Jumadi, Antara Mi dan Jamban
Jumadi punya prinsip untuk berbuat setidaknya satu kebaikan setiap hari kepada orang lain dengan cara menyumbang tenaga, pikiran, atau kalau memungkinkan menyumbang dana.
Beberapa bulan terakhir ini, keseharian Jumadi diisi dengan urusan mi ayam dan jamban. Dari pagi hingga sore ia berjualan mi ayam di PasarKlithikan Notoharjo, Surakarta. Di sela-sela itu, ia sibuk mengurus pembangunan jamban sehat gratis untuk warga tidak mampu di Kelurahan Mojo, Surakarta, Jawa Tengah.
Hujan deras mengguyur Surakarta, Rabu (14/12/2022) siang, dan menghalangi niat Jumadi untuk mengantar tamunya dari Jakarta yang ingin melihat perkembangan proyek jamban sehat di Kampung Mojo. Biasanya, ketika ada tamu seperti itu, ia memilih meninggalkan dagangannya.
"Saya jadi nggak enak Mas. Mohon maaf ya," katanya di sela-sela kesibukannya melayani pembeli yang datang silih berganti. Ia berdagang di tengah Pasar Klithikan Notoharjo yang jaraknya sekitar 100-200 meter dari wilayah RT 001 RW 03 dan RT 009 RW 02, Kampung Mojo, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta.
Sejak mengurus pembangunan jamban sehat dan akses air minum di Kampung Mojo, ia sering meninggalkan dagangannya demi mengurus kedua proyek itu. Ia menceritakan, suatu hari ada pipa air minum yang bocor, ia bergegas menutup dagangannya dan menambal sementara pipa air itu. Setelah itu, ia kembali berdagang. Pulang dagang, ia kembali memperbaiki pipa tersebut agar tidak bocor lagi.
Di lain hari, ada warga yang sudah setuju dibuatkan jamban sehat, tetapi berubah pikiran. Kembali ia tinggalkan dagangannya untuk membujuk warga tersebut. "Pokoknya, kalau ada masalah saya segera selesaikan dulu masalah itu. Urusan dagangan, saya pikir belakangan," katanya.
Pada momen-momen tertentu, seperti ketika ada acara peresmian proyek atau kunjungan tamu dari daerah yang ingin belajar tentang pengelolaan sanitasi lingkungan, ia memilih libur jualan. Padahal, pendapatannya sehari-hari bergantung pada jualan mi ayam. Kalau tidak dagang berarti tidak ada pemasukan.
"Ya, saya merasa itu sudah tanggung jawab saya. Saya memegang amanah warga," ujar Jumadi yang memperoleh keuntungan paling banyak Rp 100.000 per hari dari jualan mi. Kadang, pendapatannya tinggal setengahnya karena sebagian pelanggannya mengutang.
Jumadi ikhlas membagi sebagian besar waktunya untuk urusan jamban sehat dan akses air minum karena dua hal itu menjadi persoalan lingkungan paling mendasar di perkampungan padat Mojo. Selama ini, katanya, warga menggelontorkan begitu saja kotoran manusia dan limbah domestik lainnya ke got-got. Limbah itu kemudian bercampur dengan limbah pemotongan ayam dan aneka sampah. Saat musim kemarau dan air got tidak mengalir, aroma busuk menguar ke udara.
Jumadi dan sebagian warga Mojo sadar bahwa kondisi lingkungan seperti itu jauh dari sehat. Akan tetapi, mereka tidak bisa mengusahakan jamban yang sehat lantaran mereka terbelit kemiskinan. "Selain itu, masih banyak yang berpikir ngapain bikin jamban, toh selama ini bisa buang kotoran ke got," cerita Jumadi.
Kemiskinan
Kampung Mojo merupakan nama baru untuk Silir yang lama menjadi lokasi pelacuran di Kota Surakarta. Tahun 1998, lokalisasi itu secara resmi ditutup, namun praktik prostitusi masih berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Baru pada 2015, praktik prostitusi hilang dari Mojo.
Sebagai kawasan bekas lokalisasi, stigma negatif terus melekat pada Silir. Akibatnya, kampung itu cenderung terabaikan. Setelah berganti nama menjadi Mojo pada 2018, barulah program perbaikan lingkungan mulai dilakukan pemerintah. Tetapi anggaran yang minim tidak bisa menyelesaikan semua persoalan di permukiman padat penduduk itu, termasuk yang paling mendasar yakni akses air bersih layak minum dan jamban sehat.
Sejumlah warga RT 001 RW 003 dan RT 009 RW 002 yang lokasinya dulu ada di jantung Silir, akhirnya bergerak sendiri mengusahakan perbaikan sanitasi lingkungan. Selama tujuh tahun mereka memperjuangkan akses air minum. Belakangan mereka membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mojo Waras yang diketuai oleh Jumadi agar perjuangan mereka lebih terorganisasi.
