Yulius Barra’ Pasolon, Profesor Sagu dari Haluoleo
Yulius Barra’ Pasolon memberikan contoh pengelolaan tanaman sagu secara optimal di kebun sagu milik keluarga, yang sekaligus menjadi laboratorium pribadi.
Yulius Barra’ Pasolon (64) merasa berutang pada sagu yang pernah menyelamatkan warga kampungnya saat bencana kelaparan pada tahun 1970-an. Hal itu pula yang membuat dia mendedikasikan sebagian besar perjalanan akademik untuk meneliti dan mengembangkan tanaman sagu sebagai sumber pangan.
El Nino kuat pernah memicu kekeringan parah di Indonesia pada tahun 1972. Aneka tanaman biji-bijian, seperti jagung dan padi, yang ditanam keluarga Yulius mengalami gagal panen. ”Kami yang tinggal di dataran tinggi Toraja saat itu sepenuhnya tergantung pada sagu yang dijual orang-orang pesisir Luwu,” kata Yulius, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari.
Berbeda dengan aneka tanaman pangan lain, sagu sejenis palma endemik kepulauan Asia Tenggara ini tidak tergantung pada musim ataupun cuaca. Tanaman ini tetap bisa dipanen di musim hujan ataupun kekeringan panjang.
”Sagu merupakan salah satu sumber pangan asli Indonesia yang sangat potensial, namun selama ini cenderung diabaikan,” kata Yulius, yang menyelesaikan studi doktoral dari Tokyo University of Agriculture and Technology pada tahun 1994.
Ketika sagu semakin ditinggalkan oleh masyarakat di Indonesia, antusiasme terhadap tanaman ini justru muncul di Jepang.
Asal usianya sudah dewasa, biasanya 8-12 tahun tergantung jenisnya, satu batang sagu bisa menghasilkan pati sebanyak 200-500 kilogram (kg). Menurut perhitungan Yulius, satu batang sagu bisa menghidupi satu keluarga, terdiri atas 3-5 orang, selama tiga bulan.
Jadi, dalam satu tahun, satu keluarga hanya perlu menebang empat pohon sagu. Padahal, dalam 1 hektar bisa tumbuh sekitar 50 batang sagu dewasa, selain anakannya. Artinya, kalau punya kebun sagu seperempat hektar saja, satu keluarga sudah bisa mencukupi kebutuhan pangan secara berkelanjutan.
”Tanaman sagu juga bisa diintegrasikan dengan fungsi lain, yaitu kolam ikan dan sayur, terutama pakis. Di lahan sagu juga banyak jamur dan bisa juga dibudidayakan ulat (larva kumbang) sagu yang kaya protein. Jadi, lahan sagu bisa menjamin kemandirian pangan keluarga,” ujarnya.
Di kebun sagu milik keluarga, yang sekaligus menjadi laboratorium pribadi, Yulius memberikan contoh pengelolaan tanaman sagu secara optimal. Selain tanaman sagu alam asli Kendari, dia juga membudidayakan tanaman sagu (Metroxylon sp) dari Sentani, Papua.
Dari varietas sagu Papua itu, Yulius berhasil membudidayakan tanaman sagu dari biji. Sebelumnya, secara tradisional tanaman sagu dibiakkan dari anakan. ”Tanaman sagu yang ada di sini (Sulawesi Tenggara) umumnya tidak menghasilkan biji, namun yang kami bawa dari Sentani 12 tahun lalu ternyata menghasilkan banyak biji. Dari situ saya coba budidayakan dan ternyata bisa berkecambah dan tumbuh,” kata Yulius.
Baca juga : Kenyang dan Nikmat Tanpa Beras dari Kaki Ile Boleng
Di sela-sela kebun sagu seluas 2 hektar, itu, Yulius juga membuat kolam-kolam ikan air tawar. Dia juga mengembangkan bengkel untuk mengolah ampas sagu menjadi kompos.
”Hampir semua bagian dari tanaman sagu bisa dimanfaatkan. Batangnya bisa untuk lantai atau biomassa, daunnya untuk atap rumah dan yang muda untuk sayur. Sedangkan pelepahnya bisa untuk dinding,” katanya.
Pangan masa depan
Di mata pemerintah, tanaman sagu juga tergolong tanaman marjinal dan tidak dilirik sebagai sumber pangan potensial. Di banyak daerah, termasuk di Kendari, Sulawesi Tenggara, bahkan juga di Papua dan Maluku, perkebunan sagu kerap digusur untuk cetak sawah, permukiman, dan industri.
