Mateus Suwarsono menciptakan ratusan koreografi dan dramatari setelah mendalami kearifan lokal dan etnisitas di Sumatera Utara. Dia menjadikan kesenian sebagai kohesi sosial.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Mateus Suwarsono
Mateus Suwarsono memilih hidup dan mengabdi di Medan karena merasa perannya lebih dibutuhkan di sini daripada di kampung halamannya, Yogyakarta. Dia menyelami seni etnis, lalu menciptakan ratusan koreografi dengan melibatkan orang-orang sekitar. Di tangannya, seni menjadi pemerkuat kohesi sosial.
Suara orang-orang bertadarus lewat pelantang suara dari beberapa masjid terdengar jelas di Sanggar Seni Balai Pertunjukan Bale Marojahan, tempatnya berkesenian. Malam baru beranjak ketika Suwarsono mulai berkisah tentang kiprahnya. Kami duduk dikelilingi beragam properti seni, seperti gondang sembilan, kuda lumping, dan seabrek kostum teater. ”Di sinilah biasa kami latihan,” kata Suwarsono, Selasa (12/4/2022).
Selama pandemi, sanggarnya lebih banyak libur latihan dan beralih menggunakan aplikasi Zoom. Itu pun hanya pada tahun pertama pandemi ketika Suwarsono menginisiasi seniman dan siapa pun untuk tetap mencari kemungkinan ruang baru berekspresi sekaligus menjadi katarsis bagi banyak orang untuk menjaga kewarasan. Ada yang monolog, menari, membaca puisi, hingga menyanyi. Sayangnya upaya itu hanya berjalan enam episode dengan 12 penampil. Sebab, ketika pandemi menggila pertengahan tahun lalu, peserta lebih banyak berkonsentrasi menyelamatkan diri.
Tak lama setelah itu, Suwarsono berteriak memanggil pegiat sanggar untuk latihan karena pada Oktober 2021 mereka harus tampil dalam penutupan PON XX di Papua. Di malam membahagiakan itu, Bale Marojahan menampilkan tarian multietnis. Delapan subetnis dan etnis di Sumatera Utara, yakni Toba, Karo, Simalungun, Pakpak Bharat, Dairi, Angkola, Mandailing, dan Melayu, ditampilkan dalam sebuah koreografi. Ini bukan hal asing bagi Suwarsono karena ia sudah 25 tahun mendalami seni berbasis etnis di Medan.
Misalnya, sekitar 10 tahun lalu, Suwarsono menciptakan koreografi Shinta Hilang yang dipentaskan dalam Festival Ramayana Nasional 2012 di Panggung Terbuka Ramayana Candi Prambanan. Dia menggabungkan gerakan-gerakan silat khas delapan etnis dan subetnis tersebut. Misalnya, gerakan silat Toba yang banyak meniru harimau, dia proyeksikan sebagai karakter Rahwana; lalu gerakan silat Simalungun yang repetitif dan pendek, cocok untuk karakter kera; sementara silat Melayu yang cenderung banyak kembangan, ia jadikan karakter para ksatria. Tarian yang banyak dipuji dan dikritik itu berdasarkan riset Suwarsono selama empat bulan.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Mateus Suwarsono
Pujian dan kritikan itu baginya hal yang lumrah dalam berkesenian. Yang dia harapkan, para pengkritik tak melulu melihat kreasinya dari kacamata Jawa-sentris karena ia tengah mengakulturasikannya dalam lokalitas Sumut.
Panggilan
Suwarsono lulus dari Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta pada 1994. Tahun 1997 dia dikirim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memenuhi permintaan Taman Budaya Sumatera Utara agar memiliki sarjana musik dan tari.
Tahap awal di Medan, dia mengamati, lalu menemukan bahwa potensi kebudayaannya luar biasa karena daerah ini memiliki keragaman tinggi. Setidaknya ada 14 subetnis, termasuk yang datang dari luar Sumut ataupun luar negeri. Misalnya, di sini juga tinggal komunitas India, China, dan Arab. ”Tetapi, pejuang kesenian tak banyak. Bahkan, pendidikan seni murni tak ada. Yang ada hanya musik, itu pun bukan seni murni, melainkan etnomusikologi,” kata Suwarsono tentang kondisi waktu itu.
