Kenyang dan Nikmat Tanpa Beras dari Kaki Ile Boleng
Warung makan di kaki Gunung Ile Boleng, Pulau Adonara, itu mengobati rasa penasaran kami tentang kekayaan kuliner lokal Nusa Tenggara Timur.
Asap mengepul dari warung makan semi terbuka di tengah ladang di kaki Gunung Ile Boleng. Di tempat itulah Vinsensia Surat dan suaminya, Kamilus Tupen Jumat, menjamu para tamu dengan beragam makanan lokal khas dari Kampung Bayolewung, Pulau Adonara.
Selama perjalanan meliput isu kemandirian pangan di Nusa Tenggara Timur mulai awal hingga pertengahan Agustus 2023, baru di tempat Surat dan Kamilus itulah kami menemukan warung makan yang menyajikan beragam pangan lokal. Sebelumnya, di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu, Lembata, dan Flores Timur, kami tak menemukan warung sejenis.
Warung makan pangan lokal berada di tengah ladang di kaki Ile Boleng, sekitar 6 kilometer dari puncak gunung. Ile Boleng merupakan gunung api aktif yang berada di bagian tenggara Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Batu-batu besar hasil muntahan gunung ini bertebaran di sekeliling warung. Kemungkinan material itu dari erupsi terakhir Ile Boleng pada tahun 1885.
Surat mengundang kami ke dalam dapur yang tak berbatas dinding dengan warungnya. Asap mengepungnya. ”Masak pakai kayu api supaya lebih enak,” ujarnya.
Di tungku pertama, Surat tengah mengukus putu, dibantu anak perempuannya, Ketty. Putu berbahan gaplek, singkong yang telah telah dikupas dan dijemur hingga kering dan kemudian ditumbuk dalam lesung. Gaplek yang telah hancur itu kemudian dikukus di dalam batok kelapa. Putu sangat cocok disajikan hangat-hangat, aroma dan teksturnya lembut.
Di tungku lain, Surat tengah memasak wata snem’a. Jagung titi, jagung sangrai yang ditumbuk dengan batu hingga menjadi pipih kemudian dicampur kelapa parut dan kacang hijau. Ketiga bahan ini kemudian ditanak bersamaan. Komposisi kandungan nutrisinya terbilang komplet. Karbohidrat dari jagung, protein dari kacang, dan lemak nabati dari kelapa.
Putu dan wata snem’a merupakan pangan pokok nonberas yang dulu biasa dikonsumsi masyarakat Adonara dan Lembata. Bahan-bahannya lokal, dari ragam tanaman yang tumbuh dan bertahan baik di iklim kering.
Baca juga: Ke Dapur Warga untuk Merasakan Pangan Lokal
Untuk menemani menu siang itu, Surat juga memasak manuk panggang tapo. Manuk merupakan bahasa lokal untuk ayam kampung yang kemudian disangrai dengan kelapa dan kunyit dan rempah-rempah lain. Bau harum ayam berempah dan kelapa sangrai itu begitu menggoda. Rasanya gurih, sangat pas untuk menemani putu yang sedikit manis.
Surat juga menyiapkan sisa daging ayam untuk dijadikan sop bening dan urap kelapa muda dengan daun kemangi. Menu ini sangat cocok untuk mendampingi wata snem’a.
Makan yang ditanam
Kamilus Tupen turut menemani kami menikmati makan siang itu sambil menerangkan sejarah warungnya. Dengan keramahannya berbagi cerita dan resep, kami lebih berasa sebagai saudara yang bertamu dibandingkan pembeli di warung.
Surat dan Kamilus membuka warung makan dengan menu-menu lokal ini sejak 2019. Hampir semua bahan makanan itu diambil dari hasil kebunnya sendiri dan dibeli dari kebun tetangga di sekitar Bayolewung.
Konsepnya adalah kita tanam apa yang kita makan dan kita makan apa yang kita tanam.
Warung ini merupakan metamorfosis dari konsep kemandirian pangan yang dianut Kamilus, eks pekerja migran di Malaysia. Tahun 2006, sepulang dari Malaysia, Kamilus memilih berkebun. Ia menyulap lahan berbatu menjadi kebun jagung.
Setiap musim panen, banyak orang datang ke kebunnya untuk membeli jagung manis. Di antara pembeli itu, ada yang meminta untuk dimasakkan. Dari situlah muncul ide membuka warung. ”Konsepnya adalah kita tanam apa yang kita makan dan kita makan apa yang kita tanam,” ujarnya.
