Hidayatul Rachmawati, Misi Menangani Sampah di Waktu ”Gabut”
Hidayatul Rachmawati adalah sosok pendiri bank sampah di Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Memulai semuanya dengan inisiatif sendiri, dia pun gigih mengembangkannya secara mandiri.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Banyak orang cenderung menghabiskan waktu luang dengan kegiatan rekreatif dan menyenangkan diri. Namun, hal berbeda dilakukan Hidayatul Rachmawati (47). Dia menghabiskan waktu ”gabut” di tahun 2018 dengan aktif melakukan kegiatan pemilahan sampah dan mendirikan bank sampah.
Hidayatul, yang akrab disapa Nunuk, memulai dengan merintis bank sampah unit Sakura di dusunnya di Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kini, bank sampah itu telah berkembang jadi bank sampah sektoral tingkat desa, yaitu Bank Sampah Bumi Hijau, yang memiliki 375 nasabah dari lima desa.
Inisiatif mendirikan bank sampah ini dia akui awalnya sebatas ingin mengisi waktu kesehariannya di rumah. ”Daripada saya gabut di rumah,” ujarnya.
Namun, mengisi waktu luang tidak kemudian dimaknai dengan aktivitas asal-asalan. Nunuk sepenuh hati menjalankan ”misi” penanganan sampah secara mandiri, termasuk berusaha melengkapi sarana dan prasarananya sendiri.
”Ketika di tahap awal bank sampah belum memiliki kendaraan pengangkut sampah, saya pun berinisiatif membeli mobil pengangkut sampah sendiri,” ujar Nunuk saat ditemui, Rabu (14/12/2022).
Mobil bak terbuka yang dibeli dengan harga sekitar Rp 30 juta tersebut masih dioperasikan untuk mengangkut sampah hingga kini. Sebelum membeli mobil sendiri, Nunuk mengandalkan pinjaman mobil pengangkut dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Magelang.
Tak hanya mobil, di awal pendiriannya, bank sampah unit Sakura juga tak memiliki tempat atau bangunan penampung sampah sendiri. Untuk mengatasi hal itu, Nunuk dan rekan-rekannya hampir setiap tahun mencari rumah atau gedung tak terpakai, yang kemudian disewa untuk menjadi tempat penampung sampah.
Masalah bangunan penampung sampah ini baru terpecahkan ketika Bank Sampah Bumi Hijau mendapat bantuan tanah bengkok dari kepala desa pada 2021. Selain mendapat tanah, bank sampah itu juga mendapat bantuan dana pembangunan gedung dari PT Pegadaian.
Ketika di tahap awal bank sampah belum memiliki kendaraan pengangkut sampah, saya pun berinisiatif membeli mobil pengangkut sampah sendiri.
Di luar soal sarana prasarana, Nunuk pun gigih melakukan berbagai upaya mengembangkan bank sampah yang ia bangun. Selain aktif melaporkan inisiatif pendirian bank sampah kepada DLH, dia pun aktif meminta pendampingan dan minta diikutsertakan dalam berbagai program pelatihan.
Dengan semua perjuangan dan semangatnya tersebut, Nunuk pun akhirnya diminta DLH untuk membantu mendampingi warga di dusun-dusun lain membentuk bank sampah unit.
Nunuk pun dinilai berhasil mengembangkan budidaya maggot sehingga Bank Sampah Bumi Hijau ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membantu warga melakukan kegiatan serupa di sejumlah kecamatan lain di Magelang.
Merintis bank sampah
Sebelum merintis bank sampah ini, Nunuk tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Baru pada 2015, dia dan keluarga pindah ke Desa Bumiharjo.
Awalnya, dia tetap meneruskan bekerja di Yogyakarta dan terpaksa pergi-pulang Magelang-Yogyakarta setiap hari. Namun, setelah setahun, Nunuk memutuskan berhenti kerja karena kelelahan.
Ia pun kemudian tinggal di rumah dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Namun, Nunuk berkeinginan mencari aktivitas lainnya.
Ia melihat banyak tetangganya menyelesaikan masalah sampah hanya dengan membuangnya dan menunggu diangkut petugas kebersihan. Nunuk pun tergerak membangkitkan semangat warga untuk memilah sampah dan menjualnya ke pengepul barang bekas. ”Saya memotivasi warga untuk memilah sampah karena sampah seperti kertas, kardus, dan plastik itu sebenarnya bernilai jual,” ujarnya.
Dia pun mengajak suami dan tetangga terdekat di lingkup satu RT untuk membangun bank sampah unit Sakura. Pada saat bersamaan, sebuah hotel bintang lima di Borobudur tengah mencari mitra untuk diajak bekerja sama mengolah sampah dan limbah hotel.
Nunuk pun diminta mempresentasikan aktivitas di bank sampahnya. Meskipun bank sampah itu baru beroperasi, pihak hotel tertarik dan memutuskan menggandeng Nunuk sebagai mitra. Kerja sama itu berlangsung hingga kini.
Kerja sama dengan hotel bergengsi tersebut membuat Nunuk semakin tertantang untuk menjalankan misi penanganan sampah. Seiring waktu, dia pun intens melakukan berbagai upaya mengembangkan aktivitas bank sampah.
Tahun 2020, bank sampah tingkat dusun yang dirintisnya berkembang menjadi bank sampah sektoral dengan nama Bank Sampah Bumi Hijau. Rata-rata volume sampah yang diterima bank sampah tiap hari mencapai sekitar dua kuintal.
Di bawah komando Nunuk, para pengurus bank sampah siaga menerima berbagai macam sampah organik dan anorganik, seperti kardus, botol plastik, botol kaca, jeriken, sampah dapur hingga minyak jelantah. Setelah menerima sampah, bank sampah menindaklanjuti dengan memilah sampah dan mengolah limbah menjadi berbagai produk kreatif dan kompos. Sampah organik secara khusus dipilah menjadi pakan maggot yang dibudidayakan.
Bank Sampah Bumi Hijau juga mengelola tabungan para nasabah. Sebagian hasil tabungan disimpan dalam bentuk uang dan sebagian ada yang disimpan dalam bentuk tabungan emas, buah dari kerja sama dengan PT Pegadaian.
Sekalipun sudah berhasil mengembangkan bank sampah, Nunuk menganggap tugasnya membantu menangani sampah di lingkungan sekitar belum selesai. Saat ini, Bank Sampah Bumi Hijau baru menerima 60 persen sampah desa dan sekitar 40 persen sisanya masih dibuang warga tanpa dipilah. Namun, dia bertekad akan terus memotivasi warga memilah sampah.