Ketika sagu semakin ditinggalkan oleh masyarakat di Indonesia, antusiasme terhadap tanaman ini justru muncul di Jepang. Pada tahun 2015, Jepang menggelar Simposium Sagu Internasional Ke-12 bertajuk ”Sagu Mendukung Kesejahteraan Manusia dan Planet” (Sago Supports Human and Planet Welfare) yang diadakan di Universitas Rikkyo, Ikebukuro, Tokyo.
Jepang tidak memiliki tanaman ini, tetapi simposium internasional tentang sagu pada 2015 tersebut merupakan ajang ketiga yang telah diadakan di negara ini. Sekitar 120 peserta, termasuk 78 spesialis sagu dari banyak negara di dunia, datang ke Ikebukuro untuk berpartisipasi dalam simposium saat itu. Simposium ini kemudian dibukukan dengan sejumlah informasi menarik, yang menekankan pentingnya sagu bagi masa depan pangan (Ehara, 2018).
Baca juga : Inferioritas Pangan Lokal di NTT
Menurut Yulius, minat Jepang pada sagu diinisiasi oleh seorang tentara Jepang veteran Perang Dunia II yang terdampar di Pulau Seram dan selamat karena mengonsumsi sagu. Sebagai balas jasa terhadap tanaman pangan ini, dia mendonasikan seluruh kekayaannya untuk menunjang penelitian dan pengembangan sagu.
Pada tahun 1992, para peneliti Jepang membentuk The Society of Sago Palm Studies. Ini merupakan asosiasi peneliti sagu pertama di dunia. ”Baru pada tahun 1998, kami membentuk Perhimpunan Sagu Indonesia. Saya mempelajari sagu awalnya juga mengikuti tim riset dari Jepang di Indonesia,” kata Yulius.
Yulius termasuk yang meyakini bahwa sagu bisa menjadi sumber pangan potensial di masa depan, terutama ketika krisis iklim semakin menguat dan menurunkan produksi tanaman biji-bijian yang sangat tergantung pada cuaca. ”Masa depan pangan itu ada di tanaman yang menyimpan karbohidratnya di dalam umbi dan batang. Sagu termasuk yang sangat potensial dikembangkan,” lanjutnya.
Selain tahan terhadap perubahan cuaca, tanaman sagu juga memiliki daya tahan yang sangat baik terhadap kondisi alam ekstrem. ”Sagu merupakan satu-satunya komoditas pangan yang sangat adaptif terhadap kawasan gambut,” ujarnya.
Menurut studi Yulius, ada beberapa jenis sagu yang bisa tumbuh di lahan dengan salinitas cukup tinggi. ”Penelitian di Pulau Seram, kami mengidentifikasi jenis sagu ihur dan tuni yang bisa tumbuh baik sekitar 50-100 meter dari pantai. Area pesisir tempat tumbuhnya sagu ini terdampak pasang dan penguapan garam,” papar Yulius.
Menurut dia, palma penghasil sagu juga beragam dan bisa ditemui di hampir semua wilayah di Indonesia. Selain spesies Metroxylon sagu, yang lazim dijumpai di Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, hingga Kalimantan dan Sumatera, ada beragam jenis lain yang bisa menghasilkan pati sagu. ”Di Sulawesi juga ada jenis sagu yang bisa tumbuh di dataran tinggi,” katanya.
Baca juga : Ke Dapur Warga untuk Merasakan Pangan Lokal
Tanaman aren (Arenga pinnata) juga bisa menghasilkan sagu. Industri mi sagu di Klaten, Jawa Tengah, menggunakan bahan pati aren ini. Bahkan, tanaman gewang (Corypha utan Lamk) yang banyak tumbuh di lahan kering Nusa Tenggara Timur juga bisa menghasilkan sagu. Di Pulau Timor, sagu dari pohon gewang ini disebut sebagai akabilan.
Sagu bukan hanya sumber pangan masa depan, melainkan juga akar sejarah Indonesia. Tanaman endemis Kepulauan Asia Tenggara ini merupakan sumber pangan tertua di negeri ini, yang jejak pengolahannya terdapat di Aceh hingga Papua.
Liputan ini didukung Rainforest Journalim Fund-Pulitzer Center
Prof Dr Ir Yulius Barra’ Pasolon, MAgr
Pekerjaan: Dosen Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, sejak 1985
Jabatan fungsional: Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
Pendidikan:
S-1: Teknik Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar (lulus 1984)
S-2: Soil Fertility and Fertilizer Tokyo University of Agriculture and Technology (lulus 1991)
S-3: Plant Nutrition Science Tokyo University of Agriculture and Technology (lulus 1994)
Organisasi Keilmuan:
- Japanese Sago Association (1995-sekarang)
- Perhimpunan Sagu Indonesia (2000-sekarang)
Penghargaan: Piagam Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya dari Presiden RI tahun 2017