Ramai
Ini Sabtu malam, tujuh empat tujuh. Sementara televisi menyiarkan seorang gadis mati gantung diri, ada yang menderas laiknya cucuran hujan yang luruh di pokok-pokok ketapang.
Sabtu malam, tujuh empat lima, televisi menyiarkan seorang gadis mati gantung diri. Hatinya lumat setelah patah hati, begitu yang ia tulis dalam buku Vegetarian Han Kang di halaman paling belakang. Sementara penyiar bercasciscus tanpa henti, sementara mesin cuci berdesing ribut sekali, sementara mulut teko mendesis-desis seperti rintihan anjing dehidrasi, sementara ponsel berdenting-berkali-kali, sementara hujan jatuh tik-tik-tik di atas genting, suaramu pecah di atas sofa dengan nada tinggi.
”Cerpenmu kemarin buruk sekali. Seharusnya menulis itu seperti pantomim atau melukis,” katamu. Wajahmu begitu dekat sehingga aku bisa melihat bekas luka yang menebas alismu menjadi dua. Matamu tampak bersungguh-sungguh. Kau terlihat seperti mahasiswa semester tujuh yang berdemonstrasi menolak undang-undang yang diputuskan dini hari. Padahal, usiamu tiga puluh satu lewat satu hari dan telah berganti-ganti pekerjaan lebih sering daripada aku berganti baju dalam satu minggu.
”Lihat ini.” Tangan kirimu menggenggam sesuatu yang tak bisa kulihat dan meletakkan di depan hidungku. ”Kau harus melukis sesuatu, bukan dengan cat, tetapi dengan kata-kata. Seperti apa bentuknya, warnanya, baunya.” Ujung jempol dan telunjukmu menyatu, mencubit sesuatu yang tak kasatmata, bergerak dari puncak genggaman kemudian turun berulang ulang. Setelah itu, kau membuka mulut lebar-lebar (mungkin lebih lebar dari mulut orangutan), kemudian mengunyah sambil memejamkan mata. ”Rasakan. Apakah manis, sedikit asam, atau bahkan sepat dengan menyisakan sedikit rasa getah. Lalu, tulis!”
”Kau sedang makan apel,” cetusku. ”Apel yang masam.”
”Pisang!” Kau cemberut. ”Dan kau sedang memusingkan sesuatu. Pikiranmu tak di sini.”
”Perutku sedikit tak nyaman.”
”Mau kubuatkan jahe hangat?”
Tanpa menunggu jawaban, kau bergerak ke dapur, berjongkok, lalu membuka lemari pendingin.
”Roti lapis berjamur, apel manalagi busuk, minuman karbonasi kadaluarsa, dan jahe-jahe kering seperti bangkai cicak.” Kau berdecak. ”Jika tiba-tiba ada wabah, dan semua orang dilarang keluar rumah, kau bisa mati kelaparan.”
”Besok aku belanja.” Nanti malam, kuberharap peri gigi menyisipkan koin emas di bawah bantal.
”Kubuatkan teh saja kalau begitu.” Kau mematikan kompor, mengangkat teko, lalu menuangkan airnya pada cangkir berisi kantong teh chamomile yang sebelumnya kau ambil dari toples kaca kedap udara.
Saat kau datang dengan satu cangkir teh di tangan, ponselku berdenting lagi. Sekali, dua kali, tiga kali.
”Tak kaubuka?”
”Aku malas membalas pesan.”
”Bagaimana jika ada kabar penting?”
Harusnya kau yang paling tahu, kenapa aku tidak suka membuka ponsel. Aku benci kabar buruk. Ibuku dulu berkata, tidak ada kabar, berarti kabar baik. Jika telepon di ruang tengah berdering, apalagi tengah malam, maka bisa dipastikan, kabar buruk tengah bertandang.
Ponsel berdenting lagi. Tertulis kata ’ibu’ di layar.
”Buka,” katamu pendek. Aku malas membantah.
