Monodramator, pada Suatu Hari
Sejak hari itu, Baldasar meringkuk di ruang tahanan. Di dalam sel Baldasar mencipta banyak lukisan pesanan pejabat.
Auditorium itu sudah dipenuhi pengunjung. Baldasar, seorang monodramator dadakan yang sekonyong-konyong populer, muncul di panggung.
”Sesungguhnya saya bukan ahli dalam bermonolog. Karena saya adalah seorang pelukis yang sekadar kepingin bicara. Lha, bagaimana, ya. Kalau saya bicara lewat seni lukis, seperti di hari-hari lalu, tidak satu pun yang terpikat hatinya. Malah ada yang menuduh saya berjualan lukisan dengan selubung seni cerita, bukan dengan seni rupa!” Penonton tersenyum. Beberapa bertepuk tangan. Setelah sedikit mengatur gestur, Baldasar mulai meluncurkan tutur.
Sesungguhnya saya bukan ahli dalam bermonolog. Karena saya adalah seorang pelukis yang sekadar kepingin bicara.
”Ini adalah cerita tentang Tjing Lok, paman dari seorang sahabat saya. Syahdan Tjing Lok adalah pengusaha pengangkutan yang sangat dikenal di desa Sukonatar. Ia memiliki sejumlah truk. Ada truk untuk mengangkut palawija. Ada truk untuk membawa hewan sembelihan. Ada truk untuk mengangkut barang pabrik dan sekumpulan orang.
Nah, atas truk terakhir ini, banyak kisahnya! Salah satunya begini. Pada suatu senja di minggu pascapanen, truk itu dipakai untuk membawa sekelompok orang ke pedalaman desa. Sesampai di pedalaman, kelompok orang itu berlompatan turun dari truk. Sambil berteriak, ”Sikat tuan tanah teler!” mereka menggeruduk rumah besar yang sedang menggelar pertunjukan janger. Perhelatan itu pun kacau dan bubar. Para penabuh dan pemain janger segera lari terbirit-birit ketika melihat para penggeruduk membawa golok dan arit.
Pada lain waktu, truk ini beberapa kali disewa untuk membawa para pemuda ke kota Bloro, yang jaraknya 500 kilometer dari kediaman Tjing Lok. Rombongan demi rombongan orang itu bertandang ke Mbah Suro Manggulu, dukun yang dikenal di penjuru Indosana, karena dianggap bisa memberi kesaktian kepada banyak orang. Di padepokannya itu, Mbah Suro Manggulu menyediakan zimat untuk dibeli. Jimat itu berupa seranting kayu yang dibalut kain merah, yang konon menyimpan spirit ora wedi kerah. Sungguh menyenangkan! Atas ziarah yang bolak- balik ini, Tjing Lok banyak memperoleh pendapatan. Sehingga sekali waktu ia berminat ikut ke Bloro. Di situ, ia membeli puluhan jimat untuk dibagikan sebagai suvenir ke penduduk desa yang tak sempat bepergian. Namun, atas limpahan rezeki tersebut, Tjing Lok bersikap mewaspadai. Itu sebabnya—sebagai mantan wartawan majalah Star Weekly—ia menulis puisi begini.
Kunang-kunang terbang siang
Meredup tubuhnya di bawah matahari
Jika uang terus berdatangan
Pertanda ada yang harus dicurigai
”Cakeeep!” seru penonton di auditorium. Baldasar tersenyum, dan lantas melanjutkan monolognya.
Baca juga: Cerita Tanpa Cerita: Beran, 1949
Pada awal Oktober 1965 terjadi pertumpahan darah karena kudeta politik. Santer disebut bahwa kudeta itu didalangi oleh satu partai. Kudeta tersebut gagal, dan negeri Indosana lantas dikuasai militer. Lalu orang-orang yang diindikasi pengikut partai pengudeta segera dinista, diburu, dan dibunuh dengan berbagai cara. Bukan oleh aparat bersenjata negara saja, melainkan juga oleh siapa pun yang ingin mencabut nyawa. Salah satu modus pembunuhannya adalah: mereka secara berkelompok dibawa ke suatu tempat nun jauh. Di situ mereka dibantai.
Sampai pada waktunya truk Tjing Lok dipinjam secara paksa oleh komandan Korata (Komando Rayon Tentara) untuk mengangkut para pesakitan yang akan ditiadakan itu. Tjing Lok terperanjat. Dengan halus, ia tidak mengabulkan permintaan itu. ”Ingat, bukankah dulu truk Om pernah membawa rombongan pemuda partai untuk menggeruduk perhelatan di pedalaman desa? Ada bukti juga bahwa truk Om berkali-kali memboyong orang-orang partai ke Bloro untuk bersujud di hadapan Mbah Suro Manggulu. Ada pula bukti Om mengumpulkan jimat berbalut kain merah, benda kesaktian palsu itu.... Nah, sekarang, bolehkah truk Om saya pinjam. Anggap saja ini untuk keperluan negara.”
