Melati dan Minyak Kayu Putih
Setelah mengukur jarak yang cukup aman, Hasan diam-diam membuntuti Bapak hingga tiba di jalan raya.
Aroma melati bercampur minyak kayu putih menusuk hidung Hasan. Ia tidak pernah menyukai aroma itu. Pertama kali menciumnya ia bahkan merasa mual. Sekarang ia sudah mulai terbiasa. Meski masih tidak menyukainya, ada perasaan bahagia muncul saat aroma itu merebak. Tidak lain karena aroma itu menandakan Bapak sudah pulang dari bekerja dan tiba di rumah.
Hasan sudah lupa kapan pertama kalinya Bapak pulang bekerja dengan aroma tajam tersebut menempel di tubuhnya. Ia hanya ingat dirinya sempat berkomentar, ”Wah, Bapak wangi sekali.” Ia mengatakan itu sambil menutup hidung. Saat itu Bapak hanya diam dan menatap Hasan dalam-dalam. Ibu pun diam seribu bahasa. Sungguh respons yang tidak diduga Hasan. Ia tadinya mengira Bapak dan Ibu akan tertawa. Sejak saat itu Hasan tidak pernah bertanya lagi. Ia memilih untuk belajar mengabaikan.
Tapi belakangan ini Hasan mulai penasaran lagi. Bisa jadi karena dia sudah semakin besar. Hal-hal yang tadinya bisa ia abaikan kini mulai menimbulkan rasa penasaran. Sewaktu pergi bekerja tidak ada aroma apa pun menempel di tubuh Bapak. Lalu mengapa sepulang bekerja justru bapak menjadi ”wangi” sekali? Sepengetahuan Hasan, Bapak bekerja di kantor pemerintahan daerah. ”Bapak pekerja lepas di sana. Membantu para Pegawai Negeri Sipil itu melaksanakan program kerja mereka.” Begitu Bapak pernah menjelaskan. Bapak hanya lulusan Sekolah Dasar. Bisa bekerja di kantor pemerintahan sebenarnya sudah pencapaian yang luar biasa sekali. Tapi bagian apa di kantor pemerintahan yang membuat para pegawainya beraroma melati bercampur minyak kayu putih sepulang bekerja? Pertanyaan itu terus menggelitik pikiran Hasan.
Baca juga: Rabu yang Baik
”Tak biasanya kau mengabaikan Bapak, San. Lalu terlihat sedang melamun pula.” Suara Bapak membuyarkan lamunan Hasan.
Hasan tertawa untuk menyembunyikan kegugupannya. Bapak kini berdiri di sebelahnya, memandang dirinya dengan tatapan menyelidik. Biasanya ia memang segera menyambut Bapak begitu aroma yang tidak ia sukai itu muncul.
”Kau cepatlah selesaikan pekerjaan rumah dari sekolah. Setelah Bapak selesai mandi kita segera makan malam.”
Hasan mengangguk mengiyakan perintah Bapak.
Suasana hati Bapak sedang baik. Ia banyak tertawa sepanjang makan malam. Hasan terdorong untuk bertanya. Siapa tahu kali ini Bapak mau menjelaskan asal muasal aroma yang menempel di tubuhnya setiap pulang bekerja. Tapi baru saja Hasan hendak membuka mulut, ibu tiba-tiba sudah berbicara dengan nada serius.
”Tadi aku dimarahi oleh kader posyandu. Kata mereka kok bisa-bisanya berat badan Menik tidak naik sama sekali. Mereka bilang pasti ibunya yang tidak becus.” Ibu berkata dengan nada sedikit merajuk. Menik adalah adik Hasan yang masih berusia tiga tahun.
Hasan langsung mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ibu sedang kesal. Pertanyaan yang ingin ia ajukan bisa saja menambah kekesalan di hati Bapak dan Ibu. Hasan lalu memandang ibunya yang terlihat sedih. Ia tahu Bapak dan Ibu sudah berjuang untuk memberikan makanan bergizi bagi dirinya dan Menik. Setiap hari pasti ada menu telur di meja.
