Yanuri (57) kini menjadi benteng terakhir yang menjaga eksistensi kentrung blora. Selain dia, tidak ada lagi seniman kentrung yang masih aktif di Blora.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Kesenian kentrung di Jawa Tengah terancam punah lantaran tinggal segelintir orang yang masih memainkannya. Di Blora, Yanuri (57) menjadi salah satu benteng terakhir yang menjaga kentrung dengan sekuat tenaga.
Kentrung adalah seni tutur yang dinyanyikan dengan iringan rebana. Kesenian ini menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai kehidupan, keagamaan, sampai program pembangunan pemerintah. Salah satu ciri khas kentrung di Blora dan sejumlah daerah lain di Jateng adalah satu orang memainkan sendiri tiga rebana, seperti yang dilakoni Yanuri.
Mengenakan atasan batik dan celana pendek di rumah salah satu keponakannya di Desa Sendanggayam, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah, Rabu (26/5/2021), Yanuri menunjukkan permainan kentrung dengan tiga rebana yang biasa ia mainkan saat tampil di pentas. Satu rebana digeletakkan di kursi, satu ditidurkan di dekat paha, dan satu lagi, yang terbesar dengan diameter 40 cm, didirikan di atas pahanya.
Dengan luwes, jemari tangan kiri Yanuri menabuh ketiga rebana secara bergantian hingga membentuk irama. Selepas intro, matanya terpejam. Sejurus kemudian, lantang terdengar tuturan syair yang mulai terlontar dari mulutnya.
”Uluk salam miwah, ya mas. Bethari iman pelaku. Khalifah Allah sangate. Ya rahimin bumine Allah. Ya rahimin bumi kawulo. Nek kawulo, kawulo Allah. Kawulo sakdermo kondho. Kawulo sakdermo cinarito,” tutur Yanuri memulai.
Syair itu merupakan salam pembuka dari lakon Babad Tanah Jawa yang berkisah tentang Kerajaan Tuban, tempat Adipati Wilwatikta. Lakon ini sering dibawakan Yanuri setiap tampil. Di luar itu, ia membawakan kisah-kisah nabi, para wali, dan lainnya yang ia hafal di luar kepala.
"(Lakon) bergantung permintaan yang nanggap dan menyesuaikan di mana pentasnya. Saat pentas, juga bisa diselipkan apa yang ingin disampaikan dalangnya. Dalangnya ,ya, saya," kata Yanuri yang meneruskan kentrung dari ayahnya, Sutrisno.
Yanuri menuturkan, dulu ayahnya memainkan lima rebana, sebelum kemudian menjadi tiga saja. Menurutnya, secara fisolofis, lima rebana yang digunakan sebagai simbol untuk mengingatkan orang agar jangan sampai menghilangkan dasar lima perkara (lima sila) Pancasila. Bagi umat Islam, hal itu sebagai pengingat agar jangan sampai melupakan kewajiban salat lima waktu.
Jejak ayah
Yanuri menuturkan, ayahnya yang berasal dari Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mulai mengentrung pada 1950-an, selepas mondok di Kabupaten Demak. Adapun Yanuri mulai ikut menemani ayahnya pada 1980-an. Sang ayah tidak pernah mengajarkan kentrung secara khusus kepada Yanuri. Ia belajar hanya dari melihat dan mendengar lakon yang dibawakan ayahnya saat pentas.
Tahun 1980-an, lanjut Yanuri, banyak permintaan tampil dari luar kota seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, hingga Jakarta. "Dulu ke mana-mana kami berdua pakai bus. Kalau ada yang manggil di Semarang, jam sembilan pagi kami sudah berangkat, untuk jaga-jaga. Kalau tampil atau mentas, kan, biasanya malam sampai dini hari," kenang Yanuri.
Ia ingat betul ketika diundang oleh instansi pemerintahan, ayahnya kerap menyelipkan pesan-pesan "sponsor" terkait program pembangunan. Para pengundang senang kalau program-program itu disampaikan di atas pentas.
