Dari koleksi buku, kita bisa mengetahui luasnya bacaan, pergaulan, pengaruh, dan kadang-kadang problem rumah tangga serta kisah cinta pemiliknya. Bagaimana bisa?
Oleh
Budi Suwarna dan Muhammad Hilmi Faiq
·6 menit baca
Di antara tumpukan buku bekas yang dikumpulkan tukang loak dari rumah tokoh-tokoh terkenal negeri ini, terselip jejak-jejak kehidupan pemiliknya. Dari koleksi buku mereka, kita bisa mengetahui luasnya bacaan, pergaulan, pengaruh, dan kadang-kadang problem rumah tangga serta kisah cinta mereka.
Anda mungkin tidak membayangkan, sejumlah jenderal era Orde Baru yang dulu begitu keras melarang masyarakat membaca buku-buku kiri, ternyata paling banyak mengoleksi buku-buku semacam itu di rumahnya. ”Rakyat dulu dilarang baca buku-buku berbau komunis dan Marxis, tapi mereka membacanya. Mungkin untuk mempelajari isinya supaya bisa bikin propaganda untuk memberangus pemikiran kiri, ha-ha-ha,” ujar Ependi Simanjuntak, Selasa (15/6/2021), di toko buku bekas Guru Bangsa miliknya di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Ependi alias Ucok, yang menjadi pedagang buku bekas sejak 1998, mengaku banyak mendapat buku bekas dari rumah mantan pejabat militer, pejabat sipil, akademisi, dan tokoh penting negeri ini. Sebagian buku itu ia peroleh dari lapak tukang loak, sebagian langsung dari keluarga sang pejabat. Jumlahnya bukan sekardus-dua kardus, tapi bertruk-truk.
Ia pernah mendapatkan empat truk besar buku koleksi Adam Malik, pejabat di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Jika ditotal, berat keseluruhannya sekitar 25 ton. Dari koleksi buku itu, Ucok bisa mengetahui betapa luasnya bacaan Adam Malik yang meliputi bidang politik internasional, filsafat, ekonomi, dan dunia perkerisan. ”Ternyata ia juga ahli keris. Dari surat-surat, penghargaan, slip honor, dan dokumen lainnya ternyata ia sempat mengajar tentang keris di perguruan tinggi.”
Bacaan tokoh proklamator Indonesia, Mohammad Hatta, juga luar biasa hebatnya. Koleksi buku bekasnya yang beredar di pedagang buku bekas mencakup filsafat, politik, ekonomi, sastra, dan kajian agama. Dari beberapa surat pribadi yang Ucok temukan, Hatta sering mengirim buku terkait agama terbitan luar negeri miliknya kepada seorang ulama di Aceh sekaligus sahabatnya untuk diberi komentar. Setelah itu, buku dikembalikan kepada Hatta. ”Saya tahu dari surat-surat pribadi Hatta yang berisi ucapan terima kasih atas review kawannya itu,” tambahnya.
Ucok juga mendapatkan buku-buku bekas koleksi elite politik seperti Ali Sadikin, Ali Said, R Soebiakto, Frans Seda, Buya Hamka, Soedarmono, Soesilo Soedarman, DN Aidit, dan sejumlah akademisi berpengaruh negeri ini. Tokoh seperti mereka, kata Ucok, paling sedikit memiliki koleksi 5.000 buku. Biasanya 50 persen buku terkait profesi mereka, sisanya terkait hobi. ”Pantas mereka pintar, bacaannya banyak sekali. Saya tidak tahu apakah pejabat sekarang membaca buku sebanyak itu,” tambahnya.
Surat cinta
Selain buku bekas, para pemburu mengincar ”harta karun” lainnya yang sering kali terselip di antara tumpukan buku bekas, mulai dokumen, arsip, foto, piagam penghargaan, lembaran dollar, hingga surat pribadi. Salah satu harta karun yang pernah diperoleh Ucok berupa dokumen vonis pengadilan militer atas tokoh politik penting negeri ini.
Ternyata tokoh-tokoh politik masa lalu kalau jatuh cinta bokis juga. Di dalam suratnya, pakai kata sembah sujud segala, ha-ha-ha.
Ia juga menemukan surat pribadi milik seorang tokoh bangsa yang memohon pinjaman uang kepada seorang menteri di era Orde Lama untuk menutupi biaya hidup keluarga. Di luar itu, ia menyimpan setumpuk kartu pos, beberapa helai surat cerai, surat wasiat, hingga surat cinta milik beberapa tokoh. ”Ternyata tokoh-tokoh politik masa lalu kalau jatuh cinta bokis juga. Di dalam suratnya, pakai kata sembah sujud segala, ha-ha-ha,” tuturnya.
Seperti Ucok, Ichwan Azhari, sejarahwan dan filolog, juga pernah mendapatkan harta karun di antara tumpukan buku bekas. Saat ia kuliah di Jerman, ia menemukan surat pribadi milik BJ Habibie di sebuah lapak di Stuttgart. Saat itu, ada satu kardus berisi puluhan surat milik Habibie. Ichwan hanya sanggup membeli 10 lembar.
