Jodoh Piutang
Satu tahun setelah Toni melunasi sisa hutang adik iparnya, diam-diam Nur juga mulai memanfaatkan kakak iparnya.
Kali ini, setelah tak terhitung istrinya berbuat semena-mena, Wasta telah memutuskan untuk bercerai. Ia tak peduli lagi mengenai mitos yang pernah didengar dari kakak iparnya, kalau istrinya memiliki jimat Perkutut Banjar Petung. Atau bahkan, ia sudah tidak peduli dengan ketakutan masa kecilnya akan menimpa anak bungsu kesayangannya: Menumpang di gerbong kereta untuk menyusul ayahnya yang telah kawin lagi.
”Akan segera saya urus surat cerainya. Saya sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan Nur selama ini. Biarlah nanti Jaka ikut dengan saya.” Kata Wasta pada kakak iparnya selepas mengembalikan Nur di rumah orang tuanya dengan napas yang masih tersengal.
Saat masih seusia anak bungsunya–sekitar usia empat tahun, persis seperti dirinya, Wasta pernah dinaikkan gerbong kereta barang tujuan Jakarta dari stasiun kecil di daerahnya untuk turun di stasiun Haurgeulis-Indramayu. Musababnya sepele, Wasta nangis tak henti-henti meminta ke ibunya agar dibelikan sepatu warrior untuk sekolah. Lantas, kejadian puluhan tahun silam itu tidak mengurungkan niatnya untuk menceraikan Nur, istrinya yang telah membuat dirinya merasa direndahkan sebagai seorang suami.
Kejadian ini bermula saat Wasta menerima tamu dari seorang penagih–yang kelak kita tahu dia adalah seorang bank keliling. Selepas Wasta menambatkan gerobak dagangannya di sudut rumah, Wasta mendapati Darman, tukang bank keliling itu, dengan tujuan yang sama: Menagih hutang kreditan istrinya.
”Bukankah istri saya sudah tidak punya sangkutan perkara hutang padamu, Man?”
”Kata siapa, Mang?” jawab Darman dengan senyum getir menanya balik.
”Kata Nur sendiri, dia yang pastikan pada saya setelah saya berikan kurangannya dengan janji tidak berhutang padamu lagi.”
”Ha-ha, coba tanyakan lagi, Mang. Yayu Nur, masih punya tunggakan hutang pada saya. Banyak.”
Wasta tersulut, decak mulut serta tarikan napasnya terdengar menahan geram. Hutang yang ia lunaskan pada Darman melalui istrinya bukan uang yang sedikit. Hitungannya, bisa melunasi SPP dan biaya satu bulan untuk ketiga anaknya di SMA dan TK. Meskipun begitu, perihal jatah bulanan, tak segan, Nur selalu serong pada suaminya yang telah kerja keras hanya untuk melunasi piutang keluarganya–lebih tepatnya istrinya–yang tidak pernah jelas untuk keperluan apa.
Sebagai seorang suami, ia sudah banyak bertarung tidak hanya dengan fisiknya yang harus bekerja sebagai pedagang dan serabutan. Tapi juga dengan pikirannya. Dan itu menurutnya yang paling berisiko ketimbang perempuan yang bertarung hanya saat mengandung dan melahirkan. Ia sudah menimbang baik-buruknya mengenai keputusan yang akan diambil, ia harus cerai atas semua harga dirinya.
***
Tiga bulan sebelum bank keliling menghampiri rumah Wasta, Nur baru saja mendapatkan tamparan keras dari Wasta di pipi kirinya. Telah kesekian kali, Wasta banyak mendengar tetangga atau saudara yang mengatakan kalau Nur banyak pinjamannya. Comot sana-sini untuk ngutang.
Wasta geram untuk keperluan apa istrinya banyak berhutang pada tetangga dan saudara. Tidak ada komunikasi yang jelas. Bukankah pikirnya seorang istri harus terbuka pada suami? Wasta benar-benar merasa tidak dihargai. Padahal, semua hasil dagang selalu ia berikan pada istri dan keluarga, tapi keluhan kerap terasa dalam rumah tangganya.
Baca juga: Mengapa Mereka Tak Kunjung Datang
Sudah beberapa tahun terakhir, Wasta selalu mengeluhkan nasibnya. Selain urusan ranjang, memang ia tidak pernah berhasil memuaskan istrinya dalam hal finansial. Batinnya meringis, hingga berusia kepala tiga hanya bisa jadi pedagang kecil. Tak heran, ia selalu kesal jika uang hasilnya digunakan tidak karuan. ”Jadi, kamu gunakan untuk apa uangnya, Nur?” Cecar Wasta pada Nur dengan tegas.
