Rumah Tepi Kali
Serempak pandangan kami tertuju pada rumah yang dimaksud Bambang. Rumah itu berbentuk panggung, kecil.
Untuk ketiga kalinya aku, Bambang, dan Rivan harus menyusuri kali kecil dangkal di tengah hutan itu. Kecil dangkal tapi menjadi habitat lintah. Maka tiap berada di dalamnya kami bertiga tak bisa tenang.
”Buruan sedikit! Itu ada dua ekor berenang ke arah kita!” seru Bambang seraya mendorong punggungku agar bergegas.
Aku pun cepat-cepat melangkahkan kaki walaupun jelas tak akan bisa secepat di darat. Terlebih beberapa bagian dasar kali itu merupakan lapisan lumpur tebal. Terseok-seoklah aku.
”Oh, Tuhan! Ada seekor menempel di celanaku!” pekik Rivan.
Tongkat kayu yang ia pegang dipukul-pukulkan ke betisnya, tempat lintah itu berada.
Air pun memercik-mercik sampai mengenai muka kami. Lalu darah pula, muncrat setelah tubuh lintahnya terpotong karena pukulan tongkat Rivan yang keras.
Kami berlari menentang aliran air, berusaha segera sampai di tepi yang mempertemukan kami dengan jalan setapak mendaki ke puncak tebing.
”Aku jijik sekali! Ih, tak bisa kubayangkan kalau aku digigit!” kata Bambang dengan napas terengah yang kian terengah karena kini kami menanjak.
”Ya, aku takut sekali!” sambut Rivan. ”Gigitan lintah bisa menimbulkan alergi dan infeksi! Ke mana kita cari obat di tengah hutan begini? Bakal jadi masalah saja!”
Aku mengangguk-angguk, menyempurnakan reaksi phobia kami bertiga pada hewan lunak itu.
”Ini gara-gara pemilik rumah itu!” gerutu Bambang pelan ketika kami sudah sampai di atas tebing. ”Seandainya mereka tak berulah, kita tak harus berulang datang ke sini dan berulang ketemu lintah.”
Serempak pandangan kami tertuju pada rumah yang dimaksud oleh Bambang. Rumahnya berbentuk panggung, kecil, kira-kira lima kali empat meter. Bidang dinding gedeknya sudah banyak berlubang hingga beberapa bagian dalam rumah itu terlihat dari luar. Atapnya juga dari pasangan bambu yang tampak keropos. Rumbianya pun sudah lapuk.
”Sudah,” kataku dengan pelan pula. ”Jangan membicarakan mereka, nanti mereka dengar. Ayo ke sana.”
Di halaman rumah yang pintunya terbuka itu kami hendak mengucapkan salam. Tapi didahului oleh kemunculan pasangan lelaki dan perempuan. Sama-sama tua, dengan tubuh sama-sama bongkok.
”Eh, kalian lagi?” ucap yang lelaki dengan suara parau dan bergetar. Ia turuni tangga diikuti isterinya.
”Sudah kalian sampaikan pesanku pada teman kalian dan Pak Kepala Desa?” sambungnya begitu berhadapan dengan kami.
Aku, Bambang, dan Rivan saling pandang, sama-sama meminta salah satu untuk menjawab.
”Sudah, Pak.” Rivan yang bicara. ”Pesan Bapak dan Ibu yang tidak mau rumahnya dibedah sudah kami sampaikan. Nah, justru karena itu pula kami kembali ke sini. Kami diharuskan untuk mendapat kejelasan alasan Bapak menolak. Kemarin Bapak belum memberitahukannya dengan terang benderang kepada kami.”
Si bapak menghela napas. Nampak ia terbebani mendengar kalimat Rivan. Sedang istrinya memandang aku, lekat sekali, seperti ada sesuatu padaku, atau semacam ada yang hendak ia sampaikan, tapi ragu.
Baca juga: Monodramator, pada Suatu Hari
Kuperhatikan, cara memandang serupa ini selalu saja dilakukan nenek itu padaku setiap kali aku datang. Tentu saja membuat aku risi.
”Apa pentingnya alasan kami, Nak,” balas lelaki tua itu dengan sopan. ”Kami menolak, Bapak rasa itu cukup bagi kalian dan Kepala Desa untuk tidak usah memaksa rumah kami ini dibedah.”
Kami bertiga terdiam.