Kini, warung makan di kebun itu buka setiap hari. Namun, bagi tamu yang ingin berkunjung disarankan memesan menu terlebih dahulu, di luar menu wajib yang selalu tersedia, yaitu putu gaplek dan wata snem’a.
”Orang Adonara itu dulu jarang makan beras. Di tanah kami yang kering ini, lahan yang bisa jadi lahan sawah itu sangat terbatas. Padi memang bisa tumbuh, tetapi paling di lahan kering tadah hujan dan hanya setahun sekali,” katanya.
Baca juga: Menyelisik Kisah Pangan yang Tak Mudah di Pulau Timor
Menurut dia, beras dulu hanya dikonsumsi untuk pesta adat dan acara-acara tertentu. ”Untuk sehari-hari, masyarakat Adonara makan jagung, sorgum, dan umbi-umbian,” kata Kamilus.
Bantuan beras miskin
Namun, kini masyarakat Adonara dan NTT pada umumnya telah mengonsumsi beras dan merasa malu jika mengonsumsi pangan lokal. Sekalipun banyak keluarga masih mengonsumsi jagung untuk makan sehari-hari atau setidaknya mencampur beras dengan jagung, tetapi saat menjamu tamu pasti dengan nasi putih. ”Orang yang makan beras putih itu dianggap kelas atas, demikian sebaliknya yang masih makan nasi jagung dianggap miskin,” katanya.
Anggapan keliru tersebut, menurut Kamilus, terbentuk dari proses panjang kebijakan negara yang bias beras. Dimulai dengan dijadikannya beras sebagai komponen upah pegawai negeri sipil dan aparat militer, beras putih diidentikkan dengan makanan para priyai.
Baca juga: Inferioritas Pangan Lokal di Nusa Tenggara Timur
”Sampai tahun 1970-an, hanya pegawai negeri yang makan beras sehari-hari sehingga ini dianggap makanan eksklusif. Sampai saya merantau ke Malaysia tahun 1989, orang di kampung saya masih dominan makan jagung dan singkong,” katanya.
Ketika Kamilus pulang ke Adonara pada tahun 2000-an, orang-orang di kampungnya masih dominan mengonsumsi jagung dan gaplek. ”Orang semakin banyak mengonsumsi beras setelah mulai ada bantuan raskin. Saat era raskin itu, siapa saja jadi terbiasa makan beras dan akhirnya kecanduan, beras menjadi makanan sehari-hari sampai sekarang,” katanya.
Raskin, kependekan dari beras untuk rumah tangga miskin, merupakan program darurat karena krisis ekonomi pada 1998 dengan nama progam Operasi Pasar Khusus (OPK). Mulai tahun 2002, raskin diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat, tetapi sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat.
Baca juga: Menyelisik Kisah Pangan yang Tak Ringan di Pulau Timor
Di era Presiden Joko Widodo, raskin beralih nama menjadi rastra alias beras sejahtera, tetapi esensinya sama, memberi bantuan beras untuk keluarga miskin. Bantuan beras inilah yang mempercepat pergeseran pola konsumsi pangan di masyarakat Adonara.
Kini, beras telah menjadi makanan pokok mayoritas orang NTT, selain mi instan dan roti-rotian dari gandum. Warung makan yang dibuat Kamilus dan Surat seperti melawan arus deras itu. ”Sering kali tamu yang menikmati pangan-pangan lokal ini justru yang datang dari luar pulau. Kalau orang-orang sini kebanyakan tetap cari nasi putih,” katanya.
Namun, ada juga sesekali warga lokal yang ingin bernostalgia dengan makanan mereka di masa kecil. Bagi orang Adonara sendiri, putu dan wata snem’a kini sangat jarang dijumpai sejak nasi mendominasi meja makan. Bahkan, bagi anak-anak Adonara, mereka lebih sering menikmati mi instan dibandingkan wata snem’a yang bergizi itu.
”Ada juga anak muda yang ingin merasakan makanan yang belum pernah mereka jumpai di rumah. Mereka lalu mengunggah cerita pangan lokal ke media sosial,” kisah Kamilus.
Menyantap makanan tanpa beras yang diracik Surat dan Kamilus siang itu tak hanya mengobati kerinduan kami dengan pangan lokal NTT, tetapi juga memberi energi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya ke pulau-pulau lain. Jadi, jangan lupa mampirlah ke warung Surat dan Kamilus jika ke Adonara.
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center