Yahya Andi Saputra Sahibul Hikayat Betawi Ulung yang "Palu Gada"
Sebagai juru hikayat, Yahya Andi Saputra selalu datang bagai kawan lama berbagi cerita. Lelaki 59 tahun itu juga menulis puisi, sejarah, kuliner, hingga kesenian Betawi.

Sohibul hikayat Betawi, Yahya Andi Saputra (59), berpose di kediamannya di Kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (15/2/2021).
Sebagai juru hikayat, Yahya Andi Saputra selalu datang bagai kawan lama berbagi cerita. Lelaki 59 tahun itu menuturkan ironi, lelucon, tragedi, dan kegembiraan yang memikat. Tak hanya itu, ia juga menulis puisi, sejarah, kuliner, hingga kesenian betawi.
Pada suatu malam Ramadhan di tahun 1980-an, suara bariton Ahmad Sofyan Zahid jelas terdengar oleh Yahya Andi Saputra. Hikayat yang dituturkan Sofyan melalui siaran radio swasta itu menemani malam Yahya hingga terlelap.
“Dengan suara beratnya, peribahasa Arab, dan hadits-hadits yang fasih itu, saya kagum sama dia. Setiap ada kegiatan, saya selalu datang untuk menonton dia,” kata Yahya sambil menikmati semangkuk bubur kacang hijau, Senin (15/2/2021) siang.
Di ruang tamu kediamannya, Yahya mengenang maestro sahibul hikayat Betawi yang sudah berpulang itu. Sejak kuliah di Universitas Indonesia, Yahya aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa Betawi dan tak pernah ketinggalan menyaksikan dan mendengar tuturan sahibul hikayat pujaannya tersebut.
Setelah kepergian Sofyan Zahid pada 2007 di usia 65 tahun, Yahya kini menjadi salah satu dari sedikit penerus sahibul hikayat Betawi. Di tengah rutinitas metropolitan, Yahya menuturkan kisah-kisah agar dirinya tetap waras dan menyentuh hati para pendengarnya. Di antara raungan knalpot dan kesibukan Jakarta, kisah-kisah yang disampaikan Yahya sayup-sayup terdengar dan bergetar.
Sahibul hikayat adalah bahasa Arab yang bermakna tukang cerita. Pada perjalananya, sahibul hikayat menjadi semacam sastra lisan Betawi yang dibawakan oleh seseorang dalam berbagai kesempatan. Ia bisa berupa fiksi, dongeng, pengalaman pencerita, ataupun kisah-kisah keseharian. Sahibul hikayat adalah perpaduan tradisi lisan betawi dan dakwah Islam.
Perjumpaan Yahya dengan sastra lisan dan seni pertunjukan Betawi itu sangat natural. Ia ingat betul, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Yahya kerap pulang pagi demi menonton lenong atau wayang betawi. Dari sana, Yahya menyadari bahwa segala tuturan aktor di panggung mengandung nilai-nilai kehidupan yang melekat di kepalanya.
“Waktu saya menonton pertunjukan si Pitung, nilai keberanian yang melekat. Ternyata banyak nasihat orang tua disampaikan melalui seni pertunjukan,” kata Yahya, di rumahnya di Kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan.

