Rabu yang Baik
Sesungguhnya ayah Rabu hampir saja menamai anaknya ”Kalender”. Untung saja istrinya tidak setuju.
Rabu lahir pada hari Rabu di kampung yang belum banyak tersentuh kemajuan zaman. Orang tua di tempat kelahiran Rabu biasanya menamai anak mereka sesuatu yang ada di sekitar si anak saat baru dilahirkan. Tidak heran di kampung Rabu banyak orang yang bernama Meja, Kursi, Pintu, dan sejenisnya.
Sesungguhnya ayah Rabu hampir saja menamai anaknya ”Kalender”. Untung saja istrinya tidak setuju. ”Ula! Rabu saja ban gelarna,” begitu ibu Rabu yang bernama Uis Megara membantah keinginan suaminya. Akhirnya anak mereka diberi nama Rabu Si Mehuli, yang artinya Rabu yang baik.
Atas masukan istrinya pula, ayah Rabu yang bernama Kudiin Perubaten setuju Rabu harus meninggalkan kampung untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Sejak memasuki masa sekolah menengah pertama, Rabu bersekolah di sekolah negeri yang ada di ibu kota kabupaten. Jaraknya sekitar lima jam perjalanan dengan menumpang truk sayur. Selama bersekolah, Rabu tinggal di rumah salah seorang sanak saudara yang sebenarnya hampir tidak ada hubungan darah dengan keluarganya. Hanya kebetulan saja mereka memiliki marga yang sama.
Akhirnya anak mereka diberi nama Rabu Si Mehuli, yang artinya Rabu yang baik.
Setelah lulus sekolah menengah atas, Rabu diterima di salah satu universitas negeri yang ada di pulau seberang. Rabu sebenarnya bersedih hati. Orangtuanya adalah sahabat terbaiknya. Tempat ia pulang mendapatkan damai setelah menghadapi sepinya kehidupan sehari–hari. Kini, ia akan semakin jarang bertemu mereka.
Saat Rabu hampir menyelesaikan kuliah, ia mulai resah. Kabar sulitnya mencari pekerjaan dengan penghasilan yang baik kerap ia dengar. Ia pun menyampaikan keresahan itu kepada orangtuanya.
”Uang itu kakinya seribu, 'nak ku. Kalau memang belum rezeki, sekeras apa pun kam kejar, tidak akan dapat ndu. Tapi kalau memang sudah rezeki ndu, menjauh pun kam, tetap datanginya, kam. Jadi, kerjakan saja bagian ndu. Berjuang saja sebaik mungkin,” begitu ibu Rabu menenangkan hati anaknya.
Sayangnya, di hari Rabu seminggu sebelum sidang kelulusan Rabu, Gunung Sinabung meletus. Desa tempat orangtua Rabu tinggal berada di dalam zona bahaya. Ibu Uis meninggal karena tidak cukup cepat berlari menyelamatkan diri dari semburan asap panas. Sedangkan Pak Kudiin bisa selamat karena saat itu sedang pergi mengantarkan hasil panen ke desa lain. Pada hari Rabu di minggu selanjutnya, Rabu gagal dalam sidang kelulusannya.
Baca juga : Sebuah Cerita Pendek di Meja Kafe
Sekitar satu bulan setelah ibunya meninggal, Rabu mendapati kabar kalau ayahnya telah berpulang. Tenyata semenjak ditinggal Bu Uis, Pak Kudiin hidup seperti orang linglung. Ia acap kali meraung–raung dan berteriak–teriak di hadapan petugas pengungsian agar diizinkan memasuki kampung tempat tinggalnya.
”Nggo kumat, ka.” Begitu orang–orang berkata setiap Pak Kudiin mulai berteriak–teriak dan melempar–lemparkan tubuhnya agar diizinkan kembali ke rumah. Mereka pun memilih menjauh dari Pak Kudiin.
Pak Kudiin semakin merasa kesepian. Ia akhirnya kabur ke desa lain lalu berkumpul dengan mereka yang suka mabuk–mabukan di warung. Dini hari, Pak Kudiin meninggalkan warung minum dalam kondisi sangat mabuk. Karena memang tidak sadar sepenuhnya, Pak Kudiin jalan dengan seenaknya. Ia pun tertabrak truk sayur yang sedang melaju kencang. Setidaknya begitulah cerita si pemilik warung. Pak Kudiin meninggal di hari Rabu, sama seperti istrinya.
Namun, semenjak saat itu, ia sangat membenci hari Rabu.
