Setya Novanto Tetap Menolak Diperiksa KPK
JAKARTA, KOMPAS — Ketua DPR Setya Novanto dipastikan tak akan memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik 2011-2012 di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, pada Rabu (15/11). Novanto menolak memenuhi panggilan itu karena menunggu uji materi yang dia ajukan terkait dengan Undang-Undang KPK.
Kepastian Novanto untuk tidak memenuhi pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka oleh KPK itu disampaikan pengacaranya, Fredrich Yunadi, Selasa (14/11). Menurut Fredrich, seperti halnya KPK yang menolak menghadiri pemanggilan Panitia Khusus Angket DPR terhadap KPK dengan pertimbangan masih mengajukan uji materi terkait dengan pemanggilan tersebut, Novanto pun melakukan hal serupa.
”Kami sudah memberitahukan kepada KPK akan menunggu hasil uji materi di MK. KPK, kan, juga demikian (menolak hadir pada pemanggilan Pansus Angket DPR terhadap KPK),” jelasnya.
Uji materi ke MK yang diajukan pihak Novanto itu terkait dengan Pasal 46 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pengujian itu terkait dengan apakah pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak.
Ayat 1 pada pasal tersebut memuat ketentuan bahwa dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terhitung sejak tanggal penetapan pemeriksaan tersangka, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan UU ini. Kemudian, di Ayat 2 disebutkan, pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud Ayat 1 dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Menanggapi penolakan tersebut, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, pemeriksaan terhadap Novanto tetap dapat dijalankan KPK karena mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Tindak Pidana Korupsi, dan juga UU KPK. ”Itu yang dijadikan acuan dalam penanganan perkara ini sehingga tak perlu menunggu hasil putusan uji materi MK,” katanya.
Sebaliknya, lanjut Febri, KPK siap dimintai keterangan sebagai pihak terkait dalam uji materi UU KPK yang diajukan pihak Novanto. ”Kami akan hadapi itu. Kami akan jelaskan kenapa pasal tersebut ada,” jelasnya.
Sejauh ini KPK belum menerima surat pemberitahuan dari Novanto terkait dengan keputusannya untuk tak memenuhi pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka di KPK pada Rabu ini. ”Surat panggilan sudah disampaikan minggu lalu. Sejauh ini, kami belum memperoleh pemberitahuan (rencana ketidakhadiran Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka),” kata Febri.
Namun, berkaitan dengan tiga kali pemanggilan pemeriksaan sebagai saksi untuk korupsi KTP elektronik dengan tersangka Anang Sugiana Sudihardjo, Direktur PT Quadra Solution, salah satu perusahaan Konsorsium Percetakan Negara RI selaku pemenang lelang pengadaan KTP elektronik, itu Novanto telah memberikan pemberitahuan kepada KPK. Dari tiga surat pemberitahuan itu disebutkan bahwa Novanto tak dapat hadir memenuhi pemanggilan pemeriksaan sebagai saksi karena ada kegiatan di daerah selama reses DPR dan pemeriksaan terhadap dirinya harus memperoleh izin Presiden.
”Kita akan lihat (Rabu ini), apakah dia (Novanto) akan datang atau tidak. Itu (pemenuhan panggilan) sebagai bentuk kepatuhan hukum,” kata Febri.
Febri mengatakan, jika menilik pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPR Daerah, tak ada ketentuan tentang impunitas bagi anggota DPR dari jerat hukum. Impunitas pun diatur sebatas pada Pasal 224 UU MD3 terkait pertanyaan dalam pelaksanaan tugas DPR.
”Tentu saja dalam konteks tindak pidana korupsi, impunitas tak bisa dilakukan karena berisiko sekali bahwa dengan alasan impunitas anggota DPR tak bisa diperiksa atau sulit diperiksa terkait kasus korupsi,” jelasnya.
