Tuan Bengis
Bila Tuan Bengis mati hari ini, besok Tuan Bengis baru akan terlahirkan. Bisa jadi muncul dengan lebih bengis.
Ada seorang tuan tanah di Kampung Peletuk. Badannya kurus, tampilannya sederhana, keseringan memakai kemeja kotak-kotak yang kain lengannya disingsingkan sampai siku. Mukanya sangat pribumi, kulitnya coklat, matanya sedikit sipit dan ada kerut-kerutan di sekelilingnya. Garis rambut yang kian tahun kian tertarik ke tengah-tengah kepalanya membuat dahinya tampak lebar. Bila dia mengangkat alisnya, akan terbentuk tiga garis kerutan di pusat keningnya. Dia punya senyum yang manis, dan kelihatan begitu tulus. Namun orang-orang menyebutnya Tuan Bengis.
Tuan Bengis ini punya banyak sekali tanah di kampung, yang setiap tahun akan dia sewakan kepada orang-orang murba yang butuh beras untuk makan. Tuan Bengis tidak pernah memberi upah kepada petani yang mengurus sawahnya, sebab dia tidak pernah meminta tanahnya untuk dibajak. Dia cukup biarkan orang-orang memohon supaya dapat menggarap padi di sawahnya.
Keadaan cukup mendesak di kampung itu, setiap tahun Tuan Bengis akan membeli lahan-lahan baru dari petani sehingga mereka kehilangan pekerjaannya. Karena memohon-mohon dengan kabar tak ada persediaan beras untuk bulan depan bagi keluarga mereka, maka Tuan Bengis senang bukan main. Tapi dia simpan senyum itu dulu, dia pasang wajah tegas sambil mengatakan perencanaan tanah-tanahnya untuk dibangun sebuah vila.
Baca juga: Telunjuk
”Tapi karena saya orang baik, maka ada baiknya tanah itu dipakai dulu oleh Saudara untuk dipakai, tapi Saudara cuma dapat beras saja, ya?” Kata jitu Tuan Bengis kepada petani yang cepat membuat mereka mengangguk-angguk, dan lekas pula muncul senyum tulus Tuan Bengis.
Banyaknya kepemilikan tanah banyak sekali pula beras yang dipanen oleh Tuan Bengis setiap beberapa bulan sekali. Beras itu dia jual-jual sampai ke kota-kota lain. Kian lama kian kayalah Tuan Bengis. Setiap beras yang ada di kampung datang dari tanah-tanahnya. Dan orang jika ingin makan, harus beli kepadanya. Jika mereka tidak punya uang, maka Tuan Bengis akan menyuruh mereka untuk bekerja tanpa upah, hanya dibayar beras. Jika mereka tak sanggup bekerja, maka dia meminta istri atau anak-anak perempuan mereka untuk menjadi pembantu yang mengurus kebutuhan Tuan Bengis yang sudah tua di rumah utama.
Sudah banyak perempuan di rumah Tuan Bengis. Pekerjaan-pekerjaan rumah diutamakan kepada yang paling tua, supaya perempuan-perempuan muda tak kebagian pekerjaan sehingga mereka dapat dimintai untuk memijat-mijat tubuh Tuan Bengis. Banyak sekali orang yang protes kepada Tuan Bengis. Lewat senyum tulus itu nyatanya tersimpan suatu kebengisan yang tak pernah diketahui oleh orang kampung sebelumnya. Tahu-tahu, selama ini mereka telah membikin kesepakatan bersama sesosok iblis.
Tapi tak seorang pun dapat menyentuh sang tuan. Sebab dari uang-uangnya yang segunung itu, ia dapat bikin banyak regu penjaga. Dia cari orang-orang kekar di kampung, wajah sangar-sangar, kemudian direkrut untuk menjadi anak buah yang bakal mengawasi dirinya, dan mengawasi pekerjaan para petani di ladang-ladang.
Baca juga: Rumah Tepi Kali
Mereka dibayar tak hanya dengan uang, tapi juga membebaskan mereka untuk memainkan wanita-wanita yang ada di rumah utama, asalkan tiga perempuan yang memang tak boleh disentuh siapa pun kecuali Tuan Bengis. Mereka adalah Yuyun, Pipi, dan Tata. Ketiga perempuan muda itu tinggal sebatang kara, tak punya ibu dan tak punya bapak. Ibu-ibu dan bapak-bapak mereka semuanya dikabarkan mati tertarik arus sungai sesaat mereka bersih-bersih diri sepulang dari meladang di tanah Tuan Bengis. Tapi semua orang tahu kabar itu tidak benar, nyatanya Tuan Bengis sendirilah yang meminta orang tua ketiga perempuan itu untuk dibunuh.