Atas dasar itu, dia makin teguh tinggal di Medan karena merasa lebih dibutuhkan di sini daripada di Yogyakarta. Pelan-pelan, Suwarsono menghimpun data dan mempelajari kebudayaan dan tradisi lokal. Itu dia lakukan sembari memainkan tari kontemporer keliling Sumatera dari Aceh hingga Lampung.
Ketika merasa cukup bekal pengetahuan dan data empiris, sejak 2002 pelan-pelan ia lalu menyentuh etnisitas sebagai bahan dasar menciptakan koreografi.
Pria yang beberapa kali memenangi kejuaraan kompetisi Tari Etnis Sumatera Utara ini mencoba menggali kearifan lokal, lalu memproyeksikan dalam gerak. Salah satu karyanya adalah dramatari Spirit Perjuangan Raja Sisingamangaraja XII pada Juni 2011. Dia mengetengahkan heroisme dan ritualitas subetnis Toba dalam karya itu. Tari ini dianggap mampu mewakili semangat juang Sisingamangaraja hingga cicit Sisingamangaraja menampilkan dramatari tersebut ketika dia menikah.
Tahun 2012, Suwarsono menciptakan koreografi Nande yang menggabungkan tari bedaya dari Jawa sebagai konfigurasi serta gerakan khas yang digali dari kebiasaan perempuan Karo. Tari ini adalah bentuk penghargaan Suwarsono terhadap keagungan perempuan Karo yang lembut dan rela berkorban demi kesuksesan anaknya.
”Ini observasi dari hasil keliling mengenal karakteristik perempuan Karo. Bagi masyarakat Karo, pusatnya itu perempuan. Dia siap mati untuk keluarga. Siap garuk tanah untuk dapat duit dan anaknya bisa sekolah,” kata Suwarsono tentang inspirasi tari berdurasi 30 menit itu.
Tahun 2012, Suwarsono menciptakan koreografi Nande yang menggabungkan tari bedaya dari Jawa sebagai konfigurasi serta gerakan khas yang digali dari kebiasaan perempuan Karo. Tari ini adalah bentuk penghargaan Suwarsono terhadap keagungan perempuan Karo yang lembut dan rela berkorban demi kesuksesan anaknya.
Pria yang berulang kali diundang ke Malaysia, China, dan Jerman untuk memanggungkan tari atau dramatari itu telah menciptakan ratusan koreografi berdasarkan kearifan lokal dan etnisitas di Sumut.
Suwarsono menampung anak-anak muda dari beragam etnis dan agama untuk berlatih di sanggarnya. Dia juga mempersilakan warga sekitar, yang juga multikultur itu, untuk menonton pertunjukan di sana. Sanggar ataupun pertunjukan di sana menjadi perekat warga.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Mateus Suwarsono
Soal ini, ia menjelaskan, ”Melalui kesenian, kami cair tukar-menukar makanan. Di sini mau makan, mau minum, gabung semua. Artinya yang bisa mencairkan disintegrasi itu kesenian.”
”Anak-anak kecil berlatih menari di sana. Di sini kami bikin sebagai satu keluarga, rumah tanpa sekat dinding. Tak ada sekat agama dan suku. Masuk Bale Marojahan, harus saling mencintai,” kata pria yang sejak SD keranjingan nonton wayang dan teater ini. Dia akan terus menari dan berteater hingga tak mampu bergerak lagi.
Mateus Suwarsono
- Lahir: Yogyakarta, 12 September 1965
- Istri: Rosadelima Yuliningsih
Aktivitas:
- Pendiri dan Ketua Sanggar Seni Bale Marojahan
- Pengurus Dewan Kesenian Medan, 2017-2021
Penghargaan (antara lain):
- Penghargaan kebudayaan dalam bentuk Gelar: Ompu Datu Pinasindar Tuan Warso NOB oleh Pusat Latihan Opera Batak, 2012
- Piagam Kehormatan RI: Satyalencana Karya Satya X Tahun 2015, 13 November 2015