Namun, dikatakan Febri, hingga saat ini KPK belum memiliki rencana untuk memanggil paksa Novanto. Alasannya, hingga Rabu ini, penyidik KPK masih fokus memeriksa saksi-saksi dan tersangka terkait dengan korupsi pengadaan KTP elektronik. ”Sejauh ini kami belum memiliki rencana itu (pemanggilan paksa),” jelasnya.
Hingga Selasa sore, KPK masih meminta keterangan sejumlah saksi terkait dengan korupsi KTP elektronik dan perkara terkait dengan kasus korupsi tersebut, yakni keterangan tak benar dengan terdakwa Miryam S Haryani, mantan anggota Komisi V DPR. Untuk korupsi KTP elektronik, KPK memeriksa Isnu Edi Wijaya, mantan Direktur PNRI, untuk tersangka Anang.
Namannya juga usaha
Secara terpisah, menanggapi perlawanan hukum yang dilakukan Novanto yang mangkir dari pemeriksaan KPK dengan alasan tengah mengajukan uji materi ke MK, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai hal ini sebagai usaha untuk bebas dari jeratan hukum. Sepanjang caranya tak keluar dari koridor hukum, setiap orang bisa saja memanfaatkan upaya ini. ”Ya, namanya juga usaha,” ujar Kalla.
Kendati demikian, lanjut Kalla, bisa dipertanyakan kenapa baru diajukan sekarang. Memang UU KPK sudah berlaku sejak 1999 dan direvisi pada 2002. Namun, upaya untuk mempertanyakan aturan terkait kewenangan malah baru diuji konstitusionalitasnya saat ini.
Pasal 12 UU KPK menyebutkan kewenangan KPK dalam menjalankan tugasnya menyelidiki, menyidik, dan menuntut dengan berbagai cara antara lain menyadap, mencekal seseorang pergi keluar negeri, meminta keterangan lembaga keuangan, meminta lembaga keuangan memblokir rekening tersangka korupsi, atau meminta bantuan kepolisian dan Interpol untuk menangkap koruptor.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai hal ini sebagai usaha untuk bebas dari jeratan hukum. Sepanjang caranya tak keluar dari koridor hukum, setiap orang bisa saja memanfaatkan upaya ini.
Adapun Pasal 46 menegaskan kekhususan pidana korupsi dan KPK. Dengan demikian, ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sejak tanggal penetapan tersebut, prosedur pemeriksaan tersangka dalam aturan perundangan lain tak lagi berlaku, melainkan harus tunduk pada UU KPK ini.
Wakil Presiden Kalla mengakui pemimpin semestinya memberikan contoh dan menaati hukum. ”Ya, tentu (harus), sambil jalan. Tapi, ya namanya usaha, (seperti) saya bilang tadi,” ujarnya.
Keterangan tidak benar
Sementara untuk keterangan tak benar, penyidik KPK tengah mendalami perkara Markus Nari, mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar. Markus diduga telah memengaruhi Miryam untuk memberikan keterangan tak benar sebagai alasannya untuk mencabut berita acara pemeriksaannya sebagai saksi korupsi KTP elektronik. Miryam pun telah divonis 5 tahun penjara.
Pada Markus, KPK berencana akan mendalami motif Miryam memberikan keterangan tak benar. Sejauh ini, pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi saat menjatuhkan vonis terhadap Miryam, itu belum menyinggung motif Miryam melakukan hal tersebut.
Untuk perkara Markus, pada Selasa, KPK memeriksa saksi dari pengurus Partai Golkar, yakni Zulhendri. Di persidangan Miryam sebelumnya, Zulhendri disebut oleh advokat Farhat Abas sebagai pihak yang menyatakan bahwa Novanto termasuk pihak yang aman dalam korupsi KTP elektronik. Namun, seusai diperiksa KPK, Zulhendri menampik keterangan Farhat. Penjelasannya terkait dengan Novanto aman dari perkara KTP elektronik, itu terkait erat dengan pernyataan Novanto kepada kader Golkar bahwa dia bersih dari korupsi.