Sahibul hikayat Betawi, Yahya Andi Saputra (59), berpose di kediamannya di Kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (15/2/2021).
Dari pengalaman masa kecil itu, Yahya menyimpulkan bahwa seni pertunjukan betawi berangkat dari niat baik untuk berbagi dan mendidik penonton. Semangat itu yang ia resapi dan jadikan laku selama menggeluti sahibul hikayat. Kisah-kisah yang ia tuturkan itu memang tak tampak, terkadang tak logis. Namun, dengan cara itu, ia menyentuh hati dan mengganggu pikiran pendengarnya.
Simak saja salah satu hikayat singkat yang ia tuturkan berikut:
Manusia Sengsara
Tersebutlah, ada seorang pemuda kaya raya. Sekali waktu, dia pergi menunaikan ibadah haji. Sebagai orang kaya, dia membawa banyak body guard untuk melindunginya sekaligus memudahkannya mencium hajar aswad.
Suatu ketika, para tetangga mendapatinya sebagai seorang minta-minta. Sang tetangga heran dan bertanya, “Hai pemuda, kenapa engkau menjadi begini?”
“Itulah sebabnya, wahai Tuan. Dulu, aku begitu sombongnya di tempat yang seharusnya aku merendahkan diri. Dan sekarang, aku direndahkan banyak orang di tempat yang seharusnya aku mampu membanggakan diriku sendiri,” jawab si pemuda kaya.
Kisah-kisah yang Yahya tuturkan, banyak terinspirasi dari pujaannya, maestro sahibul hikayat, Ahmad Sofyan Zahid. Selebihnya, ia mengamati fenomena di masyarakat. Fenomena-fenomena itu berlarian di kepalanya dan berkelindan dengan imajinasi. Ia catat hal itu untuk kemudian dituturkan menjadi hikayat.
Tema yang kerap ia tuturkan, antara lain mengenai religiositas, kerendahan hati, hubungan manusia dengan alam, relasi antarmanusia, dan relasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Yahya tak hanya bercerita di festival kesenian. Ia kerap diundang sebagai sahibul hikayat dalam kenduri sunatan, pernikahan, kenduri naik haji, pesta ulang tahun, arisan, hingga kegiatan sosial.
Oleh karena kegigihan dan konsistensi itu, Yahya mendapat penghargaan pelestari budaya betawi dan seniman tradisi lisan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015. Kini, Yahya tak hanya menjadi sang pencerita khas Betawi. Lelaki berjenggot putih itu juga telah banyak menulis puisi, sejarah, kuliner, hingga kesenian betawi. Ia adalah penutur ulung yang “palu gada”: apa elu mau, gua ada!
Baca juga : Seniman Betawi Menolak Kalah
Yahya memang tak mau mengungkung diri di satu bidang. Ia ingin mengeksplorasi diri dan menghayati kebudayaan yang hidup di tempatnya bertumbuh: Betawi. “Saya tidak meminatkan kepada satu lokus kesenian. Saya semuanya. Bahkan, kehidupan perdukunan pun, saya sedang nutur (kumpulkan),” ujar Yahya.
Mendalami kehidupan Betawi, bagi Yahya, laiknya bermain-main di kampung halaman yang tak pernah usai. Jika pergi ke suatu tempat, ia bisa tiba-tiba mencari orang yang dikenal sebagai tukang masak andal di wilayah tersebut. Dari tokoh-tokoh itu, ia cari tahu apa saja bumbu-bumbu khas yang digunakan, bagaimana proses persilangan budaya di meja makan orang Betawi, dan mempelajari fungsi dapur dalam keluarga Betawi.

Sahibul hikayat Betawi, Yahya Andi Saputra (59), berpose di kediamannya di Kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (15/2/2021).
Ia catat semua hal yang ia temui dan observasi. Beberapa dikumpulkan menjadi buku, beberapa yang lain masih menjadi manuskrip pribadi. Hingga 2020, setidaknya Yahya sudah menulis delapan buku yang semuanya berkaitan dengan Betawi: sejarah, kuliner, puisi, dan penelitian.
Sebagai anak Betawi yang “palu gada”, Yahya juga resah dengan tempat tinggalnya yang begitu cepat berubah dan tidak memperlakukan sejarah sebagai sesuatu yang aktual. Salah satunya, ia tuangkan keresehan itu dalam puisi berjudul “Rawa Bangke” di buku kumpulan puisi Jampe Sayur Asem.
Ribuan perhentian yang kau singgahi//Justru menyingkirkanmu ke tepi//Berserakan tajam kerikil dan ujung duri.
Rawa Bangke kini berganti nama. Daerah di Jatinegara, Jakarta Timur, itu saat ini disebut dengan Rawa Bunga. Berdasarkan data yang Yahya kumpulkan, tempat itu disebut Rawa Bangke karena pernah terjadi pertempuran Inggris dan Belanda yang menewaskan banyak prajurit di rawa-rawa. Dari bait puisi itu, bicara betapa nama tempat adalah asal usul dan sejarah yang perlu dijadikan pelajarana untuk kehidupan masa kini.
Saat penghuni Jakarta dan sekitarnya kebingungan mencari pengetahuan dari tempat tinggalnya, Yahya bisa datang bercerita. Ia seolah berkata, "apa elu mau, gua ada!" Kemudian ia akan bercerita apa saja yang belum banyak dicatat.
Yahya Andi Saputra
Lahir : Jakarta, 5 Desember 1961
Pendidikan :
- Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1979 – 1988)
- Program Magister Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2012 - 2014)
Istri : Suli Setiawati
Anak : 1
Oganisasi :
- Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (2009 – sekarang)
- Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) DKI Jakarta (2013 – sekarang)
- Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2016-2018)
Penghargaan :
- Betawi Award 2007 (D’Jakarta Center 2007)
- Penghargaan Penulis Sejarah Bertawi dan Jakarta (Walikota Jakarta Selatan, 2009)
- Penghargaan Kebudayaan Peneliti Kebudayaan Betawi (HUT Kota Jakarta 485, 2012)
- Anugerah Kebudayaan Bidang Pelestari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2015)
Karya buku :
- Upacara Daur Hidup Adat Betawi (2008)
- Profil Seni Budaya Betawi (2009)
- Permainan Tradisional Anak Betawi (2011)
- Sejarah Perkampungan Budaya Betawi : Demi Anak Cucu (2014)
- Sihir Sindir (kumpuan puisi, 2016)
- Jantuk Pertumbuhan dan Perkembangan (2017)
- Jampe Sayur Asem (kumpulan puisi, 2017)
- Cerita Dari Dapur (kumpulan puisi, 2020)