Rawa, seperti namanya punya pandangan kelam atas segala sesuatu. Kelam, dingin, pekat, kedalaman yang sukar ditembus. Beberapa gambaran seperti itu yang dilekatkan kepadanya tiap kali ada pengunjung melihat foto Rawa yang terpacak di dinding toko: Perempuan muda kurus dengan rambut panjang yang diikat sekenanya dalam balutan kemeja kotak-kotak biru dan celana ripped jeans duduk di lantai membelakangi rak berisi buku-buku bersampul keras, sedang menatap hampa ke suatu bidang yang jauh.
”Kalau Rawa tak kembali, aku akan menyusulnya. Di mana pun dia berada,” gumam Ash pada suatu malam. Barangkali ia bisa mendapatkan petunjuk dari undangan pernikahan yang pernah ia hadiri bersama Rawa.
Kalau Rawa tak kembali, aku akan menyusulnya. Di mana pun dia berada.
Seringkali Ash merasa menyesal. Andaikata ia dan Rawa tak datang ke acara pernikahan dari pengundang misterius, mungkin saja Rawa masih bersamanya mengurus toko buku ini.
Andaikata mereka tak datang ke acara pernikahan yang sungguh absurd itu mungkin saja sekarang mereka menjadi pasangan suami istri normal pada umumnya.
Segalanya berubah dimulai pada musim panas. Musim panas itu menjadi penanda di sinilah segalanya bermula dan di sinilah __ kurang lebih __ barangkali segalanya akan berakhir.
Pada suatu siang yang cerah di bulan April, Ash dan Rawa menemukan satu tumpukan buku setinggi dada diletakkan di depan pintu toko buku mereka. Di bawah keteduhan bayangan daun-daun pohon ketapang dan pecahan buah ketapang yang berserakan, di situlah mereka merasa menemukan harta karun. Mereka sama-sama terkejut mengetahui tumpukan buku itu sebagian besar terdiri dari buku-buku langka, koleksi yang amat susah dicari, dan kalaupun berhasil memperolehnya pastilah mesti ditebus dengan harga yang amat tinggi. Koleksi itu terdiri atas buku-buku filsafat, sastra klasik, sebagian besar dalam bahasa asing. Buku-buku yang selama ini mereka idam-idamkan.
Keterkejutan mereka belum juga habis manakala Rawa sadar ada botol bekas wine di samping tumpukan buku itu. Di dalam botol bekas wine itu terdapat sebuah surat yang digulung dan diikat dengan pita krem. Ternyata sebuah undangan pernikahan. Tercetak di atas kertas nama mempelai dalam bentuk inisial dan alamat yang tertulis jelas. Keduanya dalam huruf-huruf bergaya klasik yang dicetak tebal berwarna emas. Keduanya membaca alamat itu. Rasanya tempatnya teramat jauh dari toko buku mereka. Tak ada keterangan lain. Tak ada nama pengirim yang mereka cari.
Baca juga: Baju Baru
”Kita harus menghadiri acara pernikahan ini. Mungkin dengan menghadiri acara pernikahan ini kita bisa berkenalan langsung dengan pengirim buku-buku langka ini. Mana tahu kita memperoleh informasi yang berharga. Mungkin pengirimnya sudah lama tahu tentang kerja keras kita dalam membangun toko buku ini,” kata-kata Rawa meluncur dengan sangat cepat. Tak seperti biasanya Ash merasa seakan melihat berkas cahaya memancar dari kedua mata Rawa seturut dengan kata-kata yang meluncur dari bibirnya. Pertama kalinya rawa itu tak menunjukkan kedalaman yang pekat.
Pada saat itu, sebagaimana biasanya, Ash menjelma cermin. Tak ada kata-kata Rawa yang tak diiyakannya. Ia menerima permintaan itu. Ia selalu ingin menjadi pantulan dari apa yang membuat Rawa bahagia ataupun yang membuatnya sedih.
Di hadapan Rawa, Ash merasa ia begitu mudah untuk dibaca. Tetapi tidak di hadapan para pengunjung yang setiap hari berdatangan ke toko bukunya. Meski ia sering mendapat sebutan ”Pria Baik Hati”, ”Pria Berhati Tulus”, ia seakan berjarak dengan mereka. Ia bersikap ramah, tentu saja, sangat ramah kepada para pengunjung itu. Keramahan yang seolah membuka pintu untuk menuju sisi Ash yang lebih dalam. Tetapi nyatanya tidak. Ia menunjukkan keramahan itu kepada siapapun. Tak ada pembeda istimewa yang memungkinkan di antara pengunjung setia toko buku itu untuk mengira sikap ramah Ash bisa menjadi jalan untuk mengenalnya lebih dalam.