Nur tanpa menjawab, langsung memasuki kamar dan mendekap dua anaknya yang masih kecil. Ia menyadari suaminya saat ini sudah kadung marah besar atas perbuatannya selama ini yang harus diakui bahwa itu berdosa. Tapi dalam nuraninya adalah lautan ketenangan, percaya bahwa kemelut badai rumah tangganya akan reda dengan jimatPerkutut Banjar Petung yang ia miliki sejak kecil. Niscaya tidak akan sampai dicerai paksa oleh suami.
Jaka, anak bungsu kesayangan suaminya masih berada di ketiaknya, ia ketakutan. Binar matanya tak pernah gagal menahan Wasta menghantam istrinya terang-terangan. Tapi dengan kepala yang mendidih, Wasta tak segan meskipun yang dapat dilakukan hanya menghantam pintu kamar dan menyeret istrinya keluar. Ia gemetar, menangis mendapati istrinya yang telah kelewat batas.
”Selesaikan semua hutangmu, itu hasil dagangku hari ini, semoga saja cukup.” Kata Wasta setelah reda dari emosinya. “Ini uang harus kamu pergunakan dengan baik. Berjanjilah, kamu selesaikan hutangmu pada Darman. Kalau tidak, aku tak segan antar kamu pulang.”
”Iya,” jawab Nur berat.
***
Tujuh bulan yang lalu, sebelum kejadian Nur ditampar oleh Wasta juga tak kalah membuat Wasta murka. Namun, apalah daya seorang pedagang es keliling yang menabung dari lelehan es-nya untuk masuk celengan, tak kuasa hanya membatin setelah mengetahui istrinya merobek celengan ayamnya atas keperluan yang tidak dimengerti untuk apa.
Ibunya berkali-kali tak percaya dengan cerita Wasta. Berharap mendapat dukungan dari ibu mertuanya, Wasta malah terdzholimi dengan orang tua yang tidak mengerti bagaimana seharusnya bersikap pada anak perempuannya yang telah menikah.
”Sudah saja biarkan kamu di rumah ibu, nanti juga Wasta mencarimu untuk menjemput.” Sumbar Maryani, tak terima dengan keluhan terbaru Nur setelah beberapa minggu yang lalu ditampar suaminya.
”Aku capek hidup seperti ini terus, Mi. Padahal, apa yang aku lakukan, ya untuk Nur dan anak-anak juga.” Timpal Nur pada ibunya.
Dengan percaya diri, Maryani meyakini kalau Wastalah yang memang tidak becus mengurus istri. Sejak saat itu, Maryani menutup telinga atas nasihat dari menantu dan anak-anak yang lain mengenai kasus Nur sebagai seorang anak yang dianggap paling banyak masalah rumah tangga di antara semua saudaranya.
”Maaf, kalau menurut saya, Mi. Bukankah Nur yang tidak bisa kita percaya. Wasta sudah bertanggung jawab dan selalu memberikan uangnya selepas berdagang.” Tutur Toni, menantu paling bijak dan peduli di antara yang lainnya.
”Apa yang bisa diharapkan dari seorang suami penjual Es Buntal yang setengah hari pulang dan sorenya tidak ada pelanggan lagi, hah?” Ketus Maryani pada Toni.
”Meskipun hanya penjual Es yang dapat 230 ribu sehari saya rasa sudah seharusnya Nur menerima dengan ikhlas dari suaminya. Lagi pula, Nur menikah dengan Wasta bukan satu-dua bulan, tapi tahunan. Jadi sudah semestinya memahami kemampuan suaminya.”
”Jadi kalau menurut saya, Nur harus menerima apa adanya atas pendapatan Wasta. Bukankah keputusan menikah dengan Wasta juga pilihan Nur sendiri. Coba Mimi renungkan. Bahwa yang seharusnya kita perbaiki adalah adik saya, anak Mimi.” Tambah Toni di rembukan keluarga pada suatu malam kesekian kali dari kejadian Nur kabur dari rumah suaminya.