”Sewa truk itu semata bisnis, tidak ada urusannya dengan politik,” jawab Tjing Lok. ”Tidak, Om. Semua bisa dikaitkan dengan politik.” Lantaran tertohok-tohok pemaksaan, truk pun dipinjamkan.
Sewa truk itu semata bisnis, tidak ada urusannya dengan politik.
Penonton agak terenyak. ”Lho! Terus?” celetuk seseorang di belakang dengan gusar. Setelah sedikit mengatur gestur, Baldasar kembali menghantarkan tutur. Lebih dari 100 hari sudah truk itu dipinjam. Ketika dikembalikan, truk terbilang sudah membunuh 222 orang. Di antaranya adalah Bu Koso dan Pak Koso, guru sekolah taman kanak-kanak putra putri Tjing Lok. Karena merasa ngeri, Tjing Lok tak mau lagi melihat truk itu. Lalu, truk diparkir saja di sebuah sudut pekarangan luas bekas penjemuran gabah pabrik beras Padi Sentra, yang terletak jauh dari rumahnya. Kunci truk itu ia simpan di selipan gudang. Lima bulan sudah truk itu mangkrak. Semua bannya kempes. Tangki bensinnya juga mengering.
Nah, pada suatu hari, selepas tengah malam yang dibasahi gerimis, Tjing Lok terbangun dari tidurnya. Samar-samar ia mendengar truk itu ada yang berusaha menstater. Namun, tidak bisa. Distater lagi. Distater lagi. Dicoba lagi, sampai suara stater itu terdengar meringkik. Tapi gagal.
”Mengapa mesinnya tak bisa hidup! Mengapa mesinnya mati?!” kata Tjing Lok berteriak. Si istri yang tidur di sampingnya terbangun. ”Ada apa?” tanyanya. ”Dengar, ada yang menstater truk di Padi Sentra!” Si istri tersenyum sambil mengatakan bahwa Tjing Lok mimpi buruk dan mengigau. Karena si istri sama sekali tak mendengar itu.
Esoknya, Tjing Lok ke Padi Sentra. Truk itu kumuh, kotor, dan tetap berada di tempatnya. Pintu mobil tak bisa dibuka. Bahkan kap mesinnya aus berkarat dan bak kayunya mereyot.
Baca juga: Cerita di Lampu Merah
Pada beberapa hari kemudian, juga selepas tengah malam, Tjing Lok terbangun lagi dari tidurnya. Ia berkata keras. ”Mesinnya menyala! Truk itu jalan! Dengarkan, ia merayap menuju ke sini!” Istrinya segera terbangun, dan kemudian mengelus-elus punggung suaminya. ”Ahh, mengulang mimpi buruk. Lupakan saja truk itu,” kata si istri sambil tidur lagi.
Esoknya, Tjing Lok ke Padi Sentra. Truknya yang rusak dan berdebu itu masih ada di sana.
Penonton mulai tegang dengan wajah bertanya-tanya. Baldasar lalu dengan antusias melanjutkan cerita.
Pada suatu pagi, Tjing Lok dikejutkan dengan kedatangan Bu Koso dan Pak Koso. Ibu Koso mengenakan kebaya seperti yang sering dikenakan oleh putri juragan kopra. Pak Koso memakai blangkon hitam bermotif parang slobog. Di belakang mereka tampak 15 orang yang semuanya berbaju putih. Mereka mengikuti Ibu Koso dan Pak Koso dengan langkah pelan dan sopan. Di ruang tamu, Bu Koso, Pak Koso, dan para pengikutnya itu berpelukan dengan penuh keharuan dengan Tjing Lok.
”Kalian masih hidup. Oh, kalian tidak jadi dibikin mati. Thian sudah memberi kalian punya kehidupan panjang,” kata Tjing Lok. Bu Koso dan Pak Koso tersenyum sambil mengucapkan syukur.
Baca juga: Mimpi Aneh Sebelum Demonstrasi
”Kamsia, kamsia, Om. Truk Om sudah mengantar kami ke sini semalam setelah melewati perjalanan yang sungguh sangat jauh,” kata Bu Koso. Setelah mengucap itu, Bu Koso, Pak Koso, dan 15 pengiringnya pelan-pelan dipecah cahaya, mengabur, dan raib dari pandangan. Tjing Lok terperanjat dan lantas berteriak. ”Jangan pergi dulu. Ayo kita minum teh. Sembahyang syukur bahwa Thian sudah memberi kalian kehidupan panjang. Jangan pergi dulu Bu Koso!”