Setiap hari tugas perempuan itu adalah menghibur Tuan Bengis. Bernyanyi, memijat-mijat tangan atau kaki, sampai memandikan lelaki tua itu. Malamnya mereka tidur bersama-sama di kasur Tuan Bengis. Sesekali jika mereka menolak, Tuan Bengis bakal menampar muka-muka mereka. Sesaat mereka sudah menangis dan berlaku submisif, Tuan Bengis akan menampakkan segaris senyumnya yang paling tulus dengan matanya yang terpejam.
Sudah berkali-kali mereka melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh Tuan Bengis kepada kepala desa, tapi sekian kali itu pula mereka dimintai bukti dan perempuan-perempuan itu tak bisa membuktikannya. Nyatanya seluruh perangkat desa memang sudah dibayar oleh Tuan Bengis untuk membela dia selalu bila ada yang melaporkan. Di luar dari itu, para petugas dan aparat-aparat desa juga sudah dibayar untuk memuja-muja Tuan Bengis ke mana pun mereka pergi dan bersedia selalu untuk menjual-jualkan namanya kepada warga kampung.
Baca juga: Rumah Telinga
Lewat uang-uangnya, Tuan Bengis jadi punya tangan besi. ”Hukum diciptakan dengan uang sekarang ini,” kata Tuan Bengis kepada anak buahnya.
Seluruh hal yang ada di kampung itu di bawah kendalinya. Dia punya taktik yang cukup mutakhir untuk menaklukkan seluruh warga kampung. Mula-mula dia tiba di sana dengan tampang-tampang baik, sederhana, dan selalu menebar senyum tulus ke mana-mana. Namun lama-kelamaan, senyum tulusnya itu tak lebih dari pisau yang mencabik-cabik kehidupan warga.
”Bikin orang jadi miskin,” kata Tuan Bengis kepada pria-pria muda saat bersantai di teras rumahnya. ”Jika seseorang menjadi miskin, mereka tak punya banyak pilihan. Kemiskinan mengecilkan pilihan untuk menjadi bebas. Dan pilihan mereka itu yang harus dimusnahkan untuk berkuasa.”
Dia tak pernah takut bila ada sekelompok pekerja yang memberontak, cukup menyuruh orang agar jangan takut-takut untuk menembak dengan senapan, dan peristiwa itu akan ditutupi dengan menyiar kabar bahwa petani itu hendak mencuri dan membikin onar. Sejatinya warga Kampung Peletuk itu takkan pernah bebas dari jeratan tangan Tuan Bengis. Sudah banyak sekali utang mereka kepada Tuan Bengis yang setiap tahun bakal terus menambah.
Jika seseorang menjadi miskin, mereka tak punya banyak pilihan. Kemiskinan mengecilkan pilihan untuk menjadi bebas. Dan pilihan mereka itu yang harus dimusnahkan untuk berkuasa.
Perbudakan modern, kalau kata orang, tapi tidak bagi Tuan Bengis. ”Mereka tidak punya pilihan, utang banyak tapi uang tak punya, kita suruh mereka bekerja sampai mereka mati.”
Mulai dari orang-orang tua hingga anak-anak disuruh bekerja oleh Tuan Bengis. Disebar ke beberapa pekerjaan, ada yang bertugas menanam dan memanen. Lalu hasil panen itu ada yang dijual sebagai barang jadi, dan ada pula dipakai untuk bahan baku tepung, dan ada orang yang mendistribusikan ke luar kampung. Bila keseluruhan pekerjaan telah terisi, Tuan Bengis cukup meminta mereka untuk memanjat dan mengutip-ngutip kelapa.
Tuan Bengis tak punya istri dan tak punya anak. Ketika dia mati, keseluruhan harta bendanya tak tahu dia apakan. Tapi dia punya ketiga perempuan yang selalu sedia menemaninya. Yuyun, Pipi, dan Tata sudah dianggapnya sebagai istrinya sendiri. Sudah berulang kali dia mencoba membikin anak dengan mereka, tapi tak satu pun benih yang ditebarnya tumbuh.
Setiap kali ketiga perempuan itu datang bulan, mereka akan dibentak-bentak, bahkan sampai dipukul karena tidak mampu membikin anak. Padahal kelaminnya Tuan Bengis yang sudah tua, seluruh bibitnya sudah lebih dulu mati sebelum ditanam. Tapi dia tak peduli, selalu saja bila tak berhasil, ia akan mempersalahkan ketiga perempuan muda itu.
