Wawan Setiawan Becermin pada Sastra dan Bahasa Sunda
Lewat medium sastra dan bahasa Sunda, Wawan ”Hawe” Setiawan mengajak kita, khususnya orang Sunda, untuk becermin.
Siapa lagi yang mau mempertahankan budaya Sunda selain orang Sunda itu sendiri? Pertanyaan retoris itu memotivasi Wawan ”Hawe” Setiawan untuk berperan menjaga budaya Sunda agar tetap relevan di tengah perubahan zaman. Ia memilih kesusastraan sebagai pintu masuknya.
Diteundeun di jalan gedé,
Dibuka ku nu ngaliwat,
Anu weruh di semuna,
Anu terang, di jaksana,
Anu rancagé di haté.
Simpanlah sesuatu yang berharga di jalan besar/ supaya bisa dibuka oleh siapa pun yang lewat/ yang bisa mengetahui isyarat/ yang bisa menangkap tanda-tanda/ yang kreatif di dalam hatinya.
Demikian terjemahan harfiah Hawe untuk sepenggal pantun dari Cerita Pantun Sunda. Penggalan pantun itu menjadi jiwa dari Yayasan Kebudayaan Rancagé yang didirikan sastrawan Ajip Rosidi bersama budayawan lainnya pada 1993. Pantun ini juga menjadi salah satu prinsip Hawe, yang bergabung dalam yayasan itu, dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Sunda.
”Secara personal saya mengartikan bahwa budaya setempat mesti dikelola dengan cara menjaga relevansinya dengan kehidupan universal. Hanya dengan cara itu, budaya tidak akan kehilangan potensi sebagai pemberi inspirasi untuk manusia merefleksikan diri supaya lebih kreatif dan tidak punah,” kata Hawe, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (14/6/2021).
Gelar sebagai budayawan Sunda disematkan kepada Hawe sejak 2000-an. Pertanyaan tentang gelar itu membuat Hawe tersipu. Laki-laki yang bersikap rendah hati itu mengatakan, ia hanyalah orang yang rajin menulis.
Jelas sekali tulisan yang dihasilkan Hawe bukan dibuat sambil lalu. Tulisannya berisi akumulasi dari pengetahuan dan pengalamannya yang panjang dalam memahami budaya Sunda yang juga latar belakang identitasnya. Ia merekam banyak jejak perjalanan budaya, sastra, dan bahasa Sunda. Ia juga berusaha meneropong kesundaan secara lebih segar melalui pembacaan atas simbol-simbol yang maknanya samar.
Kecenderungan itu antara lain terlihat dalam karya Hawe berjudul Sunda Abad Ke-19: Tafsir atas Ilustrasi-ilustrasi Junghuhn (2019) yang berusaha menggali representasi visual lanskap alam Sunda abad ke-19 dari gambar Franz Wilhelm Junghuhn. Sementara itu, Bocah Sunda di Mata Belanda (2019) menginterpretasi penggambaran anak Sunda dari ilustrasi Roesdi djeung Misnem.
Setidaknya sudah 20 buku yang ditulis Hawe sendiri atau bersama penulis lain. Yang terbaru, Hawe menerjemahkan Puisi Sunda Zaman Belanda (2021) oleh Tom van den Berge dari Belanda. Di luar itu, ia menulis atau menyunting banyak artikel untuk surat kabar atau jurnal. Ia juga menulis esai dalam bahasa Sunda atau menerjemahkan tulisan ke bahasa Sunda.
Jadi fondasi budaya Sunda adalah bahasa dan karya sastra. Dari bahasa kita bisa mempelajari etos, etika, dan filsafat Sunda yang mulai terkikis
Hawe mengaku lebih sering menggunakan teks sebagai medium. Bagaimanapun, katanya, bahasa adalah kunci dalam melestarikan budaya Sunda. Berbeda dengan budaya Bali yang budayanya identik dengan ritual upacara keagamaan. ”Jadi fondasi budaya Sunda adalah bahasa dan karya sastra. Dari bahasa kita bisa mempelajari etos, etika, dan filsafat Sunda yang mulai terkikis. Apalagi pada masyarakat Sunda saat ini. Nilai kesundaan memudar dan itu terlihat dari polarisasi selama pilpres. Padahal ada ungkapan memelihara kejernihan di antara dua kekeruhan,” ujar Hawe yang terlibat dalam beberapa penelitian.
Ia membantu rekan akademisi dari Universitas Indonesia untuk meneliti daya tahan seniman selama pandemi dan rekan akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah untuk meneliti keberagaman literasi milenial di Jawa Barat. Ia juga terlibat dalam penelitian Julian Millie dari Monash University tentang Haji Hasan Mustapa, sastrawan besar Sunda.