Baca juga: Rumah Tepi Kali
Maryani tak kalah pusing. Sebagai ibu, dengan membayar hutang Nur secara senyap selama ini telah dianggap banyak membantu dalam rumah tangga anaknya. ”Asal tidak pisah,” katanya menjawab ketika ditanya alasannya. Namun, mendengar hal itu, Toni menantu paling bijak dan peduli di antara yang lain menentang. Menurut Toni, perlakuan itu tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ibu. Jika masih dilakukan, niscaya hanya akan merusak rumah tangganya.
”Jika berniat membantu, mending kita tanyakan langsung pada Nur berapa dan pada siapa saja saudara dan tetangga yang digaet uangnya untuk dipinjam.”
Setelah mendapat persetujuan dari Maryani, Nur terbuka pada keluarga meskipun dalam hati Toni masih mencurigai kalau Nur masih ada yang disembunyikan. ”Sudah Nur bayar semua dari uang yang Wasta berikan sekarang, sisanya hanya pada Kaji Daspan, dan Ki Mardiyah, Mi.”
”Benar sudah itu saja, Nur? Jika benar, Kang Toni akan bereskan untuk melunasi hutang-hutangmu yang tersisa.”
***
Satu tahun setelah Toni melunasi sisa hutang adik iparnya, diam-diam Nur juga mulai memanfaatkan kakak iparnya yang telah kelewat mampu mengambil hati orang untuk diarahkannya pada hati suaminya. Meskipun persoalan hutang telah–dianggap–selesai, Nur masih mengkhawatirkan jika Wasta tidak akan terima atas dasar kewajiban kepala keluarga.
Nur membujuk kakak iparnya agar turut serta berpihak padanya untuk memainkan hati Wasta jika kelak datang dan menyampaikan masalahnya mengenai Nur. ”Jika harus disampaikan, Wasta itu sebenarnya orang yang sangat perhitungan. Sehingga menurutku dia itu suami yang pelit.” Kata Nur pada Toni.
”Tidak satu dua-kali aku dilarang untuk sekadar membeli pakaian dan baju anak. Yang boleh dibelanjakan tidak lebih dari kebutuhan dapur dan perbaikan rumah serta kendaraan. ’Biar hemat dan manfaat katanya.’”
Sampai penjelasan ini, Toni memahami duduk perkaranya.
”Aku tertekan, tapi aku sangat berharap untuk tidak berpisah, Kang. Selain karena anak-anak, tapi juga aku sangat mencintainya. Semoga Kang Toni bisa bantu untuk meredam emosi Wasta agar mengurungkan niatnya yang sekarang ingin menceraikan Nur.” Tutur Nur gelisah dengan dibalas anggukan kepala kaka iparnya.
***
Satu bulan setelah Nur meminta bantuan pada Toni, Wasta menemui Toni di rumahnya untuk memastikan kalau keputusan yang ia pilih sudah tepat dan harus dilakukan: Cerai. Wasta tidak mengharapkan kebaikan Toni, melainkan hanya perlu kebijakannya saat ini dalam memastikan keputusan.
Hanya saja sering kali, meskipun tekad sudah bulat, ada geletar keraguan pada dada Wasta setiap kali mengambil keputusan. Agaknya terlalu gegabah, ia tidak melihat Jaka yang mungkin nanti akan sama dengan dirinya–menyusulnya di gerbong kereta barang. Ia juga tidak mengabaikan kepercayaan keluarga Nur, kalau Banjar Petung memang ada pada istrinya. Barangkali karena itu, sehingga ia kelimpungan sendiri dengan keputusannya. Perbawa welas asih jimat itu memang merepotkan hatinya, tapi bara di kepalanya belum begitu padam hingga saat menemui kaka iparnya.
”Bagaimana, Kang?”
”Sebaiknya kamu urungkan, pikirkanlah Jaka. Terlebih, aku telah memahami perkara istrimu–mengapa dia berlaku demikian. Nampaknya kamu sebagai suami memang terlalu banyak ikut campur dalam mengurus keuangan rumah tangga.”
Surabaya, Oktober 2023
A Djoyo Mmulyono. Kelahiran Cirebon, 1999. Tinggal di Surabaya menulis fiksi dan non-fiksi. Tulisannya telah dimuat di sejumlah media. Seperti Kompas, Suara Merdeka, Harian Sultra, dan Majalah Unesa. Buku kumpulan cerpen pertamanya, Sirna (Interlude, 2023).
Catatan
Perkutur Banjar Petung: jimat untuk panjang jodoh
Mimi: Panggilan anak pada Ibu: Umumnya di daerah Cirebon.