Ada tiga ratus empat puluh tujuh pesan belum dibaca. Pesan ibu paling atas.
Lebaran ndak pulang, Nduk?
Tak kubalas. Kulewati saja.
Gila, Ran. Baru dua bulan cuti, eh dosen bajingan itu udah ngajar lagi. Harusnya dia yang sembunyi ke Timbuktu, bukannya elu. Paling enggak, dipindah ke Atacama atau Kutub Utara saja sekalian.
Dari Dinda. Kulewati tanpa membalas.
Mbak Rania, apa pinjaman Mbak bisa dibayar besok? Budhe lagi butuh buat bayar sekolah Panji. Janjinya seminggu lalu, kan? Besok pagi budhe mampir, ya, sekalian ambil uang kos bulan ini. Ndak lagi ada kuliah, to?
Dari Budhe Sartini. Kulewati. Uang sudah habis untuk beli butiran segi enam tadi pagi.
Ponsel berdenting. Masuk pesan baru.
Gila, lu, Ran. Dibaca doang. Balas, kek. Abaikan berita sampah di koran-koran. Gue lebih tahu lu. Lu gak sendiri. Ada gue. Kalau lu masih idup, balas!
Dari Dinda lagi. Kulewati lagi.
Kuputuskan mematikan ponsel dan melemparnya ke atas sofa.
”Tak kaubalas?” tanyamu.
”Kita lanjutkan diskusi saja,” sahutku sambil mengernyit.
”Masih sakit?”
”Sedikit. Setelah minum teh, nanti juga reda,” cetusku sambil mengangkat cangkir teh, menghidu aromanya, lalu menyesapnya perlahan. ”Lanjutkan.”
”Jadi, menulis itu seperti menggambar. Kau harus melukiskan adegan-adegan di benak pembaca, tidak seperti cerpen-cerpenmu itu. Buruk sekali.”
Kau tampak bersemangat. Tanganmu yang akhir-akhir ini sering membelah pisang, membakarnya setengah matang, membedakinya dengan keju bubuk, menyiramnya dengan saus stroberi, bergerak-gerak di udara seirama mulutmu bicara.
Harusnya kau yang menulis berdasarkan teori-teori yang kaujabarkan, bukannya memaksaku menerapkan teorimu seperti kuda pacuan. Dari awal, aku menyukai tulisanmu yang sering tayang di koran-koran. Begitu hidup, sehingga seolah-olah aku berada dalam ceritamu yang absurd, tentang hiu yang jatuh ke bulan, tentang kabut yang menjadikan manusia sebagai camilan, dan tentang seorang mahasiswi pertanian yang jatuh cinta pada penjual perlengkapan hidroponik karena sama-sama mencintai Murakami. Sayangnya, dua tahun ini kau tak lagi menulis cerpen. ”Aku menulisi kehidupan saja. Tulisan tak bisa memberiku makan,” katamu.
Namun, sepertinya, tungku pembakaran pun tak bisa menahanmu berganti pekerjaan. Sebulan lalu, kaukatakan, akan pergi ke Kalimantan.
”Aku akan mengajar anak-anak rimba menulis cerita.”
”Tulisanku masih buruk. Ajari aku saja.”
”Berada di dekatmu, dadaku sakit.”
”Kau tahu, aku pun tak menginginkan kejadian itu. Saat itu, hujan sedang menderas saat aku mengumpulkan tugas agronomi ke ruangannya. Lalu dia .... Benar-benar mimpi buruk.”
”Apalagi bagiku. Aku bahkan tak pernah menyentuhmu.”
”Apa menurutmu aku yang salah?”
”Aku tak berkata begitu.”
”Tapi orang-orang berpikir aku yang salah. Bajuku, sikapku, semuaku.”
”Itu masalah mereka dengan kedunguan mereka sendiri.”
”Bagaimana denganmu? Buktinya, kau tetap pergi. Pada akhirnya, aku harus belajar menulis sendiri.”
