Hendrik Nurwanto, Rezeki Mengalir dari Kebun Gedong Gincu
Mangga gedong gincu dari Cirebon, Jawa Barat, naik kelas lewat kreasi dan kengototan orang yang setia kepadanya. Hendrik Nurwanto adalah salah satu yang percaya keunggulan buah ini.
Hendrik Nurwanto (36) mengubah kebun mangga gedong di Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menjadi kedai serbaguna. Kebun yang tadinya sunyi itu kini ramai oleh anak muda, pengusaha, hingga pejabat. Buah mangga pun naik kelas.
Pagi itu, Rabu (16/6/2021), Hendrik baru kedatangan tamu dari Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian di kebunnya di Desa Sedong Lor, Kecamatan Sedong. ”Tadi orang kementerian wawancara untuk penelitian lalat buah. Mereka memang sering ke sini,” katanya.
Sebagai Ketua Kelompok Tani Sukamulya, Hendrik kerap dimintai pendapat tentang budidaya mangga gedong. Buah bulat khas Cirebon, Indramayu, dan Majalengka ini juga dikenal sebagai gedong gincu pada tingkat kematangan 80 persen ke atas. Disebut demikian karena warnanya kemerahan seperti gincu.
Selain mengobrol soal hama, tamunya juga menikmati kopi gincu, yakni kopi robusta dicampur sari mangga gedong gincu. Minuman itu salah satu menu berbahan mangga di kedai Kopi Gincu miliknya. Kedai itu berdiri di lahan mangga keluarganya seluas 3.000 meter persegi.
Ketika akhir pekan, warga desa lain hingga Ibu Kota berkunjung ke sana. Mereka menyantap aneka produk olahan mangga gedong langsung di bawah pohon sambil bersantai di tenda atau berbaring di tempat tidur gantung (hammock) yang terikat di antara dua pohon mangga.
Di rooftop (atap) kedai, pengunjung ramai berswafoto hingga siaran langsung di media sosial. Dari sana tampak rimbun pohon mangga dan hijau rerumputan. Bagi anak-anak, ada arena bermain yang dilengkapi ayunan, perosotan, juga tumpukan balok untuk memanjat.
Baca juga : Rindu Nikmat Seduh Kopi di Kota Wali
Dulu, area itu tidak semenarik sekarang. Hanya kebun sunyi ditumbuhi pohon mangga. Mungkin hanya kutu putih dan lalat buah yang sering berkunjung, selain petani. Petugas dinas pertanian juga datang jika hanya ada program pelatihan. Pengendara yang melintas pun boleh jadi tidak tahu ada pohon mangga di kanan-kiri.
Tidak hanya kebun, nasib petani mangga juga sepi dari kesejahteraan. Hasil panen mereka kerap ditawar rendah karena alasan pasokan berlimpah. Sistem penjualannya masih ijon. Tengkulak menaksir harga pohon sebelum panen. Padahal, tidak jarang uang yang petani terima tidak sebanding dengan produksinya.
Hingga pada 2019, Hendrik mulai menyulap kebun keluarganya menjadi kedai berkonsep agrowisata. Sederhananya, orang berwisata sekaligus mencicipi hasil panen petani. Selain mengenalkan mangga gedong, kedai itu juga diharapkan mengangkat harga jual mangga petani.
Hendrik mulai menggalang dukungan. ”Namun, dari 10 orang yang saya mintai pendapat, termasuk keluarga, 7 di antaranya negatif (menolak),” kenangnya.
Lulusan Jurusan Bahasa Inggris IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini dianggap ngawur. ”Katanya, mau jual apa di kebun mangga? Siapa yang beli? Siapa yang mau datang? Kan, tempatnya jauh dari kota,” katanya menirukan ungkapan pesimistis dari orang dekatnya soal rencananya.
Berjarak sekitar 24 kilometer sebelah timur pusat Kota Cirebon, Sedong memang tidak seramai kecamatan lainnya. Setu Sedong yang menjadi sumber air petani juga kerap kering saat kemarau. Tidak heran jika banyak warga Sedong ke luar Cirebon, bahkan negeri orang demi mengadu nasib.
Meski idenya direndahkan, Hendrik tidak gentar. Beruntung, teman-temannya di komunitas band, penyelenggara acara (event organizer), kreator konten, serta komunitas kopi di Kabupaten Kuningan mendukungnya. Dibuatlah Kopi Gincu.