Sebagian besar pengunjung adalah wanita. Letak toko buku ini di belakang sebuah kampus negeri yang berdekatan juga dengan asrama putri. Maka tak mengherankan kebanyakan pengunjungnya adalah wanita.
Penampilan Ash yang selalu rapi menarik perhatian para wanita itu. Ash selalu mengenakan kemeja linen berwarna pastel di atas kaos putih dengan celana katun panjang.
Tubuhnya tinggi menjulang. Kacamata bening yang dikenakannya begitu pas dengan wajahnya.
Ditunjang oleh sikap ramah tiada tara maka tak mengherankan pula bila ada pengunjung yang jatuh hati padanya.
Salah satunya adalah seorang gadis yang selalu datang tiap kali Ash menggelar acara klub buku yang diadakan dua kali dalam satu bulan. Setiap pengunjung akan menceritakan buku yang sedang mereka baca, duduk dalam posisi melingkar sambil minum teh herbal berwarna ungu yang disediakan. Resep racikan teh itu diperoleh Ash dari Rawa ketika mereka masih bersama.
Di tengah keasyikan acara, gadis itu sering bertingkah terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Ash. Kadang-kadang dengan tertawa terlalu keras menanggapi candaan yang dilontarkan pengunjung, menepuk pelan bahu Ash, atau bertanya sudah berapa menit berlalu, kemudian gadis itu mengangkat pelan pergelangan tangan Ash untuk melihat waktu yang lewat pada jam tangan yang melingkar di sana.
Keriuhan, keramahan, dan keakraban di toko buku berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Ash kala toko akan ditutup dan ketika ia pulang berjalan sendirian di tengah malam menuju rumahnya. Kesepian dan kerinduan kepada Rawa. Sepanjang jalan ia merenung,
Baca juga: Melati dan Minyak Kayu Putih
”Apakah Rawa di tempat barunya saat ini masih suka bertanya tentang lirik lagu yang ia dengar di acara pernikahan yang sungguh absurd itu?”
Sejak mereka pulang dari menghadiri acara pernikahan absurd itu, Rawa suka menggumamkan beberapa nada tak jelas. Ia melirik ke Ash sambil memiringkan kepalanya lalu berkata,
”Mawar itu merah, es itu dingin... inilah... apa ya? Setelah itu apa, ya?” Rawa tampak berpikir keras.
Ash mengangkat pandang dari buku yang sedang dibacanya, ”Apa yang kau tanyakan?”
”Lirik lagu yang kita dengar di acara pernikahan aneh itu. Aku hanya ingat bagian ’mawar itu merah, es itu dingin’. Setelah itu apa? Bagaimana kelanjutannya?”
Ash menutup bukunya. Berpikir sejenak sambil menekan bagian bridge kacamata ke wajahnya.
”Mawar itu merah, es itu dingin. Inilah fakta yang tak terbantahkan. Tak salah lagi. Aku jatuh cinta...” * Ash menyenandungkan bagian lagu itu dengan lengkap.
Rasanya sungguh aneh ia bisa mengingat lirik lagu itu dengan jelas. Lagu itu terdengar cukup keras dari dalam gedung ketika ia dan Rawa baru tiba di lokasi acara pernikahan itu. Lagu yang sangat tidak cocok dengan suasana pernikahan di dalamnya.
Tak ada yang menyambut Ash dan Rawa ketika mereka masuk ke gedung. Gedung putih besar itu berdiri di tanah lapang yang sangat luas. Halamannya tak terawat. Dipenuhi rumput-rumput tinggi. Mereka langsung disuguhkan pemandangan yang tak lazim dalam sebuah acara pernikahan. Sulit mengira manakah yang termasuk tamu undangan karena mereka semua berpenampilan serupa pemain sirkus. Busana warna-warni dengan bentuk potongan yang aneh dan riasan tebal seperti badut di wajah mereka.
Sejauh mata memandang barangkali yang dapat disebut sebagai tamu undangan hanya Ash dan Rawa. Mereka mendengar lagu ”Mawar Itu Merah, Es Itu Dingin” terus mengalun.
Tahulah mereka sumber suara lagu itu adalah mimbar kecil yang berada di tengah-tengah gedung. Seorang lelaki kerdil dengan rambut merah menyanyikan lagu itu di sana sambil bergoyang ria.
Pemandangan itu begitu kontras dengan lelaki tua bertubuh amat tinggi berdiri di samping lelaki kerdil dalam posisi kaku seperti patung kayu. Tubuhnya berbalut jas hitam tebal.