”Tulisanmu tak seburuk yang kaukira.”
Lalu, tanpa memberi kabar, satu hari setelah ulang tahunmu yang ketiga puluh satu, kau menaiki kapal yang membawamu ke hutan rimba. Namun, saat langit berwarna sedikit jingga, sedikit merah, dan lebih banyak ungu, kabar tiba di ponselku: kau tak pernah sampai. Usiamu akan selalu tiga puluh satu lewat satu hari, di hari itu, di hari ini, dan di hari-hari yang berlari kencang seperti anak bengal.
Setelah kupikir-pikir, ternyata kau benar. Kemampuanku menulis tak seburuk yang kukira, begitu juga kemampuan imajinasiku. Aku piawai menjadikan apel manis, pisang sepat, atau jeruk masam nyata di hadapanku, sepiawai membuatmu berdiri di sini, membuat secangkir teh, memelukku dari belakang, dan berbisik bahwa tak ada yang lebih kauinginkan selain waktu berhenti sekarang.
Seperti saat ini, kau masih mondar-mandir sambil melanjutkan aksiomamu mengenai bagaimana menggunakan panca indera dalam cerita. Aku bangkit dan tergoda menyibak rambutmu yang jatuh menutupi mata. Namun, lututku menyentuh cangkir di meja yang dasarnya berkerak kecoklatan dan kantong teh chamomilenya ditumbuhi jamur kelabu. Cangkir itu bergulir, lalu jatuh di atas punggung kakiku. Lalu, ada yang mengalir, begitu deras dan hangat. Namun bukan dari punggung kaki, bukan dari betis, bukan dari paha, tetapi lebih atas lagi. Butir-butir putih segi enam itu telah bertindak dengan gemilang. Di perutku, ada ular derik yang menggeliat-geliat dengan ganas.
Ini Sabtu malam, tujuh empat tujuh. Sementara televisi menyiarkan seorang gadis mati gantung diri, ada yang menderas laiknya cucuran hujan yang luruh di pokok-pokok ketapang.
Sementara mesin cuci mendengung ribut sekali, ada yang menggenang, begitu merah, lebih merah dari selai stoberi, mengalir melewati kaki-kaki meja, kaki-kaki almari, dan kaki-kaki kursi tanpa terkendali.
Sementara teko mendesis-desis laiknya rintihan anjing dehidrasi, ada merah yang sangat merah, merah yang beraroma ketam, menjelma jadi lautan, merayap di bingkai-bingkai kaca, dinding-dinding putih, lalu menutup langit-langit sepenuhnya.
Ponsel berdenting-berkali-kali. Hujan tak lagi tik-tik-tik di atas genting, tetapi menjadi byur-byur-byur seperti suara ibu mandi di pagi hari. Semua merah. Aku terbaring di atas genangan laiknya pisang bakar saus stroberi, dan kau tanpa henti berorasi tentang Hemingway yang menghindari kata sifat sebagaimana dirimu menghindari lara hati.
Ramai. Teramat ramai. Namun, tak ada ketenangan sedamai ini.
Sasti Gotama, Cerpenis, penerjemah, dokter. Beberapa cerpennya telah dimuat di koran Kompas, Tempo, Detik.com, tabloid Minggu Pagi, harian Fajar Makassar, dan media lainnya. Kumpulan cerpennya yang telah terbit Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (Diva Press, 2020) menjadi salah satu buku rekomendasi Tempo 2020.
Bambang Pramudiyanto, lahir di Klaten, 10 September 1965. Kini menetap di Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, setelah menempuh pendidikan STSRI ”ASRI” Yogyakarta. Lima Besar The Philip Morris Group of Companies Indonesia Art Award 1995. Selama kariernya sebagai pelukis telah menggelar empat kali pameran tunggal pada periode 1995 sampai 2019, serta 19 kali pameran bersama sejak tahun 2015-2021.