Kopi dianggap dekat dengan anak muda dan komunitas, sedangkan gincu merupakan identitas Sedong. Sekitar 40 pohon mangga gedong berusia sekitar 20 tahun di area itu pun pantang ditebang. Bahkan, di dapur ada pohon mangga terselip di antara kompor dan alat masak.
”Tadinya mau tanam pohon kelapa. Tapi, kalau buahnya jatuh kena pengunjung, bisa puyeng juga. Kalau buah mangga yang jatuh, kan, sakitnya enggak seberapa,” candanya.
Sebagian biaya pembangunan yang lebih dari Rp 500 juta berasal dari temannya, pengusaha material. Beberapa kali ia mengajak kerabatnya ikut menanam modal, tetapi mental. ”Ada juga teman ikut nguli. Padahal, saya bayarnya per dua pekan atau utang dulu,” ucap bapak tiga anak ini.
Modal mendirikan kedai juga berasal dari tabungannya selama memasok mangga ke perusahaan eksportir di Kedawung, Cirebon. Kapasitasnya bisa 20 sampai 40 ton per tahun. ”Selama 2010-2019, kami mengekspor mangga ke Timur Tengah, paling banyak Abu Dhabi. 20 sampai 40 ton per tahun,” ujar Hendrik yang mengelola lahan 12 hektar bersama 10 petani lainnya.
Meski harus meminjam uang, mantan Sekretaris Desa Sedong Lor ini yakin jalan hidupnya ada di mangga. Lahir di daerah sentra mangga gedong, Hendrik kecil kerap diajak ayahnya, Haerudin, ke kebun.
Haerudin merupakan tokoh petani mangga Cirebon yang mengembangkan off season, pembuahan mangga di luar musim. Jika sebelumnya petani hanya panen pada Oktober-Desember, dengan off season masa panennya bisa dimulai sejak April. Ia pun mampu memasok untuk eksportir.
Anak tunggal ini awalnya tidak tertarik mengikuti jejak sang ayah sebagai petani mangga. Selepas menempuh madrasah aliyah, ia mengadu nasib ke Bantar Gebang, Bekasi, pada 2003. Di sana ia memasok baut ke sejumlah industri.
Ketika melanjutkan kuliah, ia merambah industri musik dengan bandnya, T-Hijau. Sempat tampil di sejumlah kota, band ini tidak bertahan lama. Hendrik juga kembali mengurus mangga pada 2013 saat ayahnya sakit. Sejak itu, ia membayangkan kebun mangga yang tidak hanya jadi hulu, tetapi juga hilir.
Impiannya terwujud ketika Kopi Gincu diluncurkan 26 Agustus 2020. Meskipun pandemi Covid-19 melanda, kedainya dikunjungi banyak orang dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Mulai dari remaja, jurnalis, mahasiswa, aparat Pemkab Cirebon, Pemprov Jabar, hingga anggota DPR.
Karyawan kedai yang tadinya hanya enam orang kini melonjak hingga 35 orang dengan pembagian dua sif kerja. Sebagian besar merupakan anak muda yang tinggal di Sedong. Bahkan, ada juga yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja di Jakarta saat pandemi.
Perlahan, kedainya menjelma solusi atas anjloknya harga mangga. ”Kami beli mangga petani di atas harga pasar. Misalnya, di tengkulak Rp 12.500 per kilogram, kami beli Rp 15.000-Rp 20.000 tergantung dari kualitasnya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, kedainya juga menjadi wadah bagi band-band lokal dan sineas setempat berekspresi. Tidak jarang mereka menampilkan karyanya. ”Kami masih merancang wisata edukatif tentang mangga,” ucapnya.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Kabupaten Cirebon Abdul Hadi mengatakan, Hendrik merupakan pemuda kreatif yang kali pertama menggabungkan konsep kebun mangga dengan kedai di Cirebon. ”Orang ke kebun mangga, tetapi rasanya bukan seperti kebun. Ini bagus sekali,” ucap pengusaha mangga ini.
Baca juga : Ekspor Mangga Gedong Gincu Masih Terkendala
Hendrik Nurwanto
Lahir: 16 September 1984
Istri: Iin Nurul Inayah
Anak:
- Zheeva Nisrina Haziah
- Zlatan Fathir Mikail
- Ziskind Fairuz Hamizan
Pendidikan:
- SD Negeri 2 Sedong Lor (Lulus 1996)
- MTs Negeri 01 Wonogiri (1999)
- MA Negeri Babakan Ciwaringin (2002)
- IAIN Syekh Nurjati Cirebon (2011)
Profesi: Pendiri Kopi Gincu