bagi publik, bahwasanya hakim konstitusi haruslah benar-benar orang yang punya sikap negarawan.
Muhammad Isnur, kuasa hukum pemohon, menuturkan, pencabutan berkas itu merupakan pendidikan hukum yang penting bagi publik, bahwasanya hakim konstitusi haruslah benar-benar orang yang punya sikap negarawan.
Keputusan untuk mencabut berkas permohonan itu didasari alasan yang kuat mengingat dugaan konflik kepentingan itu sangat besar, bahkan pihaknya mendapatkan informasi permohonan uji materi itu bakal ditolak oleh MK.
“Kami mendapatkan informasi bahwa permohonan itu akan ditolak oleh MK, sehingga kami meyakini bahwa ada konflik kepentingan dalam perkara uji materi ini," kata Isnur.
Sebagai Ketua MK, jika dia bisa menjanjikan sesuatu kepada anggota DPR, berarti dia telah memiliki keyakinan untuk memengaruhi hakim-hakim lainnya dalam perkara ini.
Menurut Isnur, "Sebagai Ketua MK, jika dia bisa menjanjikan sesuatu kepada anggota DPR, berarti dia telah memiliki keyakinan untuk memengaruhi hakim-hakim lainnya dalam perkara ini. Oleh karenanya, demi pendidikan publik, kami mencabut berkas.”
Dalam perkara ini, pemohon mempersoalkan Pasal 79 Ayat (3), Pasal 199 Ayat (3), dan Pasal 201 Ayat (2) di dalam UU MD3.
Pasal-pasal itu mengatur tentang kewenangan DPR untuk mengajukan hak angket kepada pemerintah. DPR berpendapat, KPK sebagai bagian dari pemerintah bisa dikenai angket. Namun, pemohon berpendapat tafsir atas pasal-pasal itu terlalu luas dilakukan oleh DPR.
Oleh karenanya pemohon meminta MK agar memberikan batasan tafsir mengenai pasal-pasal di dalam UU MD3 itu tentang siapa yang bisa dikenai hak angket oleh DPR.
Para pemohon beranggapan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen bukan merupakan bagian dari pemerintah sebagaimana disebutkan di dalam UU MD3, sehingga tidak bisa dikenai angket oleh DPR.
Para pemohon beranggapan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen bukan merupakan bagian dari pemerintah sebagaimana disebutkan di dalam UU MD3, sehingga tidak bisa dikenai angket oleh DPR.
Selain Busyro dan tiga pemohon lainnya yang tergabung ke dalam Koalisi Selamatkan KPK dari Hak Angket, pemohon lainnya yang mengajukan uji materi dalam perkara ini masih meneruskan permohonannya.
Salah satunya ialah Achmad Saifudin Firdaus, Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang masih ingin meneruskan permohonan uji materi tersebut.
“Kami dari FKHK dan pemohon lainnya dalam perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 yang juga menguji Pasal 79 Ayat (3) tentang hak angket DPR terhadap KPK, telah melakukan rapat koordinasi dan memutuskan untuk tidak mencabut permohonan kami. Kami merasa harus tetap menjaga kepercayaan publik kepada MK untuk memutuskan konstitusionalitas pasal tersebut,” urainya.
Saifudin mengatakan, putusan yang dihasilkan oleh MK bersifat kolektif kolegial, sehingga tidak bisa hanya bergantung pada seorang hakim semata.
Kendati ada dugaan lobi politik dilakukan oleh Arief, FKHK meyakini delapan hakim lainnya masih netral dan bisa memberikan pandangan hukum yang logis terkait dengan permohonan uji materi mereka.
“Kalau pun ada dugaan barter perkara dalam proses suksesi yang diduga dilakukan oleh Ketua MK agar bisa kembali menjadi hakim konstitusi, hal tersebut tidak akan berpengaruh terhadap putusan jika delapan hakim lainnya tidak mengabulkan permohonan tersebut. Kami optimistis integritas delapan hakim lainnya dalam memutuskan perkara ini,” kata Saifudin.
Dewan Etik MK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap pimpinan Komisi III DPR untuk mengklarifikasi kebenaran adanya upaya lobi politik yang dilakukan Arief.
Kamis ini, Dewan Etik MK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap pimpinan Komisi III DPR untuk mengklarifikasi kebenaran adanya upaya lobi politik yang dilakukan Arief. Namun, hingga Kamis (14/12) siang Sekretariat MK belum menerima kepastian kedatangan mereka.
Pimpinan Komisi III DPR yang dijadwalkan untuk diperiksa ialah Bambang Soesatyo, Trimedya Panjaitan, Desmond J Mahesa, Benny K Harman, dan Mulfachri Harahap.
“Mereka tidak datang. Pemeriksaan dijadwalkan kembali pada Selasa, 19 Desember,” kata anggota Dewan Etik MK Salahuddin Wahid.