Tertatih–tatih Rabu melanjutkan hidup. Namun, semenjak saat itu, ia sangat membenci hari Rabu. Ia menjadwalkan ulang ujian sidang kelulusannya dengan menghindari hari Rabu dan mencari pekerjaan dengan menolak semua tawaran wawancara yang dilakukan di hari Rabu.
Rabu terus membenci hari Rabu. Hari Rabu pun tak berhenti melemparkan kesialan kepadanya. Ia pernah diberhentikan dari tempatnya bekerja di hari Rabu, kehilangan telepon genggam, ketinggalan dompet, bertikai dengan teman kantor, dimarahi atasan, dan banyak peristiwa tidak menyenangkan lainnya. Kerap kali kesialan di hari Rabu sebenarnya disebabkan Rabu yang sudah khawatir berlebihan sejak hari Selasa malam. Akhirnya dia sulit tidur. Keesokan harinya ia terlambat bangun sehingga terlambat datang ke kantor dan tidak konsentrasi saat bekerja. Alhasil dia sering bermasalah dengan kolega ataupun atasannya.
Pagi ini, Rabu bangun dengan hati enggan. Bukan hanya karena hari ini adalah hari Rabu, namun ia juga tidak menyukai tempatnya bekerja sekarang. Semua berjalan biasa saja sampai saat ia turun dari angkutan umum yang ditumpanginya menuju kantor.
”Bang! Tas Anda ketinggalan!” Seorang pria datang menghampiri dan meletakkan sebuah tas di kaki Rabu. Kemudian pria itu segera berlalu.
Baca juga : Perempuan Tua dan Kupu-kupu
Rabu terdiam dalam bingung. Tas itu berwarna kuning mencolok dengan ukuran yang cukup besar. Ia ingat tas tersebut memang teronggok dekat kakinya pada saat ia berada di dalam angkutan umum. Pastilah milik orang lain yang duduk di dekat Rabu. Pria tadi salah menduga. Ia kira Rabu adalah pemilik si tas sampai rela mengantarkan ke dirinya. Tapi di mana pemilik yang sebenarnya? Kenapa ia tidak sadar tasnya sudah diambil pria tadi?
Rabu memandang sekeliling. Semua orang sibuk dengan urusan masing–masing. Penasaran Rabu membuka ritsleting tas untuk mengintip isinya. Ia penasaran sekali. Jantung Rabu seperti berhenti berdetak. Ia terkejut bukan kepalang. Tas itu berisi uang. Banyak sekali. Semuanya dalam pecahan uang kertas nominal terbesar. Otak Rabu langsung bekerja menciptakan skenario. Dengan uang itu ia bisa berhenti dari pekerjaannya sekarang.
Hidup bersenang–senang untuk beberapa tahun, membeli mobil, pergi liburan ke luar negeri, serta melakukan banyak hal lainnya. Jika uangnya sudah hampir habis, baru ia akan mencari pekerjaan lagi.
Rabu bergegas mencari angkutan untuk pulang ke rumah kos. Ia dapat mengarang alasan sakit agar tidak perlu datang bekerja hari ini. Setibanya di kamar kos, Rabu segera memeriksa tas berisi uang dengan lebih seksama. Isinya hanya uang. Tidak ada apa pun yang bisa memberikan petunjuk siapa pemilik sesungguhnya. Sekonyong–konyong Rabu merasakan pukulan di kepala. Tulangnya seperti berhenti menopang tubuhnya.
Baca juga : Dialog Literal di Alla Caffe
Rabu terduduk lemas. Hari ini hari Rabu. Tidak ada hal baik yang bisa terjadi di hari Rabu. Tas berisi uang itu pasti membawa sial. Rabu marah sekali. Rencana indah yang sudah tersusun di kepalanya kini hancur seketika.
Terseok–seok Rabu berlari meninggalkan rumah kos. Ia ingin segera mengenyahkan tas berisi uang tersebut. Tas itu terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam tempat sampah rumah kos karena itu ia akan membuangnya di TPS yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Hati Rabu hancur bukan kepalang saat melemparkan tas berisi uang ke sampah yang menggunung. Tapi Rabu sudah mengenyam begitu banyak kesedihan di hari Rabu. Ia tidak percaya nasib bisa berubah. Uang itu hanya akan membawa kesialan belaka. Terseok-seok, Rabu kembali ke rumah kos.
Baru juga sebentar Rabu mengistirahatkan kepalanya di atas bantal, terdengar ketukan keras pada pintu kamar. Dengan enggan Rabu bangkit dan membuka pintu.
