Ntis Sutisna dan Makmur, Dua Sahabat Pemelihara Literasi di Kota Kembang
Di usia tidak lagi muda, Ntis Sutisna dan Makmur menjaga senja literasi Bandung. Pernah menjadi andalan para terpelajar Kota Bandung, keduanya saksi turunnya minat berburu dan membaca buku fisik saat ini.
Meski mulai sepi ditinggalkan pelanggan, dua sahabat, Ntis Sutisna (66) dan Makmur (59), tetap bertahan berjualan buku bekas di Kota Bandung, Jawa Barat. Bagi mereka, menyediakan buku tidak hanya untuk para pembaca, tetapi juga menjaga energi melanjutkan napas literasi di Kota Bandung.
Meskipun warna buku-buku sudah semakin menguning, Ntis masih tetap setia membersihkan dan merapikan buku-buku itu di kios mungil miliknya, Selasa (15/6/2021) pagi. Datang sekitar pukul 09.30, dia mulai membuka papan penutup setengah kiosnya yang bernama Kios Buku Persada Indah di Pasar Cihaurgeulis, Kota Bandung.
Sementara itu, kios-kios tetangganya yang ada di lantai dua di Pasar Cihaurgeulis ini masih tertutup rapat. Kios yang kira-kira berukuran 1,5 x 2,5 meter tersebut disesaki tumpukan buku hingga ke langit-langit kios yang berdinding papan dan tripleks. Hanya ada sedikit ruang bagi Ntis untuk bergerak dan memutarbalikkan badan saat membersihkan seluruh penjuru kios.
”Sekarang yang masih bertahan di Pasar Suci cuma saya sama toko sebelah. Dulu yang jualan bisa sampai 60 kios. Sekarang, banyak yang sudah menyewakan kiosnya atau jualan lain karena buku-buku sudah tidak begitu laku,” ujarnya sambil memperbaiki maskernya yang sesekali melorot.
Menurut Ntis, kios ini hanya sementara. Pengelola pasar memugar kembali Pasar Cihaurgeulis, atau yang dikenal dengan Pasar Suci, tetapi tidak mengetahui kapan akan bisa ditempati. Dia juga harus berhadapan dengan uang sewa yang lebih mahal nanti.
Tidak cukup ditinggal penggemar, pandemi pun menghambat para pemburu buku untuk bergerak. Pasar yang ramai interaksi menjadi tempat dengan potensi tinggi dalam persebaran pandemi. Dampaknya, kesepian menyelimuti lorong-lorong pasar.
Selain itu, buku bukan menjadi bahan pokok sehingga tidak begitu dicari. Alhasil, penjualan pun terjun bebas. Ntis berujar, dia bahkan sering menutup kios dengan tangan hampa karena tidak ada yang membeli buku.
Ntis mengaku, bertahan dengan penjualan buku saja tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya saat ini. Dia bisa saja tidak berjualan buku dan lebih fokus ke tugasnya sebagai bendahara di Koperasi Pedagang Pasar Cihaurgeulis. Istrinya juga berprofesi sebagai guru dan dia merasa semua itu sudah cukup menghidupi keluarga.
Kondisi ini tidak lantas membuat Ntis meninggalkan buku seperti penjual lain. Baginya, buku tidak hanya sekadar komoditas dagang yang bisa diganti ketika sudah tidak laku. Dia merasakan jatuh bangun hidup bersama buku yang dikoleksi, disimpan, dan dijual kembali ini.
”Saya hidup dari buku dari dulu, anak-anak juga bisa sekolah karena saya berjualan buku. Sekarang, walaupun tidak menutupi kebutuhan saya sehari-hari, kios ini akan tetap buka menunggu pembeli buku,” ujarnya sambil terkekeh.
Spirit untuk mempertahankan buku juga dimiliki Makmur (59). Lelaki tua berkacamata ini tetap setia menunggu pembeli di salah satu sisi Jalan Cikapundung Barat. Jalanan yang membentang 180 meter ini dikenal sebagai Pasar Buku Bekas Cikapundung.
”Saya sudah tidak memikirkan keuntungan lagi. Anak-anak juga sudah meminta saya untuk berhenti berjualan buku, tapi saya tidak mau. Lebih baik di sini daripada tidak ada kerjaan di rumah,” ujarnya sambil tertawa.
Meski berada di tengah kota dan jaraknya tidak sampai 100 meter dari Alun-alun Kota Bandung, kios buku ini seakan terabaikan. Jajaran buku yang disusun rapi di salah satu sisi gedung di Jalan Cikapundung Barat ini tidak dilirik para pejalan kaki, Rabu (16/6/2021) siang itu.
”Orang-orang sudah tidak begitu suka membaca sekarang. Kalau dulu, pasti ada saja yang berhenti karena tertarik dengan buku-buku bekas yang berjajar. Ada yang membeli setelah melihat-lihat, ada juga yang memang sengaja mencari buku,” ujarnya.
Baca juga : Deni Rachman, Jejak Literasi Bandung
Berburu buku
Makmur bercerita sambil mengenang masa lalunya di jalanan itu. Lebih dari 10 tahun dia menikmati manisnya berjualan buku-buku bekas di Pasar Buku Cikapundung. Jalanan ini menjadi salah satu spot utama buku-buku bekas di era 1970-an hingga akhir 1990-an .
Petualangannya di dunia buku bekas bermula di awal tahun 1980-an. Saat itu, Makmur muda yang hanya lulusan SD diajak salah satu saudaranya merantau ke Bandung dari Cirebon. Saat itu, dia turut membantu berjualan buku dan majalah di sejumlah tempat.