Surat itu dikirim ibunda BJ Habibie dari Bandung ke Rudy (nama kecil Habibie) yang tinggal di Hamburg pada periode 1968-1969. ”Isinya tentang kerinduan (ibunda Habibie), termasuk kemarahannya pada Rudy karena Thareq (putra kedua Habibie) sakit, sementara Rudy gila kerja,” cerita Ichwan.
Ichwan berencana menyerahkan surat-surat pribadi yang berharga itu kepada keluarga Habibie. ”Kabarnya keluarga Habibie mau membuat museum, saya mau menyerahkannya kepada mereka tanpa perantara,” tambahnya.
Di Bandung, Edie Kusnadi, pedagang di Pasar Buku Palasari pernah mendapatkan surat-surat berharga seperti BPKB motor tua, sertifikat tanah, dan akta jual beli tanah yang terselip di antara tumpukan buku bekas yang ia beli. Ia juga pernah mendapatkan barang-barang bekas berharga milik grup Bimbo dan penyanyi Tetty Kadi. Surat-surat berharga itu ia kembalikan ke pemiliknya. ”Saya fokus ke buku saja,” ujar Edie.
Wawan ”Hawe” Setiawan, budayawan Sunda, beberapa kali mendapati surat cinta atau hadiah ulang tahun di antara buku bekas yang ia beli. Selain itu, ia pernah menemukan keris dalam kotak buku The Holy Qur’an karya Yusuf Ali. ”Berarti pemilik sebelumnya memperlakukan buku itu seperti jimat,” tutur Hawe.
Tidak jarang, para pemburu buku menemukan uang di antara halaman buku. Dindin Sadeli (33), pedagang di Palasari, pernah menemukan uang lembaran Rp 100.000 terselip di buku bekas. ”Mungkin orang enggak sadar nyelipin uang buat jadi pembatas buku atau dipakai buat menabung. Jadi kalau ambil buku bekas, harus dibuka-buka dulu,” ujar Dindin.
Ucok bahkan pernah mendapatkan lembaran-lembaran dollar di sela-sela buku bekas yang ia borong dari beberapa tempat. Kalau dikumpulkan selama beberapa tahun, uang yang ia peroleh sudah ribuan dollar. Sebagian besar masih bisa dijual atau ditukar ke dalam rupiah.
Karena banyak barang berharga di sela-sela buku bekas, Ucok membuat semacam prosedur tetap setiap kali mendapat borongan buku berapa pun jumlahnya. ”Saya bilang ke orang-orang saya di lapangan, amankan semua buku dan kertas apa pun yang ada sebelum saya datang. Jangan sampai satu lembar pun lolos! Jangan-jangan satu lembar itu yang paling penting,” katanya.
Meski begitu, kata Ucok, target utama dia tetaplah buku dan dokumen. ”Kalau uang yang saya temukan di antara tumpukan buku, anggap saja jackpot alias hadiah dadakan. Bagaimanapun buku dan dokumen nilainya bisa melebihi uang karena di dalamnya ada ilmu,” ujar Ucok.
Sebagian buku bekas dan dokumen yang ditemukan di toko buku bekas, tukang loak, dan pedagang barang antik memang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan. Ichwan, yang berusaha menyelamatkan arsip lama, mengaku berhasil menemukan 50 mushaf Al Quran, termasuk satu mushaf dari Barus, Sumatera Utara, yang amat berharga.
”Berdasarkan kolofon (tulisan atau tahun yang disebut penyalin di bagian belakang Al Quran), saya klaim Sumut memiliki manuskrip tertua di Indonesia mengalahkan yang ada di Ternate,” kata doktor sejarah dan filolog itu.
Dikatakan, penulisan mushaf Al Quran diselesaikan pada 20 Dzulqaidah tahun 1070 H atau 1659 M. Tapi terdapat pula tulisan dalam bentuk angka menujukkan tahun 1074 H atau 1663 M. Dari semua mushaf Al Quran kuno di Museum Sejarah Al-Quran Sumut, kata Ichwan, inilah satu-satunya mushaf yang memiliki kolofon berisi catatan penulis. Catatan itu menjelaskan waktu dan kisah penulis yang mengharukan ketika dia menyelesaikan mushaf siang dan malam tanpa istirahat. Kemudian dia berdoa memohon ampun dan rahmat dari Allah SWT.
Deni Rachman, pendiri Lawang Buku di Bandung, juga mendapatkan buku zaman kolonial, Koopmanschap en Journalistiek, yang amat berharga. Buku ini berisi peringatan ulang tahun toko buku N. V. Mij. Vorkink beserta foto asli. Koleksi ini tidak pernah ia tunjukkan kepada orang lain.
Pengalaman mendapat buku berharga seperti itu membuat Deni makin yakin dengan jalan hidup yang ia pilih di bidang perbukuan. ”Ketika menemukan sejarah perbukuan, saya semakin yakin pegiat buku itu dari zaman dulu enggak sendirian.”
Buku-buku lawas yang amat berharga itu, mustahil kita temukan di jejeran toko buku baru. Bahkan, sulit ditemukan di perpustakaan. Sudah jadi rahasia umum, banyak buku dan manuskrip berharga di negeri ini, justru dikoleksi perpustakaan atau kolektor di luar negeri.
Sebagian yang masih tersisa, bisa jadi tersembunyi di tumpukan barang bekas di tukang loak. (LSA/RTG)