Sahari, Tekad Berbagi demi Lestarinya Gamelan dan Wayang
Sekalipun hidup sederhana dan memperkaya kemampuan secara otodidak, Sahari (52) sama sekali tak pelit untuk berbagi ilmu, ruang, dan sarana untuk berlatih. Semua dilakukan agar kesenian wayang dan gamelan terus lestari.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·6 menit baca
Setelah susah payah menabung untuk membeli perangkat gamelan dan pentas wayang, Sahari (52) tak pernah membiarkan semuanya untuk kebutuhan diri sendiri. Sebaliknya, sejak tahun 2002, dia membebaskan setiap orang datang untuk berlatih ataupun meminjam semua peralatan kesenian miliknya secara gratis.
Semua ia lakukan dengan ikhlas, mengacu pada pengalamannya sendiri. Di masa lalu, dia sering berlatih, belajar, ataupun meminjam gamelan serta wayang di tempat orang lain. ”Karena dahulu sudah dibantu, dimudahkan oleh orang lain, maka saya pun tak ingin menyulitkan mereka yang datang untuk belajar gamelan dan wayang,” ujarnya, Kamis (12/5/2022).
Sahari adalah dalang sekaligus pendiri dan pemimpin Sanggar Darmo Wijoyo asal Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kemampuannya menjadi dalang dan memainkan gamelan didapatkan dengan menggenjot dirinya sendiri untuk berlatih dan belajar secara otodidak.
Sehari-hari selama belasan tahun, Sahari bekerja sebagai petugas kebersihan berstatus tenaga harian lepas di Balai Penelitian dan Pengembangan Gangguan akibat Yodium di Borobudur. Dia juga memiliki sejumlah pekerjaan sampingan lain, termasuk menjadi tukang becak dan pedagang asongan di kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Hasil jerih payahnya itu yang kemudian ia tabung untuk membeli gamelan dan wayang.
Karena dahulu sudah dibantu, dimudahkan oleh orang lain, maka saya pun tak ingin menyulitkan mereka yang datang untuk belajar gamelan dan wayang.
Rumah sekaligus sanggarnya dibangun sederhana berdinding bambu, berlantai tanah yang diberi alas terpal. Sekalipun tidak hidup berlebihan, Sahari sepenuh hati berbagi ilmu, ruang, dan semua peralatan yang dimiliki. Ruang lebar berbagi itulah yang kemudian membuat banyak orang berdatangan untuk menimba pengetahuan. Selain dari wilayah Magelang, mereka berdatangan dari berbagai kota lain, seperti Solo dan Semarang.
Secara berkelompok, mereka yang akan berlatih gamelan biasa datang pada akhir pekan. Namun, di luar itu, sering kali juga ada yang datang sendirian, sekadar untuk belajar seni pedalangan.
”Kursus” atau pelatihan tersebut berlangsung dengan jadwal sesukanya, sesuai kebutuhan dari ”peserta pelatihan”. Salah seorang warga asal Semarang yang ingin belajar jadi dalang, misalnya, datang berlatih dalam 10 kali pertemuan, yang dilakukan di hari-hari tertentu sesuai kesepakatan mereka berdua.
Saat berbagi ilmu, Sahari tidak pernah memosisikan diri berlaku sebagai guru. Dia juga tidak pernah memberi materi melalui tulisan di papan tulis atau whiteboard. Pembelajaran hanya dilakukan dengan berlatih bersama, dan dia akan memberikan masukan sebagai teman. ”Relasi berjarak saat pelatihan akan membuat warga yang sedang berlatih menjadi tegang dan tidak dapat menyerap materi dengan baik,” ujarnya.
Banyak ”anak didiknya” sukses dan populer. Tidak semuanya memberi kabar perihal keberhasilan tersebut. Namun, hal itu tidak membuatnya gusar. ”Cukup mendengar sedikit informasi, mendapat kabar dari orang lain bahwa mereka sudah menjadi pemain gamelan yang sukses dan eksis terus bermain saja, saya sudah merasa lega dan ikut senang,” ujarnya.
Semua itu, menurut dia, juga dilakukan sebagai bagian dari upayanya untuk menjaga agar pentas wayang dan gamelan terus eksis, lestari sebagai pentas kesenian yang hidup di tengah masyarakat.
Meski ia sudah menegaskan tidak memungut tarif untuk pelatihan atau peminjaman alat, ada saja peminjam yang sadar diri memberikan benda berharga, seperti sertifikat tanah, sebagai jaminan. Namun, di sisi lain, ada pula orang yang berkilah meminjam, tetapi ternyata kemudian ketahuan ingin mencuri dan menjual gamelan tersebut. Kasus yang terjadi pada tahun 2017 ini sempat membuat Sahari kehilangan gamelannya.