”Tukang sampah barusan datang mengantarkan ini. Katanya milik kamu.” Bapak pemilik kos meletakkan tas di depan pintu kamar Rabu lalu segera berlalu.
Ia tidak percaya nasib bisa berubah. Uang itu hanya akan membawa kesialan belaka. Terseok-seok, Rabu kembali ke rumah kos.
Rabu kaget bukan kepalang. Tas yang telah ia buang kembali ke dirinya. Rabu memeriksa isi tas tersebut. Masih penuh dengan uang. Rabu semakin ketakutan. Rabu tidak menyadari, tadi pagi ketika ia memutuskan tidak bekerja lalu pulang ke rumah kos, ia berpapasan dengan seorang petugas sampah. Petugas sampah itu mengenali Rabu karena Rabu pernah berbaik hati memberikan makanan untuk dirinya. Sewaktu ia menemukan tas berwarna kuning mencolok di gunungan sampah, ia ingat bahwa tadi Rabu mengenakan tas yang sama. Tanpa mengintip isinya, ia berupaya mengembalikan tas tersebut ke Rabu yang ia yakini sebagai pemilik.
Rabu kesal dan ketakutan. Secepat kilat Rabu kembali membawa tas tersebut ke luar rumah kos. Kini Rabu sudah berada di dalam angkutan umum yang penuh dengan penumpang. Tiga puluh menit kemudian, Rabu memutuskan turun tanpa membawa tas kuning berisi uang.
Belum satu menit Rabu berjalan, seseorang tiba–tiba berdiri di sebelahnya. ”Bang, tas Anda ketinggalan!” Orang tersebut berlalu setelah meletakkan tas yang sengaja Rabu tinggalkan di angkutan umum. Rabu panik sekali. Ia segera berlari.
”Bang, tas Anda ketinggalan!” Lagi–lagi Rabu mendengar ada yang memanggil. Rabu terus berlari dalam ketakutan. Sayup–sayup ia mendengar suara ”Orang itu aneh sekali, berlari meninggalkan tasnya. Mungkin sebaiknya kita panggil polisi untuk memeriksa tas ini.”
Baca juga : Ramai
Rabu semakin ketakutan. Runyam sudah kalau urusannya sampai ke polisi. Belum tentu polisi mempercayai cerita yang sebenarnya. Dia bisa dituduh yang bukan–bukan. Rabu berlari semakin kencang.
Rabu tidak tahu berapa lama ia sudah berlari. Suara–suara yang memanggil dirinya sudah tidak terdengar lagi. Dengan gontai Rabu menaiki tangga jembatan penyeberangan. Dari seberang jalan ia akan mencari angkutan umum yang bisa membawanya pulang. Rasa kesal dan marah masih menyelimuti hati Rabu.
Tiba-tiba suara itu muncul lagi. ”Itu orangnya! Dia yang punya tas kuning!” Rabu terkejut dan takut. Ia menaiki tangga penyeberangan sambil berlari.
”Tolong distop orang itu!” Rabu bisa mendengar suara di belakangnya berkata dengan lantang. Orang-orang di depan Rabu terlihat bisa memahami apa yang terjadi.
Mereka menatap Rabu dengan tajam dan bersiap menghentikan langkahnya. Rabu terkepung. Baik dari arah belakang maupun depan, sudah ada orang–orang yang siap menangkapnya. Rabu mematung dalam takut. Jika sampai tertangkap, kesialan hari Rabu akan menjeratnya dengan kejam. Ia menatap ke samping. Wajah teduh ayah dan ibunya terbayang dengan jelas. Ia merasakan rindu yang membuat ulu hatinya sakit.
Tatapan kosong menemani kaki Rabu yang memanjat pagar pembatas jembatan penyeberangan. Kini kakinya melangkah di udara. Sesaat tubuhnya terasa mengapung di hamparan angin yang diisi polusi. Tepat sebelum tubuhnya membentur keras aspal yang dipanggang matahari, kata-kata ibunya terngiang jelas. ”…uang itu kakinya seribu, ‘nak ku. Kalau memang sudah rejeki ndu, menjauh pun kam, tetap datanginya kam.”
Keterangan :
*Ula! Rabu saja ban gelarna : Jangan, beri nama Rabu saja.
‘Nak ku : anak ku
Ndu, kam : kamu
‘Nggo kumat, ka : sudah kumat lagi
TPS : Tempat Penampungan Sementara sampah sebelum diangkut untuk proses selanjutnya.
I.L. Sembiring, lahir di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dan merupakan alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan Bandung. Bekerja sebagai auditor di sejumlah perusahaan selama hampir 14 tahun hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan menekuni dunia penulisan.