”Perjalanan yang sia-sia. Mengulang lagi situasi kemarin-kemarin ketika kami datang hanya sekadar untuk menanyakan alasan pasangan kakek nenek ini. Aduh, mana lintasi hutan, mana hadapi lintah!” umpatku dalam hati. Aku yakin Bambang dan Rivan juga sepertiku. Bahkan umpatan mereka pasti lebih parah sebab keduanya ogah-ogahan ketika tadi diperintah dosen untuk datang lagi ke sini.
Tak ada yang perlu dibahas lagi. Kami memutuskan untuk pamit.
”Nak!”
Kami yang sudah melangkah harus membalikkan badan ketika terdengar seruan dari si kakek.
”Anak yang berbaju biru,” ucapnya, seperti hendak mengatakan sesuatu. Itu aku, yang berbaju biru.
”Ya, ada apa, Pak?” sambutku cepat, berharap ia akan menyatakan alasannya seperti yang kami inginkan.
Tapi si nenek menepuk lengan suaminya itu. ”Tidak ada apa-apa, Nak,” sela sang istri. ”Pergilah, tak ada apa-apa.”
***
”Masa gagal terus?” protes Pak Yono, dosen pembimbing kami dengan tatapan tajam mengarah padaku, Bambang, dan Rivan yang baru saja masuk posko.
Lelaki enam puluh tahunan itu seperti tak percaya dengan kukuhnya pemilik rumah tepi kali.
Aku dan kedua temanku jadi merasa tersudut. Apalagi kini masuk pula teman-teman lain yang juga menunjukkan ketidakpercayaan. Untung ada Kepala Desa yang menyela, ”Bisa jadi Pak Jafar dan istrinya, pemilik rumah itu punya alasan yang tak bisa mereka sampaikan kepada kita. Kita abaikan saja dulu rumah tepi kali itu dari sasaran bedah rumah. Kita selesaikan rumah yang tidak bermasalah saja.”
”Tidak bisa begitu, Pak Kades,” potong Pak Yono. ”Kami sebagai pelaksana kegiatan harus menyelesaikan semua rumah yang datanya telah terkirim ke pihak perusahaan penyandang dana bedah rumah ini. Kalaupun sekarang ada yang menolak, kami harus memberikan laporan detail tentang alasan penolakannya. Kami tidak ingin ini jadi temuan penyandang dana saat mereka turun mengawasi, lalu kami disalahkan.”
Aku menggeleng-geleng. Ini beban berat bagiku sebab aku adalah penanggung jawab kegiatan bedah rumah di zona timur, zona di mana rumah tepi kali itu masuk ke dalamnya.
Aku jadi menggerutu dalam hati, menyesali kenapa kegiatan KKL kami di desa ini harus dilaksanakan dengan menggandeng sebuah perusahaan segala, yang membonceng program CSR-nya, melakukan bedah rumah bagi rumah tidak layak huni.
Pak Yono menatapku. Sejenak tanpa kata-kata.
Firasatku buruk diperlakukan seperti itu.
”Tanggung jawabmu, Arif. Selesaikan. Bagaimanapun caranya kau harus mendapatkan alasan dari pemilik rumah tepi kali itu. Syukur-syukur bisa mengubah keputusannya menjadi bersedia rumahnya dibedah.”
Ledakan petir di telingaku. Terbayang lagi aku harus berjalan sejauh lima kilometer dari desa, masuk ke hutan, menyusuri kali, berjibaku dengan lintah lagi!
”Kalau tidak sekarang, besok lah. Kumohon.”
Kata ”kumohon” itu sama dengan ”kuperintahkan kamu” bagiku.
Kutatap dosenku itu yang bangkit dan keluar dari posko. Kutatap Bambang dan Rivan yang tertunduk, yang pasti sedang dicekam bayangan seperti bayangan yang ada di benakku sebab mereka adalah anggota kelompokku, yang wajib membantuku.
”Kutemani kalian besok,” kata Kepala Desa.
Aku mengangguk, tak bersemangat.
***
Jam dua. Sudah larut. Riuh rendah mahasiswa yang mengisi malam dengan bergitar, bernyanyi atau sekadar bercengkerama telah hilang sejak satu jam lalu.
