Citra, kinerja, dan integritas sumber daya manusia di KPK menjadi kunci untuk meningkatkan kembali marwah lembaga antirasuah ini di hadapan publik. KPK tetap menjadi tumpuan dalam pemberantasan korupsi.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Karakter antikorupsi pemimpin dan pegawai KPK perlu diperkuat di tengah upaya meraih kembali kepercayaan publik. Keraguan pada integritas penggawa KPK diharapkan tidak membesar menjadi batu sandungan.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Februari 2022 merekam, separuh lebih responden meragukan kredibilitas penggawa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kelompok ini menyatakan pendapat terkait adanya pemimpin dan pegawai KPK yang berperilaku koruptif.
Sebanyak 37,1 persen berpendapat, perilaku koruptif terjadi di semua lapisan, baik jajaran pemimpin maupun pegawai. Sementara itu, 10,3 persen berpendapat karakter tidak terpuji ini hanya ada di kalangan pegawai dan 6,2 persen hanya ada pada lingkup pemimpin.
Keraguan pada kualitas dan karakter pegawai ini selaras dengan penurunan citra KPK yang saat ini terjadi. Dalam dua tahun terakhir, citra baik KPK di mata publik ada di kisaran 65,8 persen hingga 74,3 persen.
Ada harapan publik yang tidak berhasil dipenuhi oleh KPK. Potret yang tersaji melalui data kuantitatif di atas bisa jadi dipengaruhi oleh dinamika KPK sebagai organisasi. Misalnya saja, setidaknya tiga pegawai KPK terbukti melanggar kode etik sepanjang 2021.
Ada harapan publik yang tidak berhasil dipenuhi oleh KPK.
Pada April 2021, karyawan KPK pada Direktorat Barang Bukti dan Eksekusi berinisial IGA diberhentikan tidak hormat karena melanggar kode etik, tidak jujur, dan menyalahgunakan wewenang. IGA terbukti melakukan pencurian barang bukti berupa emas seberat 1,9 kilogram.
Pada Mei 2021, penyidik Ajun Komisaris SRP diberhentikan tidak hormat karena menerima suap. Ia terbukti menerima Rp 1,3 miliar dari Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Suap tersebut untuk menghentikan penyidikan dugaan korupsi dalam proses lelang atau mutasi jabatan yang melibatkan Syahrial.
Pada Agustus 2021, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diputus melanggar kode etik karena menyalahgunakan pengaruh dan berhubungan langsung dengan pihak yang kasusnya tengah ditangani KPK.
Terperiksa menerima hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan. Untuk diketahui, gaji pokok hanya komponen kecil dari pendapatan total yang diterima setiap bulan.
Kasus ini menjadi preseden buruk pada citra antikorupsi pegawai KPK. Apalagi, harapan publik sudah terlampau besar pada KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang garang memerangi korupsi. Survei Nasional Kompas pada periode 2015-2019 menunjukkan KPK menjadi lembaga penegak hukum dengan sentimen positif tertinggi.
Meski demikian, nyala api harapan tetap ada. Setidaknya 3 dari 10 responden meyakini masih adanya karakter bersih dan antikorupsi pegawai KPK. Dalam kasus IGA, preseden baik juga ditunjukkan oleh pegawai KPK yang melaporkan kasus pencurian tersebut. Ia tetap berpegang pada nilai kejujuran.
Tidak hanya Lili, pelanggaran kode etik juga pernah dilakukan jajaran pemimpin KPK lainnya. Pada September 2020, Ketua KPK Firli Bahuri diputuskan melanggar kode etik karena menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadi.
Dalam perjalanannya menjadi Ketua KPK, Firli tidak lepas dari sorotan. Di awal pencalonannya, Firli telah mendapatkan penolakan. Sedikitnya 500 pegawai KPK menandatangani penolakan untuk Firli menjadi pimpinan KPK. Untuk diketahui, Firli menjadi satu-satunya nama calon yang diserahkan DPR kepada Presiden Joko Widodo.
Surat kabar ini pada 9 Februari 2020 juga melaporkan kunjungan Firli ke DPR lebih sering dibandingkan dengan pemimpin KPK sebelumnya. Anjangsana ini dipandang dapat memengaruhi independensi karena keterlibatan pimpinan KPK dalam rapat dengan kekuasaan eksekutif.
Baru-baru ini, langkah Firli dalam memberikan penghargaan untuk istrinya, Ardina Safitri, turut mengundang persoalan. Firli memberikan penghargaan kepada Ardina atas lagu ciptaannya yang dihibahkan sebagai lagu mars dan himne KPK pada Februari 2022.
Menurut publik, langkah tersebut tidak sesuai dengan tugas pemimpin KPK yang seharusnya lebih fokus pada pemecahan kasus-kasus korupsi besar yang saat ini masih menghantui negeri.
Survei Nasional Kompas pada Januari 2022 merekam citra KPK ada pada angka 70,9 persen. Angka ini menunjukkan perbaikan jika dilihat dalam konteks senja kala KPK yang terjadi dua tahun belakangan. Namun, angka tersebut belum cukup mendongkrak citra KPK yang sempat menyentuh angka 88,5 persen pada Januari 2015.
Apresiasi yang rendah pada awal tahun ini ditunjukkan dari golongan muda. Ketika jumlah golongan tua pada ketidakpuasan di kisaran 20 persen, jumlah responden dari generasi Z mencapai 33,9 persen.
Generasi Z ini dikategorikan dari responden kelahiran berusia 17-25 tahun. Sepertiga dari Gen Z yang tidak puas ini juga menyampaikan citra saat ini sangat buruk. Lebih tinggi pula dibandingkan dengan generasi lainnya.
Sementara itu, generasi milenial juga menunjukkan ketidakpuasan yang sama dengan generasi tua. Pada Gen Y-Muda, terekam 20,8 persen yang tidak puas, sementara 22 persen pada Gen Y-Tua. Artinya, Gen Y memiliki pandangan yang serupa dengan generasi seniornya.
Sementara itu, Gen Z, sebagai generasi baru dalam percaturan politik secara umum, memberikan karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Dengan kondisi ini, Gen Z adalah ”milenial baru” yang selama ini dipersepsikan selalu berbeda dengan generasi sebelumnya.
Respons dari Gen Z ini adalah suara vokal yang patut diperhatikan. Karakter generasi digital ini tidak jarang dilandasi oleh pengetahuan politik dan hukum yang lebih komprehensif dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Di tengah kritik pada KPK dari sisi citra, kinerja, ataupun kualitas sumber daya, harapan yang besar tampak pula dari publik jajak pendapat. Tujuh dari sepuluh responden yakin bahwa kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi perlahan akan semakin tajam. Harapan ini diharapkan menjadi satu di antara banyak alasan untuk KPK kembali berintegritas. (LITBANG KOMPAS)