Setelah Sutrisno meninggal pada 2003, Yanuri meneruskan jejak ayahnya sebagai dalang kentrung. Ia mengaku sering teringat ayahnya dan meneteskan air mata di atas pentas. "Saya ingat bapak bilang, kalau ada yang manggil, saya pasti bisa," ucap Yanuri yang merasa mendapat kekuatan khusus dari ayahnya sehingga terampil mengentrung.
Yanuri biasa tampil di acara hajatan, acara instansi pemerintah, atau di rumah tetangga yang ingin mendengarkan kesenian itu. Di Blora, kentrung juga berkaitan dengan nazar dan ungkapan harapan. Misalnya, ada orang ingin segera memiliki momongan, dia akan panggil kentrung.
Sekitar sepuluh tahun terakhir, lanjut Yanuri, peminat kentrung semakin berkurang seiring kian banyaknya alternatif kesenian lain. Dalam sebulan kadang ada panggilan lebih dari sekali, kadang tidak ada sama sekali. Peminat yang tersisa kebanyakan kalangan tua.
Yanuri menerima bayaran sekitar Rp 1 juta untuk tampil di wilayah Blora. Ia biasanya bermain semalam suntuk dari sekitar pukul 20.00 hingga 03.00. Khusus bagi yang memiliki nazar, ada tradisi khusus, yakni bedah kupat luar. Ada tambahan uang dalam ketupat. Jumlahnya tergantung si pengundang. Kini Yanuri bergantung pada orang-orang yang mengundangnya karena memiliki nazar.
” Kalau dulu, banyak yang mengundang, ya, karena mengundang saja, ingin lihat kentrung. Namun, sekarang kebanyakan, ya, karena ada keinginan tertentu, termasuk tetangga-tetangga sekitar,” ujarnya.
Kalau dulu, banyak yang mengundang, ya, karena mengundang saja, ingin lihat kentrung. Namun, sekarang kebanyakan, ya, karena ada keinginan tertentu, termasuk tetangga-tetangga sekitar.
Pendapatan yang hanya sedikit dari pentas kentrung membuat Yanuri mesti mencari uang tambahan sebagai buruh tani dan pekerja serabutan. Itu pun hanya cukup untuk bertahan hidup. Untuk menebus satu set rebana warisan ayahnya yang ada di tukang reparasi rebana sejak tiga tahun lalu, ia belum sanggup. Padahal jumlahnya ” hanya” Rp 700.000.
” Saya sudah berpesan ke yang membetulkan agar jangan dikemana-manakan dulu sebelum saya ambil,” kata Yanuri. Untuk sementara ia menggunakan rebana yang ada meski kondisinya pun sudah agak rusak. Ada bagian yang pecah pada kayu rebana yang besar sehingga suara yang dihasilkan tidak optimal.
Pandemi Covid-19 membuat Yanuri makin terjepit lantaran pentas kesenian dibatasi untuk mencegah kerumunan dan penyebaran Covid-19. Namun, hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk mempertahankan dengan sekuat tenaga kesenian kentrung.
Ia mengaku telah menyiapkan seorang keponakannya untuk menjadi penerus kentrung. Namun, untuk saat ini, si keponakan itu belum bisa mentas atau melakukan apa yang dilakukan Yanuri. "Nanti kalau sudah saya wariskan, bisa," tegas Yanuri penuh keyakinan.
Yanuri berharap pemerintah bisa memberikan dukungan agar kesenian langka ini bisa bertahan dan tidak punah. Yanuri sendiri berkeyakinan, meski kini banyak pilihan kesenian tradisi lain yang mungkin lebih populer, kentrung dengan segala kekhasannya tidak akan lenyap ditelan zaman.
Yanuri
Lahir: Blora, 17 Agustus 1963
Anak: 1
Pendidikan: SD Negeri Sendaggayam, Banjarejo, Blora