Baca juga: Wheny Susianti, Juru Parkir Penggerak Warga
Baca juga: Mukh Maruf, Jamban Sang Kepala Desa
Didampingi lembaga IUWASH USAID Plus, mereka mengedukasi warga tentang pentingnya sanitasi lingkungan yang sehat dan gaya hidup bersih. Setelah itu, mereka mengorganisasi warga untuk mengadakan akses air minum ke rumah-rumah dengan mekanisme dana bergulir. Dananya berasal dari pemerintah kota, pinjaman KSM Dabagsari Makmur, dan hibah dana bergulir dari donasi pembaca Kompas yang dikelola oleh Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas.
Pada pengujung 2021, akhirnya air minum mengalir mengalir ke puluhan rumah warga RT 001 RW 003 dan RT 009 RW 002. Momen itu disambut haru sejumlah warga yang selama belasan tahun mendambakan air bersih.
Setelah proyek air minum selesai, KSM Mojo mengusahakan pembangunan jamban sehat. Program itu terlaksana berkat bantuan donasi pembaca harian Kompas yang disalurkan melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas pada pertengahan 2022. Saat itu telah terbangun jamban sehat tahap pertama untuk 22 keluarga. Pada tahap kedua, dibangun jamban sehat untuk 23 keluarga.
Satu kebaikan
Jumadi berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia sempat lama merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai koki rumah makan dan berdagang buah-buahan. Tetapi suasana kampung terus memanggilnya. Maka, pada 2006 ia memutuskan pindah ke Surakarta.
Ia mengontrak di sebuah rumah petak di Silir dan jualan mi ayam di sana. Pembelinya sebagian besar adalah penghuni dan pengunjung lokalisasi, serta warga setempat. Selama ia tinggal di sana, ia menyaksikan denyut kehidupan di Silir dan perubahannya saat prostitusi benar-benar bisa dihilangkan dari sana. Tetapi satu hal yang tidak banyak berubah adalah kondisi kampung.
Kampung yang telah berubah nama menjadi Mojo kondisinya tetap sama. Permukiman tetap padat--bahkan makin padat dengan masuknya pendatang baru. Rumah-rumah berimpitan dengan akses keluar-masuk kampung berupa jalan sempit dan gang-gang yang meliuk-liuk seperti ular. Seiring dengan itu, sanitasi makin buruk. "Alhamdulillah sekarang sedikit demi sedikit ada perubahan," ujar Jumadi.
Sejumlah warga mengakui peran Jumadi dalam perubahan itu. Sejak tinggal di Mojo, ia sangat aktif dalam kegiatan lingkungan. Itu sebabnya ia dipilih sebagai Sekretaris RT 009 RW 02. Sampai sekarang setelah bertahun-tahun, jabatan itu masih dipercayakan warga kepada Jumadi.
Ketika warga membentuk KSM Mojo Waras, mereka mempercayakan posisi ketua kepada Jumadi. Amanah dari warga itu ia jalankan dengan sepenuh hati. Ia selalu hadir dalam rapat-rapat perencanaan program perbaikan sanitasi. "Seringkali saya dan teman-teman KSM begadang sampai malam untuk membuat proposal atau menyusun laporan perkembangan pembangunan jamban sehat kepada lembaga yang membiayai program itu," tuturnya.
Besok paginya, seperti biasa ia ke pasar selepas subuh untuk berbelanja keperluan berdagang mi ayam. Selanjutnya ia pulang dan memasak dagangan. Setelah menyiapkan sarapan untuk ketiga anaknya, barulah ia berangkat ke lokasi berdagang sekitar pukul 08.00. Di sana, ia berdagang hingga pukul 17.00.
Baca juga: Titik Nurkayati, Mengubur Memori Rentang Silir
"Kalau dihitung-hitung, waktu saya untuk keluarga harus dibagi dua dengan urusan lingkungan. Makanya, anak-anak kadang komplain karena saya sibuk ngurusin orang lain daripada diri sendiri," ujar laki-laki murah senyum itu.
Jumadi menerima komplain anak-anaknya dengan berusaha mengurus mereka lebih baik lagi tanpa meninggalkan kewajibannya mengurus lingkungan. "Saya punya prinsip untuk berbuat setidaknya satu kebaikan setiap hari kepada orang lain dengan cara menyumbang tenaga, pikiran, atau kalau memungkinkan menyumbang dana," katanya.
Jumadi percaya, untuk berbuat baik kita tidak perlu menunggu kaya.
Jumadi
Lahir: Sukoharjo, 5 Juli 1975
Anak: tiga orang
Pendidikan: SD
Organisasi: Ketua KSM Mojo Waras, Surakarta