”Kalau tidak salah, umur saya belum nyampe 20 tahun. Setelah beberapa bulan membantu jualan, saya rasa bisnis buku di Kota Bandung cukup bagus. Saya akhirnya memutuskan untuk membuka kios sendiri dan mencari penyuplai sendiri,” ujarnya.
Jalan yang terjal menjadi awal perburuannya. Makmur mencari jejaring buku bekas hingga ke Jakarta. Tidak jarang, dia menginap semalam sampai dua malam di pasar karena saat itu akses Bandung-Jakarta tidak semudah sekarang.
”Pertama-tama, saya dikerjai sama teman. Awalnya, sekitar pertengahan tahun 1980-an, dia mengajak saya ke Jakarta. Saya pikir mau dikenalkan ke penyuplai. Ternyata saya ditinggalkan di Terminal Lapangan Banteng. Akhirnya, saya mencari sendiri,” kenangnya.
Baca juga : Harta Karun di antara Tumpukan Buku Bekas
Makmur memutuskan berkelana mencari penyuplai buku ke Pasar Senen yang berjarak 800 meter dari Lapangan Banteng. ”Di sini, saya juga dikerjai. Jarak sedekat itu saya malah naik bajaj. Kalau tahu jaraknya segitu, saya lebih baik jalan kaki,” katanya sambil tertawa.
Jerih payah Makmur selama di Jakarta membuahkan hasil. Dia mendapatkan beberapa penyuplai berbagai buku, baik dari dalam maupun luar negeri. Tidak jarang, buku yang dia dapatkan merupakan edisi terbatas sehingga memiliki harga yang lebih tinggi.
”Saya minimal ke Jakarta sebulan sekali untuk menambah stok. Tapi, karena tingginya pembeli, kadang buku yang ada lekas habis. Saya bisa menjual puluhan sampai ratusan buku seharim,” ujarnya.
Para pembeli pun tidak hanya berasal dari penikmat buku, tetapi juga pedagang yang mencari buku-buku langka untuk dikumpulkan. Nama Ntis Sutisna pun tidak asing bagi Makmur karena mereka kerap saling mengunjungi kios untuk mencari buku-buku.
”Dulu, kami sering bertemu. Kalau ada buku yang bagus, saya selalu kabari Pak Ntis, begitu juga sebaliknya. Syukurlah, beliau juga seperti saya, masih tetap bertahan bersama buku-buku,” ujarnya.
Ntis pun menuturkan hal senada. Dia berujar, Makmur menjadi salah satu andalannya dalam menyuplai buku-buku bekas berkualitas, terutama untuk perkuliahan. Pasar Cihaurgeulis dikepung sejumlah universitas, mulai dari Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Nasional (Itenas), hingga Universitas Widyatama.
”Kadang, beliau juga beli buku di tempat saya. Jadi, kami saling berbagi saja buku-buku yang dibutuhkan. Biasanya, kalau ada buku tentang perkuliahan, saya langsung ambil ke beliau,” ujarnya.
Seperti halnya Pasar Buku Cikapundung, bisnis buku bekas di Pasar Cihaurgeulis sangat bergairah hingga akhir milenial. Sejak dibuka pada akhir 1987 hingga awal era 2000-an, di pasar ini terdapat lebih kurang 60 kios buku, termasuk milik Ntis.
Sama seperti Makmur, Ntis pun memilih untuk fokus berjualan buku karena memberikan keuntungan yang cukup bagi keluarganya. Sebelum masuk ke Pasar Cihaurgeulis tahun 1987, selama lebih dari lima tahun Ntis berjualan di sejumlah tempat.
”Awalnya, pasar buku di sini untuk menampung pedagang-pedagang buku kaki lima. Melihat lokasinya bagus, saya langsung ikut berjualan di sini sampai sekarang,” ujarnya.
Baca juga : Wawan Setiawan Becermin pada Sastra dan Bahasa Sunda
Balas budi
Penjualan yang bagus saat itu menambah kemakmuran bagi Ntis dan Makmur. Bahkan, mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Bagi kedua pria ini, sekarang saatnya untuk membalas budi kepada buku-buku yang menjadi penopang hidup mereka.
”Bayangkan saja, saya hanya lulusan SD, tetapi mampu menyekolahkan tiga anak saya sampai kuliah. Dengan buku-buku ini, anak-anak saya bisa hidup lebih baik,” ujar Makmur sambil memperlihatkan foto keluarganya dengan bangga.
Dalam foto tersebut, Makmur tampak duduk kaku tanpa senyum. Sementara itu, Ketiga anak laki-lakinya yang ada di foto ini tersenyum lebar, dan salah satu anaknya dengan mengenakan toga sarjana merangkul bahu Makmur tampak bahagia.
”Sekarang malah saya yang diminta berhenti jualan buku karena sudah tidak laku. Anak-anak takut bapaknya sakit, sedangkan saya tidak bisa diam di rumah. Bagi saya, sekarang saatnya membalas budi dengan tetap berjualan buku di sini meski tidak ada keuntungan sama sekali,”ujarnya.
Ntis pun berpikiran hal yang sama. Dia merasa, dengan tetap bertahan, dia bisa menjadi tujuan bagi para penikmat buku-buku bekas.
”Sekarang, saya sudah tidak memikirkan keuntungan. Yang penting, kami tetap ada saat orang-orang kembali ingin membaca buku. Apalagi buku-buku ini bisa meningkatkan budaya literasi di Kota Bandung. Kami akan bertahan,” ujarnya.
Baca juga : Hendrik Nurwanto, Rezeki Mengalir dari Kebun Gedong Gincu
Ntis Sutisna
Lahir: Bandung, 24 April 1955
Pendidikan: SMA Putra Bersubsidi, Bandung (lulus 1976)
Makmur
Lahir: Cirebon, 10 Mei 1962
Pendidikan: SDN Sindanglaut (lulus 1974)