Aku tak juga mengantuk. Berbaring saja, tatapanku terus tertuju ke langit-langit kamar posko. Sedang pikiranku tak bisa lepas sedikit pun dari bayangan wajah pasangan tua pemilik rumah tepi kali itu, yang sudah membuat aku capek, dan besok akan buat aku capek lagi.
Ada rasa jengkel yang tiba-tiba merayapi dadaku, saat tiba-tiba aku ingat pembicaraanku tadi sore dengan Sirajuddin, warga desa yang mengaku tahu betul seluk-beluk pasangan penghuni rumah tepi kali.
”Aku bisa menduga alasannya,” kata Sirajuddin.
”Apa?” Aku terpancing.
”Aku menduga Pak Jafar dan isterinya tidak mau rumahnya dibedah oleh pihak lain sebab ia sudah ada kesepakatan dengan orang partai!”
”Maksud Bapak?” cecarku tak sabar.
”Gini, belakangan aku sering memergoki kaki tangan sebuah partai yang datang ke rumah mereka. Dengar-dengar, partai itu akan mengadakan kegiatan bedah rumah juga beberapa bulan yang akan datang. Nah, aku duga ini, kaki tangan partai itu mewanti-wanti Pak Jafar agar menunggu saja rumah dibedah oleh partai, agar nantinya partai punya modal kampanye, bahwa partai itu telah memberi perhatian pada orang susah. Aku duga juga Pak Jafar sudah menerima sesuatu dari kaki tangan partai itu, makanya kukuh menolak bantuan kalian.”
Lancar sekali Sirajuddin melontarkan dugaannya, yang masuk akal juga bagiku.
”Itu hanya dugaan. Bisa spekulasi, tapi mungkin saja benar,” suara hatiku. ”Kalau benar, berarti selama ini aku capek mengurus rumah tepi kali itu, capek bolak balik bolak-balik dari posko ke hutan tepi desa, capek menghadapi lintah, capek ditekan dosen dan teman-teman mahasiswa, adalah gara-gara partai! Kenapa harus begitu?”
Kecamuk pikiranku mendorong punggungku tegak dan aku duduk di tepi dipan.
”Tidak, tidak boleh begitu!” Seruan keras dalam hatiku melatari emosi yang perlahan merayapi dada dan kepala. ”Partai itu tak boleh membuat aku capek lagi, tak boleh membuat kelompokku gagal, tak boleh menjadikan KKL kami jadi tercela di mata pihak lain!”
Aku yakin bahwa aku harus segera tahu apakah dugaan Sirajuddin itu benar. Dengan cara itu maka aku, Pak Yono dan teman-teman akan bisa mencari jalan untuk mengatasinya.
Aku keluar kamar, mencari Bambang dan Rivan.
***
”Gila kamu, Rif! Kamu gila!” seru Bambang berulang-ulang, yang disambut pula oleh Rivan dengan seruan-seruan senada.
Aku tak mau menyahut. Terus berjalan cepat dan fokus saja menyoroti jalan setapak yang kami lintasi dalam hutan itu dengan senter.
”Kamu terpancing oleh spekulasi Sirajuddin, lalu emosi, lalu begini ini, tengah malam mengajak kami ke rumah tepi kali. Kamu gila, Rif! Tidak takutkah kamu berada dalam hutan yang gelap begini? Tak jerihkan nanti kita dikejar lintah lagi?”
Berondongan kalimat Rivan tak juga membuat aku mau bicara, apalagi sekarang jalan di depan kami menurun, menjelang kali yang gemericiknya sudah jelas terdengar dalam sepi.
”Aduh, lintah lagi!” teriak Bambang saat cahaya senter di tangannya memapar lintah-lintah yang berenang dalam kali yang sudah kami masuki.
Karena kecamuk dalam hati, aku tak lagi peduli pada lintah. Berjalan terus di aliran air yang dingin itu, sampai akhirnya tiba di tebing dan mendaki.
”Aduh! Tunggu, dong!”
”Ya, jangan tinggalkan kami begitu, dong, Rif!”
Keluhan setengah menjerit itu terus terdengar hingga aku berdiri di atas tebing.
Rumah tepi kali yang kami tuju lampunya mati. Aku dekati.
”Siapa di situ?”
Kaget juga aku oleh seruan tiba-tiba dari atas rumah. Ternyata si kakek masih terjaga.
”Kami, Pak Jafar, mahasiswa yang KKL,” jawabku, berharap lelaki tua itu cepat membuka pintu agar aku bisa segera bicara dengannya.