Suatu hari, ketiga perempuan itu menyusun rencana untuk membunuh Tuan Bengis. Selama ini bila mereka ditiduri oleh Tuan Bengis, mereka tidak pernah terlihat senang. Selalu memasang wajah masam dan jijik. Dan suatu malam, ketiga orang itu masuk ke kamar dengan pakaian yang sangat menggoda, kainnya sangat minimalis. Lalu mereka bekerja sama untuk membikin Tuan Bengis terlena, sementara diam-diam di celana dalam Yuyun, sudah tersimpan sebuah silet yang siap menggorok leher Tuan Bengis.
Tak ada sesiapa pun di kamar selain mereka berempat. Pipi mulai dengan mencium-cium tangan Tuan Bengis, Tata mengelus-elus dada dan sesekali mencium-cium punggungnya sembari membuka pakaian lelaki tua itu. Sementara Yuyun si yang paling tua, menggoda Tuan Bengis dengan mengucapkan kata-kata yang membikin lelaki tua itu merasa geli. Kakinya bergetar-getar kadang-kadang, atau lehernya akan terkocar-kacir, dan matanya tidak pernah lagi dia buka.
Baca juga: Surat Arwah
Senangnya bukan main Tuan Bengis. Tidak pernah satu malam pun dia diperlakukan seperti itu oleh ketiga wanita-wanitanya. Kelaminnya sudah basah sekali, setegak keras dan kokoh seperti tiang bendera. Jantungnya berdegup cepat, nafasnya tidak teratur. Lalu ketika ada benda tajam yang dia pikir kuku dari salah satu wanita itu, Tuan Bengis mulai buka mata dan melihat garis wajah Yuyun yang menekuk, alis matanya turun, mukanya banyak kerut dengan tangan yang dengan cepat menggorok leher Tuan Bengis.
Sekuat tenaga Tuan Bengis meronta-ronta di atas kasurnya. Tapi dia tidak sanggup bergerak karena seluruh tubuhnya sudah ditopang. Yuyun duduk di dada Tuan Bengis, Pipi memegang tangannya, dan Tata sudah menimpakan pantat di atas kedua kaki Tuan Bengis. Lelaki tua itu mencoba berteriak tapi mulutnya disumpal oleh segenggam tangan kiri Yuyun. Darah menyembur dari leher, dan saat Tuan Bengis terbatuk-batuk, darah muncrat dari mulutnya dan habis mengotori tangan kiri Yuyun. Wajah Yuyun juga ikut terkena cipratan darah-darah kecil.
Urat-urat di leher Tuan Bengis timbul menegang, dan matanya melotot memperlihatkan garis-garis merah pekat di keseluruhan putih bagian matanya. Setelah agak lama dia mengerang senyap, badan yang bergerak-gerak hendak melepaskan diri, perlahan-lahan Tuan Bengis jadi lemas hingga akhirnya ia tak lagi bernafas. Darahnya sudah habis. Wajahnya dari merah kini menjadi pucat.
Sesaat Yuyun mengeluarkan tangan dari mulut Tuan Bengis, wanita itu menangis menatap wajah lelaki tua di bawahnya yang matanya sudah naik ke atas. Nyatanya lelaki tua itu mati tersedak oleh darahnya sendiri. Suasana kamar sebentar menjadi tenang, lalu ketiga perempuan itu menangis dan saling memeluk tubuh satu sama lain.
Bulan tampak pekat malam itu. Bulat sempurna dengan warna keemasan. Langit tertabur bintang-bintang. Angin bertiup sepoi, mengelus-elus daun dan ranting-ranting di pepohonan. Apa itu besok jika malam ini milik manusia?
Namun besok adalah malapetaka. Di bawah langit gelap, kampung itu, tepat sesaat mereka mengetahui bahwa Tuan Bengis yang tak punya anak itu telah mati, maka kampung akan porak-poranda oleh ketidakpastian. Setiap manusia akan berlomba-lomba saling menikam satu dan lain untuk naik ke rantai kuasanya yang tertinggi.
Tangan besi tergantung di langit, menanti-nanti untuk dijemput. Ianya si pemilik hukum yang telah mati dibunuh oleh selir-selirnya. Tiada yang tahu memang peristiwa takdir, barang kali semasyhur sains pun tak dapat mengetahui nasib yang pasti perihal esok.
Baca juga: Negeri Pemuja Koruptor
Tapi satu hal yang pasti malam ini, bahwa besok, neraka akan runtuh dan turun ke bumi. Bila Tuan Bengis mati hari ini, besok Tuan Bengis baru akan terlahirkan. Bisa jadi muncul dengan lebih bengis bersamaan dengan antek-anteknya yang baru. Sebab malam itu, hanya tokohnya yang mati, namun kekejamannya belum tuntas.[]
2024
Nuzul Ilmiawan, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireuen, 19 Oktober 2001.