Baca juga: Tuan Bengis
Wajah lelaki tua itu rusak sebelah, seperti bekas luka bakar yang amat parah. Ia memiliki tinggi bahu yang tidak sama. Bahu kirinya jauh lebih tinggi melebihi kepalanya. Tak lama setelah berdiam diri, lelaki tua itu merentangkan tangannya dan mengeluarkan tongkat kayu dari bagian belakang bahu kirinya. Kini tinggi kedua bahunya menjadi sama rata. Ia kembali berdiam diri memandang khidmat kerumunan orang-orang berpakaian sirkus.
Mendadak ada yang menyeruak dari kerumunan, seorang nenek bermata buta. Tubuhnya yang bungkuk berjalan mencari-cari pijakan di antara deretan kursi-kursi putih kosong dekat mimbar. Langkahnya terhenti di depan perempuan gemuk bergaun merah yang duduk sendirian di kursi. Nenek itu meraba-raba lalu menjangkau kedua tangan perempuan gemuk itu. Ia menggumamkan sesuatu sambil menangis. Ia membenamkan wajahnya ke dalam tumpukan kedua tangan perempuan gemuk.
Tiba-tiba dari arah mimbar lelaki tua patung kayu itu turun bersama tongkatnya menghampiri si nenek dan perempuan gemuk. Ia mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi lalu memukulkan tongkat itu pada tubuh si nenek. Terdengar teriakan kesakitan yang memilukan.
Semakin nenek itu berteriak, semakin kencang pula ayunan tongkat yang dipukulkan ke tubuhnya. Pukulan yang sangat cepat dan berkali-kali. Teriakan kesakitan bercampur dengan lagu ”Mawar Itu Merah, Es Itu Dingin” yang terus mengalun dalam nada-nada riang.
Daripada sebagai sebuah acara pernikahan, apa yang Ash dan Rawa saksikan kala itu lebih terlihat seperti performance art yang sukar dicerna maknanya. Apakah pengirim buku-buku langka itu sedang mempermainkan mereka? Mereka tak pernah tahu. Namun beberapa minggu setelah peristiwa itu berlalu, Rawa menyampaikan gagasannya: ia ingin menyelesaikan novelnya yang sudah lama terbengkalai di suatu tempat yang jauh dari kota. Rawa berkata pemandangan yang disaksikannya di acara pernikahan itu entah bagaimana telah memberinya ilham untuk segera menyelesaikan novelnya.
Demi mewujudkan semua itu Rawa menyarankan agar mereka hidup terpisah hingga ia berhasil menyelesaikan novelnya. Mendengar ide itu untuk pertama kalinya Ash menolak menjadi pantulan. Ia tak mau lagi bersikap sebagai cermin. Namun hal itu bagaimanapun terjadi begitu saja. Rawa hidup terpisah dengan Ash di sebuah tempat yang dirahasiakan. Komunikasi mereka tidak teratur sebab terpencilnya tempat itu membuat jaringan telepon terputus-putus.
Lama-lama Ash pun membiarkan Rawa dengan dunianya agar novel itu cepat selesai. Seiring berlalunya waktu, telepon dari Rawa semakin jarang. Ash lalu menjalani kesendiriannya dengan terus bekerja di toko buku mereka.
Baca juga: Jodoh Piutang
* * *
Gadis itu menghapus air matanya. Beberapa menit lalu ia baru menyelesaikan curahan hatinya di hadapan Ash. Ia tak langsung pulang dari acara klub buku hari itu karena ingin meminta waktu Ash untuk mendengarkan beban berat yang sudah lama dipendamnya. Sebab Ash adalah pria yang baik hati, ia tak takut meminta waktu barang sebentar saja. Tetapi malam itu Ash tak memberi tanggapan apapun. Gadis itu melihat pandangan Ash begitu kosong. Bahkan ketika gadis itu bertanya, ”Bolehkah saya memeluk Bapak?” ia disambut keheningan yang tajam.
Gadis itu berlalu dari toko sambil sesekali menoleh ke belakang dan kini melihat lampu di toko telah dipadamkan.
Catatan kalimat tanda*: Kutipan ini terinspirasi dari novel Haruki Murakami yang berjudul Sputnik Sweetheart.
Iin Farliani, lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Buku tunggalnya yang sudah terbit adalah kumpulan cerpen Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) serta kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022). Tahun 2022, sebagai emerging writer, ia diundang mengikuti Makassar International Writers Festival (MIWF), serta Ubud Writers & Readers Festival (UWRF).