Pintu berderit dan terkuak bersamaan dengan terang dalam rumah. Di ambang telah berdiri Pak Jafar dan istrinya yang memegang lampu minyak tanah.
”Naiklah!” perintah mereka hampir bersamaan.
Di atas rumah yang lantainya dari bilah bambu itu kami duduk berhadapan dipisahkan lampu yang apinya meliuk-liuk akibat diterpa embusan angin menyusupi celah dinding.
Aku menghela napas, mencoba meredakan detak jantung yang cepat. Aku emosi, tapi tak boleh bicara dengan kasar. Pertama karena yang kuhadapi adalah orang tua, kedua sebab aku mahasiswa, yang harus bisa mengatur pola bicara hingga tetap cerdas dan beretika.
”Sebelumnya kami mohon maaf, Pak. Malam-malam datang, mengganggu Bapak dan Ibu.”
Pak Jafar mengibaskan tangan kanannya, mengisyaratkan agar aku tak usah lagi berkata.
”Tidak apa-apa, Nak,” ucapnya pelan tapi tegas. ”Pasti tujuanmu masih sama, kan? Baiklah, kiranya malam ini saatnya kami harus berterus terang.”
Sejenak ia menoleh ke arah istri yang di waktu sama menoleh pula padanya. Istrinya lalu tertunduk, diam, tiba-tiba terisak-isak.
Tak sadar mulutku menganga karena heran dan ingin bertanya kenapa. Bambang dan Rivan yang dari tadi tak henti menepuk-nepuk lengannya karena digigit nyamuk kini tertarik pula perhatiannya pada perempuan tua yang bertingkah aneh itu.
Pak Jafar menggeleng-gelengkan kepala, seperti menahan kesedihan pula.
”Aduh, drama apa ini?” seru batinku.
Tiba-tiba aku hendak berusaha untuk tidak terbawa suasana. Entah apa yang membuat mereka sedih, aku tak seharusnya peduli sebab tujuanku datang adalah untuk mendapatkan kejelasan.
”Tolonglah, Pak, beri tahukan kami alasan Bapak.” Suaraku, kusadari nadanya menekan.
”Maaf, semoga bukan karena Bapak telah diiming-imingi oleh kaki tangan partai!”
Sontak aku dan Bambang bersamaan menatap tajam Rivan demi mendengar ucapan tiba-tiba dari teman kami itu.
Sungguh, walaupun kedatanganku dipicu oleh dugaan itu, aku tak sedikit pun hendak mencetuskannya pada Pak Jafar! Tapi Rivan sudah melontarkannya tanpa aku kira sama sekali. Menyesal sekali kuberi tahu dia tentang hal ini!
Aku menepuk pahanya, mengisyaratkan agar dia diam. Dan tampaknya ia sadar telah keceplosan, hingga hanya bisa tertunduk.
Aku pun tertunduk, risi kepada Pak Jafar yang mendadak bangkit dan menuju sebuah lemari kecil di sudut ruangan.
Ia buka lemari itu, mengambil sebuah kotak bekas kemasan songkok, lalu kembali dan duduk lagi setelah meletakkan kotak itu di hadapanku.
Isakan istrinya kini lebih keras dan lebih rapat.
Pak Jafar sendiri menyeka air matanya.
Aku, Bambang, dan Rivan tertegun. Tak mengerti ada apa sesungguhnya.
Pak Jafar membuka kotak itu. Sehelai foto di dalamnya. Foto lelaki setengah badan, sepertinya remaja.
Tangan keriput Pak Jafar yang gemetar mendekatkan lampu dan foto yang kini ia pegang, sambil menatap aku, lagi-lagi dengan lekat.
Lelaki itu, remaja itu…
Mataku melebar melihatnya. Aku seperti tak percaya!
”Kok anak di foto ini mirip benar denganmu, Rif?” seru Rivan.
Bambang juga, berseru, ”Iya, iya! Seperti wajah Arif!”
Aku memandang Pak Jafar, memandang istrinya, memandang lagi foto itu.
”Ya, Allah, kenapa mirip sekali denganku?” bisikku tak tertahan.
”Inilah alasan kami, Nak,” ucap Pak Jafar tiba-tiba, dengan suara lirih. ”Ini alasan kami menolak rumah kami dibedah.”
Aku tercenung. Tatapan tetap tertuju pada foto, tapi pendengaranku fokus menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu.
