Turut terpuruk akibat wabah global ini, seniman Betawi memilih membantu warga terdampak lainnya. Sebagian seniman aktif berkarya dan dipersembahkan pada khalayak saat pandemi usai kelak.
Oleh
Aguido Adri dan Stefanus Ato
·4 menit baca
Sanggar Seni Betawi Mamit Cs yang dikelola salah satu seniman muda Betawi, Taufik Hidayat (25), kini mati suri. ”Selama pandemi, kami baru satu kali mengisi acara, itu undangan dari salah satu stasiun televisi nasional,” kata Taufik, Rabu (17/2/2021) di Jakarta.
Mengelola sanggar seni tradisional untuk menjaga nilai Betawi merupakan amanah dari ayah Taufik yang sudah berpulang. Setelah tamat sekolah menengah kejuruan, lelaki yang berdomisili di bilangan Senen, Jakarta Pusat, pada 2017 pun fokus melanjutkan usaha orangtua, mengelola sanggar. Silat betawi, palang pintu, lenong, sampai ondel-ondel dikuasainya bersama sekitar 30 teman di sanggarnya.
Imbalan yang dulu didapatkan saat pementasan merupakan bekal untuk memastikan aktivitas sanggar tetap eksis, melestarikan budaya betawi sembari menjadi mata pencarian. Kini, Taufik terpaksa bekerja sambilan sebagai pengojek daring. Anggota sanggarnya diperbolehkan memanfaatkan ondel-ondel untuk mengamen dari kampung ke kampung. Uang yang didapat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sekaligus merawat properti sanggar dengan harapan kelak kondisi menjadi lebih baik.
Beksi artinya pertahanan empat penjuru. Namun, ada banyak pemaknaan dari beksi seperti nilai akulturasi dan kemanusian.
Perjuangan berbeda ditempuh Abdul Aziz (40), pendiri Sanggar Bintang Timur, di Kampung Silat Beksi Petukangan, Ciledug, Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Aziz dan anggota sanggar memilih bergerak membantu warga yang terdampak pandemi meski mereka sendiri kelabakan diterpa bencana ini.
”Melalui program Jumat berkah, kami menolong warga sekitar, para yatim duafa dengan bantuan makanan dan sembako. Kita juga bersih-bersih dan kunjungi makam tokoh atau guru besar silat Beksi bersama donatur yang ingin melihat jejak sejarah silat beksi,” kata Aziz.
Sanggar Bintang Timur kini dalam kondisi buruk. Semua kegiatan kesenian yang dirancang tahun lalu dan 2021 ini tak berjalan sesuai jadwal. Namun, bukan berarti sanggar lantas mati. Apalagi ketika melihat ada keluarga lain yang jauh lebih berat beban hidupnya dan perlu segera dirangkul.
Sikap itu tak lepas dari ajaran dan semangat orang tua dan tokoh Betawi sekaligus seniman silat Beksi, seperti Erpie Muhammad Nafis (79) yang akrab disapa Baba Nafis.
Baba Nafis merupakan salah satu murid dari 5 tokoh besar silat beksi Petukangan, yaitu Haji Godjalih, Haji Hasbullah, Kong Simin, Kong Noer, dan Mandor Minggu. Dari para guru besar, Baba Nafis tak hanya mendapatkan pelajaran silat, tetapi juga pelajaran arti kemanusian, agama, dan budaya.Baba Nafis yang berjuluk ”Sang Jenderal” itu, memaknai beksi lebih luas menjadi berbaktilah engkau kepada sesama insan.
”Beksi artinya pertahanan empat penjuru. Namun, ada banyak pemaknaan dari beksi seperti nilai akulturasi dan kemanusian. Dulu Kampung Budaya Beksi Petukangan bagian dari benteng pertahanan laskar rakyat pada masa penjajahan. Semangat itu kita lakukan dalam keadaan sulit sekarang,” kata Aziz.
Dari cerita orang-orang tua, kata Aziz, dulu saat Haji Godjalih naik pentas, justru mereka yang menyiapkan makanan, kacang-kacangan, hingga minyak tanah untuk bahan bakar penerangan penonton mereka. Prinsip yang sama mereka terapkan kini.
”Awalnya kami sekitar lima orang patungan Rp 10.000-Rp 20.000. Uang yang terkumpul kami belikan sembako dan serahkan ke keluarga di Kampung Silat Beksi Petukangan. Ini karena ridho Allah, dari situ aliran bantuan dari donatur, lembaga, dan pemerintah terus mengalir,” tutur Aziz.
Aziz juga menegaskan, sanggarnya serta warga setempat mengikuti dan hormati peraturan pemerintah. ”Di sini kasusnya juga tinggi, kita tindak ingin sesuatu hal terjadi lebih buruk. Protokol kesehatan kita jalani,” tuturnya.
Namun, Aziz dan kawan-kawan tidak lupa bahwa ada tugas penting untuk tetap menumbuhkan pengetahuan tentang kebudayaan betawi kepada para generasi muda demi menjaga kelestarian budaya betawi. Jadi, saat pentas sulit dilakukan, mereka menggenjot usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kerajinan Betawi, termasuk kaus. Tak lupa, mereka memanggungkan karyanya lewat kanal Youtube dan laman resmi untuk menjangkau khalayak luas. ”Ini beksi, ini bakti kami kepada sesama,” kata Aziz.
Perbanyak karya
Sebagian seniman lain memilih terus produktif meski berat. ”Selama pandemi, aktivitas memang terhenti, proses latihan tersendat. Tetapi kami berhenti berkarya,” kata Ketua Teater Pangkeng Syamsudin Bahar Nawawi.
Teater Pangkeng didirikan guru Syamsudin, almarhum Yamin Azhari, pada 2016. Teater itu awalnya terlibat dalam berbagai aktivitas seni teater modern. Namun, Yamin Azhari bersama para anggotanya fokus berkarya mengembangkan seni tradisional Betawi, terutama kesenian Lenong.
Syamsudin saat berada di rumah, terus menulis berbagai jenis puisi dan cerpen. Ia bersama anggota sanggar yang berjumlah sekitar 25 orang juga rutin berdiskusi melalui grup Whatsapp atau pertemuan singkat dan terbatas.
Mereka mencari ide dan menyusun konsep untuk kembali bangkit ketika pandemi berakhir. Salah satu konsep yang disiapkan, yaitu mematangkan konsep penulisan cerpen atau pembuatan film pendek.
”Arahnya cerita (film) tetap kebetawian,” kata Syamsudin.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Syamsudin mengandalkan pendapatan dari usaha kuliner Betawi Bir Pletok Bang Syam. Anggota sanggar Teater Pangkeng dibebaskan menggunakan bakat dan hasil latihan di sanggar untuk mencari penghidupan lain, seperti ikut dalam rumah produksi sinetron.
Budaya betawi yang terkenal egaliter membuktikan diri tetap bermakna dan menghidupi pengusungnya. Ia tidak akan kalah digilas pandemi.