Banyak garis merah yang ia temukan selama meneliti budaya Sunda dari segi gambar, kata, dan lansekap. Salah satunya, kata Hawe, terkait prinsip hidup orang Sunda yang menghargai harmoni dengan alam, yakni hirup cicing, hirup nyaring, hirup eling. Masyarakat adat di Kasepuhan Ciptagelar, contohnya, tidak boleh menjual padi karena menanam padi adalah darma manusia di Bumi.
Bocah Cisalak
Hawe lahir di Desa Cisalak, sekitar 40 kilometer dari Tangkuban Perahu, pada 1968. Di daerah bekas perkebunan teh itu, ia tumbuh bersama ayah yang bekerja di kantor camat, ibu yang mengurus rumah tangga, dan enam saudara kandung. Karena tidak ada teman sebaya, ia menghabiskan waktu membaca buku di taman bacaan ayahnya.
Hobi membaca ini membawa Hawe ke jalan hidup yang jauh dari ekspektasi orangtuanya. Ayahnya semula berharap Hawe menjadi camat atau insinyur pertanian. Nyatanya, gara-gara membaca cerpen kritis karya Mochtar Lubis, Hawe ogah menjadi pegawai pemerintahan.
Ia memilih kuliah di Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1987. Setelah susah payah menyelesaikan studi di Fikom Unpad, ia bekerja sebagai wartawan di Jakarta, yakni di majalah mingguan Tiras (1995-1999) dan tabloid Detak (1999-2000).
Pilihan hidup Hawe membuat hubungan dengan ayah sempat merenggang. Profesi wartawan waktu itu dianggap identik dengan kerjaan ngomongin pejabat. Sungguh miris, lantaran sang ayah adalah camat teladan yang pernah diundang ke Istana. Setelah era Reformasi, anggapan ayah Hawe soal profesi ”kuli tinta” membaik.
Ia mulai aktif dalam pelestarian sastra dan kebudayaan Sunda pada 1999. Ia mendirikan Komunitas Dangiang yang menerbitkan esai mengenai kebudayaan Sunda. Sayang, komunitas ini hanya seumur jagung. Pertemuan dengan Ajip Rosidi menuntunnya pada pekerjaan sebagai editor di Dunia Pustaka Jaya (2000-2002). Dari sini ia menyelami dunia penerbitan, kesusastraan, dan budaya lebih dalam lagi.
Terpengaruh Ajip, dia mulai menulis dalam bahasa Sunda. ”Sebelumnya saya tidak bisa menulis bahasa Sunda meskipun selalu berbicara dengan orangtua dalam bahasa Sunda. Dulu ada kekhawatiran maksud saya tidak bisa tersampaikan seperti saat mengobrol,” ujar Hawe, yang mengoleksi 6.000 judul buku bacaan di rumah ini.
Hawe memilih kembali ke Bandung untuk berkumpul dengan keluarga sembari membantu di Yayasan Kebudayaan Rancagé sampai sekarang. Di Yayasan Rancagé, Hawe menjadi juri untuk Hadiah Sastra Rancagé kategori Sastra Sunda. Laki-laki ini juga pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sunda Cupumanik (2002-2009). Pada 2008, Hawe menjadi dosen di Universitas Pasundan dan sempat membuat kursus bahasa Sunda gratis untuk orang asing pada 2013.
Hawe telah menjalani karier panjang dalam berbagai profesi. Ia adalah budayawan, penulis, kolumnis, dosen, penerjemah, dan peneliti yang berkutat pada budaya Sunda. Sebagai pemerhati budaya, Hawe tetap optimistis dengan perkembangan budaya Sunda di masa mendatang setelah melihat adaptasi bahasa Sunda di masyarakat sekarang ini.
”Saya menemukan banyak ungkapan dalam bahasa Sunda tetap muncul di ruang publik, seperti Wi-Fi ditulis waifai, malahan kata aing atau saya tiba-tiba populer di kota besar,” katanya.
Meskipun diratapi, lanjut Hawe, elemen budaya Sunda ini ternyata menyesuaikan diri dengan cara sendiri.
Wawan Setiawan
Lahir: Subang, 21 November 1968
Istri: Teti Nurherliyati
Anak:
- Lulu Mustikaning Apsari
- Arti Mustikaning Ati
- Gilang Cahyana Muhamad
Pendidikan:
- Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (1987-1994)
- Program Magister Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (2006-2008)
- Program Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (2009-2014)
Pekerjaan:
- Dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra, Universitas Pasundan
- Penulis Lepas
- Redaktur Pelaksana Jurnal Sundalana
Organisasi:
- Ketua Lembaga Budaya Sunda (LBS) Universitas Pasundan
- Anggota Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé
- Sekretaris Pusat Studi Sunda (PSS)