Kadang dimasak semur, digulai, dan macam-macam lagi. Hanya dirinya dan Menik yang mendapat jatah telur. Ibu dan Bapak hanya makan dengan nasi, sayur, dan tempe atau tahu saja.
”Menik belakangan ini mudah sekali sakit batuk dan pilek. Memang lagi musimnya. Tak heran kalau berat badannya tidak naik. Nanti kalau badannya sudah lebih kuat melawan penyakit pasti berat badannya naik.” Bapak menjawab dengan nada santai.
Tadi aku dimarahi oleh kader posyandu. Kata mereka kok bisa-bisanya berat badan Menik tidak naik sama sekali. Mereka bilang pasti ibunya yang tidak becus.
Topik pembicaraan pun kemudian beralih ke pakaian yang dijemur belakangan ini sulit kering karena sering hujan, hingga soal Mak Ijah—tetangga sebelah yang baru saja kehilangan sepatu yang ditaruh di teras rumah. Hasan tidak melihat ada celah untuk dirinya melontarkan pertanyaan terkait aroma melati bercampur minyak kayu putih yang menempel di tubuh Bapak.
Mungkin memang lebih baik ia abaikan seperti yang sudah-sudah ia lakukan. Begitu Hasan berkata kepada dirinya.
Namun ternyata urusan melupakan aroma tubuh bapak tidaklah mudah. Hasan terlanjur diselimuti rasa penasaran. Semakin ia berusaha mengabaikan justru semakin ia penasaran.
Akhirnya Hasan membuat rencana.
Suatu pagi ia meninggalkan rumah lebih awal. ”Aku menjadi petugas piket kebersihan kelas hari ini.” Begitu Hasan memberikan alasan kepada Bapak dan Ibu. Padahal sesungguhnya, ia berencana untuk membuntuti Bapak pergi bekerja. Hasan tahu ia bisa terlambat tiba di sekolah karena hal tersebut tapi ia tidak peduli. Hukuman terberat jika terlambat hanyalah disuruh hormat bendera selama 30 menit. Lagi pula ia tidak pernah terlambat sebelumnya. Guru-gurunya pasti akan maklum dan tidak terlalu mempermasalahkan.
Sekarang Hasan sedang bersembunyi dibalik tembok di ujung gang. Dari tempatnya bersembunyi, ia bisa melihat Bapak yang baru saja keluar dari rumah. Setelah mengukur jarak yang cukup aman, Hasan diam-diam membuntuti Bapak hingga tiba di jalan raya.
”Jadi kau minta tumpangan, San?” Suara Bang Phala mengagetkan Hasan.
”Jadi Bang. Sebentar ya. Tunggu Bapak naik angkot dulu lalu kita ikuti angkotnya.” Hasan memang sudah mempersiapkan segalanya. Termasuk menghubungi Bang Phala tukang ojek pengkolan agar menunggunya di pinggir jalan raya.
”Ayo Bang. Ikuti angkot itu ya. Tapi jangan terlalu dekat biar gak ketahuan Bapak.”
Hasan segera meloncat ke boncengan Bang Phala.
”Siap. Ada-ada saja kau ini. Masak Bapakmu sendiri pun kau buntuti.” Bang Phala yang asli Pematang Siantar itu menjalankan motornya sambil geleng-geleng kepala.
Siap. Ada-ada saja kau ini. Masak Bapakmu sendiri pun kau buntuti.
Setelah hampir 30 menit akhirnya Bapak turun dari angkot yang ia tumpangi. Bang Phala yang melihat hal tersebut langsung meminggirkan motornya. Hasan segera turun dari motor dan berlindung dibalik gerobak gorengan yang berjualan di pinggir jalan.
”Tunggu di sini ya Bang.” Hasan memberikan instruksi kepada Bang Phala lalu berjalan mengendap-endap menuju ke tempat Bapak turun dari angkot. Kini Bapak sudah tak terlihat. Tadi ia menyeberang jalan lalu masuk ke dalam bangunan yang bentuknya mirip rumah berukuran kecil. Tidak ada papan petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan bangunan apa itu. Di halaman samping bangunan kecil itu terparkir sebuah truk yang sudah usang. Bentuknya seperti truk yang sering dipakai untuk mengangkut sampah.