”Dia adalah cucuku, namanya Yusuf. Ia sangat kami sayangi karena dialah cucu kami satu-satunya dan yatim piatu sejak kecil. Di sini, di rumah ini ia kami rawat hingga remaja.
Rumah ini, pada awalnya adalah rumah tanah yang seadanya. Ketika beranjak remaja, ia berkeinginan memilik rumah yang lebih bagus. Ia pun bersedia bersamaku dan neneknya ini mencari kayu ke hutan jauh untuk bahan bangunannya. Bertiga pula kami membangunnya, tanpa bantuan siapa pun.”
Terdiam sejenak, Pak Jafar mengelus-elus pundak istrinya yang terguncang karena menangis.
”Kami ingin sekali suatu ketika ia dewasa, menikahi seorang gadis, lalu tinggal dan mempertahankan keberadaan rumah kesayangannya ini setelah kami meninggal dunia. Tapi…”
Aku, Bambang dan Rivan yang telah tenggelam dalam haru kini sama-sama menunggu kelanjutan cerita Pak Jafar.
”Yusuf berpulang mendahului kami. Kami temukan jenazahnya suatu siang, tergeletak di dalam kali di samping rumah, dengan luka di perutnya. Diserang babi hutan.”
Aku, Bambang dan Rivan ternganga. Ngeri. Tak ada yang mengeluarkan kata-kata.
”Kami terpukul, Nak. Terpukul sekali,” ucap Pak Jafar kembali, yang lebih terdengar sebagai rintihan. “Hingga kini kami belum bisa sungguh-sungguh merelakan kepergian cucu kami itu. Dan kami selalu merasa bahwa ia tetap ada di rumah ini. Tetap hidup, menemani kami kakek nenek yang sangat ia sayangi, di atas rumah yang ia bangun dengan keringatnya. Itulah Nak, kenapa kami tak mau mengubah sedikit pun keadaan rumah ini sebab kami tak mau arwah Yusuf terusik. Biarlah rumah ini lapuk, rubuh, dengan rupa yang tetap sama seperti ketika Yusuf membangunnya.”
”Oh…!” Tak sadar bibirku melontarkan seruan lirih. Sungguh, tak pernah kubayangkan bahwa latar belakang penolakan Pak Jafar dan istrinya adalah kasih sayang mereka pada cucunya!
Baca juga: Uni Rubiyah dan Bang Kundat
Jauh, jauh sekali dari dugaan Sirajuddin, jauh betul dari perkiraanku, pasti sangat jauh pula dari spekulasi Pak Yono dan teman-teman, pikiran kami semua yang buruk!
Tiba-tiba aku merasa malu. Lekas aku mengangguk-angguk, mencoba menunjukkan perhatian dan simpati pada Pak Jafar.
”Dan ketika kau datang, maaf, kami harus sedih lagi. Wajahmu, entah kenapa, begitu disamakan oleh Tuhan dengan wajah Yusuf. Kami seperti berhadapan dengan Yusuf saat berhadapan denganmu. Beberapa kali aku dan istriku ingin mengatakan itu padamu. Tapi kami ragu, takut menyinggung kamu, Nak.”
”Ya, Allah, begitu rupanya! Pantasan tingkah mereka aneh padaku!” Seruan itu hanya menggema di dalam hatiku. Rasanya tak penting kucetuskan sebab aku kini memilih menjadi pendengar yang baik saja untuk cetusan perasaan kakek yang berduka itu.
Lalu duka mereka kurasakan seperti berpindah ke dadaku. Aku rasakan benar, dan tiba-tiba aku pun ingin menangis.
Berulang kali kuucapkan permohonan maaf saat pamit dari rumah tepi kali itu. Aku merasa berdosa! Entahlah Bambang dan Rivan. Walaupun mereka mengaku merasa bersalah pula, kuyakin itu sebentar saja, dan segera berganti dengan kecemasan.
Di tebing, sebelum turun ke kali, keduanya saling berbisik.
”Ternyata bukan lintah saja yang harus kita takutkan di sini.”
”Iya, babi hutan juga.”
Selesai
Sumbawa Timur, 6 Desember 2022
Yin Ude, penulis dari Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel, dan artikel terpublikasi di media cetak dan daring di dalam dan luar daerah Sumbawa. Memenangi beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah sepilihan puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.