Kendati demikian, hal ini tidak lantas membuatnya jera. ”Kejadian buruk yang pernah saya alami cukup menjadi penanda agar saya lebih berhati-hati saja,” ujarnya.
Sejak kelas I SD, Sahari kecil sudah terbiasa dan suka menonton pentas wayang. Berawal dari sekadar melihat teman-teman sekampungnya latihan menjadi dalang hingga berlanjut menjadi kebiasaan menonton pentas wayang.
Sama seperti penonton lainnya, Sahari pun sering bergadang untuk menonton pentas wayang yang biasanya baru berakhir dini hari. Kebiasaan ini tetap dilakukannya di hari-hari aktif sekolah sehingga akhirnya dia pun kerap mengantuk dan tidur di kelas.
”Saat di kelas, saya biasanya akan memasang buku lebar-lebar, untuk menutupi wajah saya yang tertidur saat duduk di bangku di kelas,” ujarnya sembari tertawa.
Di luar masalah tertidur di kelas, Sahari yang masih kerap terbawa suasana pentas wayang juga sering kali memanfaatkan waktu istirahat atau saat guru belum datang dengan berlatih meniru-niru gaya seorang dalang. Dodogan atau suara pukulan yang muncul saat dalang memukulkan cempala ke dalam kotak wayang ditirunya dengan mengetuk kaki meja yang terbuat dari besi.
Agar benar-benar seperti pentas wayang, sembari melatih suluk, saya biasanya juga mengetuk meja dan kaki meja yang terbuat dari besi.
Di rumah, aktivitas terkait wayang pun tidak berhenti. Dari pengalaman nonton pentas wayang, dia pun mencoba menirukan gaya dalang hingga mencoba berlatih menirukan suluk. ”Agar benar-benar seperti pentas wayang, sembari melatih suluk, saya biasanya juga mengetuk meja dan kaki meja yang terbuat dari besi,” ujarnya.
Ketika itu, sesi latihan Sahari sering kali menarik perhatian dan membuat dirinya jadi tontonan teman-teman sekelas.
Setelah berulang kali berlatih, saat acara api unggun di sekolah, dia pun memberanikan diri menampilkan pentas wayang. Ketika itu, wayang yang dipakai adalah wayang berbahan kardus yang dibuatnya sendiri. Sementara musik gamelan dimainkan dari kaset yang diperdengarkan dengan sound system seadanya.
Namun, tak disangka, pertunjukan ini disukai oleh teman-teman dan guru di sekolahnya. Pertunjukan pertama itu pun seolah membuka jalan, membuatnya dikenal sebagai dalang, sehingga ramai menerima banyak permintaan pentas.
Seiring waktu, Sahari pun berupaya terus memperbaiki kualitas pentas wayang dengan melengkapi sarana prasarana yang dimiliki. Sebagai ganti wayang kardus, dia mulai sering meminjam wayang kulit dari berbagai sanggar dan milik pribadi. Suara gamelan dari kaset diganti suara gamelan asli. Para pemain gamelan biasanya dia cari dari warga sekitar.
Setelah berulang kali meminjam, Sahari berupaya agar bisa membeli dan memiliki wayang berikut gamelan. Lepas SMA, dia pun bekerja. Lebih dari 10 kali pindah pekerjaan dan menekuni beragam profesi, dia selalu menyisihkan sebagian penghasilannya guna ditabung untuk membeli gamelan dan wayang.
Tahun 2000, dia berupaya ”mencicil” dengan membeli kendang. Uang pun terus dikumpulkan hingga akhirnya dia bisa membeli satu set gamelan lengkap berbahan perunggu pada tahun 2002.
Setelah lebih dari 20 tahun mencicil kelengkapan sarana prasarana, Sahari kini telah memiliki dua set gamelan, satu peti berisi 250-400 wayang, dan seperangkat sound system. Sarana prasarana yang dimiliki membuatnya kian bersemangat untuk berbagi ilmu dan terus menjalankan aktivitas kesenian, mementaskan wayang dan musik gamelan.
Sahari memang memendam cita-cita lain agar bisa segera beralih status menjadi aparatur sipil negara sehingga kesejahteraannya meningkat. Namun, di luar itu, baginya yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar pentas wayang dan kesenian gamelan tetap menjadi kesenian yang lestari dan tidak tergerus zaman.
Sahari
Lahir : Magelang, 19 Oktober 1970
Pendidikan terakhir : Sekolah Pertanian Menengah Atas Salam, Magelang