Sejak hari itu, istri Tjing Lok mendapat kesibukan yang sangat meresahkan. Dan, pada hari-hari selanjutnya ia selalu menyuruh suaminya agar tidak lupa minum obat benzodiazepine, carbatrol, lithium, volpromide, olanzapine. Agar jiwanya sekali waktu bebas dari guncangan.
Auditorium sekonyong senyap meski kemudian pelan-pelan suara tepuk tangan menggema. ”Kau tadi janji, akan ada satu cerita lagi. Sekalian saja, apa salahnya!” Teriak salah seorang penonton. Baldasar tidak menolak. Setelah sedikit mengatur gestur, Baldasar kembali melanjutkan tutur.
Jangan pergi dulu. Ayo kita minum teh. Sembahyang syukur bahwa Thian sudah memberi kalian kehidupan panjang.
Tjing Lok memang sudah separuh sakit jiwa. Karena itu, usaha truknya lantas dikelola oleh istrinya. Oleh karena situasi ekonomi pascakudeta tidak bagus, beberapa truk Tjing Lok dijual, sampai akhirnya tinggal satu. Sebungkah truk tua yang setiap hari terengah-engah mengangkut palawija dari desa ke desa.
Menjelang tahun 1968, pemerintah Indosana menerima pampasan perang dari Jepang. Pampasan itu diwujudkan dalam bentuk pabrik kertas di sekitar desa Sukonatar. Dan untuk kebutuhan mengangkut bambu sebagai bahan kertas, didatangkan 15 truk baru yang alangkah bagusnya. Tapi, lantaran semua hutan bambu belum masanya ditebang, maka truk-truk itu berminggu-minggu menganggur. Karena menganggur, truk pemerintah itu lantas disewakan kepada warga desa dan kota dengan harga yang sangat murah! Tjing Lok pun, sang pemilik truk tua, bangkrut. Krut!
Penonton kembali menjadi tegang. ”Mati dah, Koh Tjing Lok! Kasian. Kasian,” kata seseorang di auditorium.
Tidak. Tjing Lok tidak mati. Ia yang semula setengah gila, mendadak waras! Pada suatu siang, ia mengambil kunci truknya. Ia kendarai truk itu menuju kantor pabrik kertas. Sesampai di halaman kantor pabrik, Tjing Lok turun. Ia lantas berteriak. ”Kosongkan seluruh isi kantor! Kunyuk!” Orang-orang seisi kantor itu terkejut dan lari berhamburan. Tjing Lok duduk lagi di belakang kemudi. Lalu dengan sekuat tenaga truk itu digas, suaranya meraung-raung, untuk kemudian melaju dan lantas melesat ke langit. Dari ketinggian, Tjing Lok dengan gesit menukikkan truknya persis ke arah gedung kantor. Truk pun meluncur laksana bom atom. Gumpalan api setinggi gunung membakar dan meluluhkan segala yang ada.
Baca juga: Aldrich dan Mimpinya Menjadi Wordsmith
Tepuk tangan membahana di auditorium. Baldasar disalami banyak orang. Sebagian berpotret-potretan. ”Saya hanya seorang pelukis yang ingin bercerita. Saya bukan monodramator,” katanya.
Sekeluar dari gedung pertunjukan Baldasar disapa aparat keamanan negara. Satu jam kemudian, Baldasar sudah duduk di ruang interogasi.
”Saudara menjelek-jelekkan pemerintah, dengan menceritakan masa lalu yang kebenarannya belum tentu,” kata interogator.
”Itu cerita tentang paman sahabat saya, Pak. Lagi pula, itu peristiwa sebelum 1968. Sekarang sudah tahun 1998. Jadi sudah 30 tahun lalu. Mengapa masih dianggap menjelek-jelekkan pemerintah?”
”Tapi, Saudara, kan, tahu, rentang waktu 30 tahun ini masih era kekuasaan Orde Kami. Saudara membuka keburukan politik negara. Monodrama saudara mengusik pikiran masyarakat, dan mengganggu stabilitas yang sudah dinikmati rakyat.”
Sejak hari itu, Baldasar meringkuk di ruang tahanan. Berbulan-bulan. Selama di dalam sel, Baldasar mencipta banyak lukisan pesanan pejabat pemerintah dengan imbalan kebebasan. ***
Baca juga: Lelaki yang Setiap Hari Memesan Mimpi
Catatan :
Ora wedi kerah = tidak takut berkelahi.
Thian = Yang Maha Kuasa.
Kamsia = terima kasih. Bahasa Tionghoa Hokian.
***
Agus Dermawan T, Penulis buku-buku budaya dan seni rupa. Kumpulan cerpennya, Odong-odong Negeri Sulap, masuk dalam Lima Besar Buku Terbaik Kumpulan Cerpen versi Kemendikbudristek 2023. Salah satu cerpennya terpilih sebagai 20 cerpen terbaik versi Kompas 2022.