Hasan melihat ke kiri dan ke kanan. Setelah yakin aman, ia pun segera menyeberang jalan. Kini ia berada tepat di depan bangunan yang seharusnya adalah kantor Bapak. Tapi bangunan itu sama sekali tidak terlihat seperti Kantor Pemerintahan. Terlalu kecil, jelek, dan terlihat kurang terawat.
Hasan berpindah ke balik truk usang yang terparkir. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat kalau bangunan kecil itu memiliki halaman yang jauh lebih luas di bagian belakang. Di sana terparkir sejumlah truk sampah dalam kondisi yang masih layak digunakan.
Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai dari dalam bangunan. Sejumlah pria terlihat keluar dari bangunan tersebut lalu berjalan menuju truk-truk yang parkir. Ada yang naik ke baknya, ada pula yang duduk di depan. Tak lama kemudian Hasan melihat Bapak bergabung dengan mereka yang sudah lebih dulu berada di bak. Bapak tidak mengenakan pakaian yang sama dengan yang tadi ia kenakan saat meninggalkan rumah. Saat ini ia mengenakan kaos dan celana panjang yang sudah usang. Ia pernah melihat ibu menjemur pakaian tersebut. Ternyata setelan itu adalah pakaian kantor Bapak.
Baca juga: Tut, Tut, Tut, Waktunya Maut Menjemput
Truk-truk itu kini mulai bergerak meninggalkan halaman belakang bangunan. Hasan segera keluar dari tempat persembunyiannya lalu berlari mencari tempat persembunyian berikutnya. Beruntung di sebelah kantor Bapak ada lahan kosong. Hasan berlari ke lahan kosong tersebut lalu berjongkok sambil menempelkan punggungnya ke tembok tinggi yang memisahkan lahan tersebut dengan halaman kantor Bapak.
Truk yang Bapak tumpangi kini tiba di jalan raya. Hasan bisa melihat dengan jelas Bapak yang sedang duduk di bak truk bersama teman-temannya. Truk itu terus melaju menjauh dari Hasan, meninggalkan bau sampah bercampur solar.
Hasan memacu langkahnya menuju ke tempat Bang Phala tadi berhenti. Sekarang terjawab sudah kenapa Bapak ”wangi” sekali saat pulang ke rumah. Bapak berusaha menyamarkan bau menyengat yang ada di tubuhnya sepulang dari mengangkut sampah. Bisa jadi Bapak membeli sendiri kolonyet murah beraroma melati lalu mencampurnya dengan minyak kayu putih. Semua demi menyamarkan bau sampah yang menempel. Hasan tidak tahu apa yang membuatnya lebih sedih, mengetahui bahwa Bapak ternyata tukang angkut sampah atau menyadari bahwa Bapak malu dengan pekerjaannya sendiri sehingga merahasiakan dari anaknya. Jika Bapak saja malu bagaimana menurutnya Hasan bisa menerima hal tersebut?
”Sudah San?” Bang Phala bertanya sambil mematikan rokoknya. Hasan mengangguk dan meminta Bang Phala untuk segera mengantarnya ke sekolah.
Hasan menarik napas dalam-dalam. Asap dari kendaraan yang lalu-lalang ikut terhirup oleh paru-parunya. Sambil terbatuk-batuk Hasan menggenggam erat bagian belakang motor Bang Phala yang melaju kencang di jalan raya. Bapak Pahlawan Kebersihan. Hasan memantapkan hati untuk berani mengatakan itu kepada Bapak dan Ibu.
Kapan? Ia pun tidak tahu.
Baca juga: Tuan Bengis
I L Sembiring, lahir di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Merupakan alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan, Bandung. Bekerja sebagai auditor di sejumlah perusahaan selama hampir 14 tahun hingga memutuskan berhenti dan menekuni dunia penulisan.