Buaian Rahim Patriarki
Nak, aku telah gagal. Gagal sebagai bapak. Aku tidak pernah tau seberapa rasa sakit yang telah kau pendam dari semenjak kepergian istriku sepuluh tahun lalu.
”Kembalikan saja jasadku kepada ibu. Ibu Pertiwi. Biarkan angin membawa nafasku kepada bapak. Angkasa yang perkasa. Leburkan jiwaku bersama saudara empat, Catur Sanak. Lalu tinggalkan saja bekasnya, dalam lautan panas ether.”
Kau takkan merasa sedih bukan? Karena tugasku untuk mengantarmu ke pelaminan sudah selesai beberapa tahun silam. Kau, anak perempuanku satu-satunya. Tumbuh dewasa dalam keterpaksaan tanpa ibu yang sudah lebih dulu pergi.
Sepertinya dalam tawamu, kau menyembunyikan segala-gala air mata. Yang bahkan aku sendiri tidak mengetahuinya. Saat ibumu pergi, kau tidak memberiku sedikit ruang untuk melupakannya.
Kau sangat takut aku menikah lagi sehingga kau akan memiliki ibu sambung. Mungkin ketakutan kecil itu kau dapat dari menonton Cinderella yang diperbudak itu. Sungguh alasan konyol bukan?
Tetapi pada akhirnya pun, aku sama sekali tidak berhasil menikah lagi karena kau menghalang-halangi aku dengan berbagai upaya.
Nak, aku telah gagal. Gagal sebagai bapak. Aku tidak pernah tau seberapa rasa sakit yang telah kau pendam dari semenjak kepergian istriku sepuluh tahun lalu. Aku kira kau biasa saja. Sikapmu biasa, bahkan masih bisa tertawa saat jenazah itu tiba di rumah duka kita.
Setelah itu, aku memaksamu untuk menikah muda setamat kau sarjana. Meski itu bertolak belakang dengan keinginanmu yang sangat ingin melanjutkan pendidikan agar mendapat gelar magister.
Lagi-lagi kau hanya menurut, tak banyak membantah mauku. Saat itu aku hanya berpikir, dengan memintamu segera menikah akan ada orang lain yang memanggul beban pudakku untuk menafkahimu.
”Aku… hanya bapak yang pengecut.”
Nak, sebenarnya aku bangga. Kau menamatkan pendidikan tepat waktu dengan nilai yang amat sangat baik. Namun aku ini laki-laki. Aku tak bisa sembarang mengungkapkan isi hati.
”Kau tau? Ego seorang laki-laki itu tinggi.”
Mereka tak bisa mudah memperlihatkan perasaannya. Aku terlahir dari rahim patriarki, yang menuntut kaum kami tidak boleh menangis. Patriarki yang ternyata semakin membuat kami, para laki-laki menjadi keras hati.
”Ya, kau harus sadari itu.”
Sekalipun sebenarnya laki-laki seperti aku akan lebih rapuh saat sendirian. Sejujurnya aku tak bisa hidup tanpa ibumu. Aku mengandalkan seluruh hidupku pada hidupnya.
Ibumu meski saat sedang sakit, tetap menjalankan tugas rumah. Bahkan tetap pergi keluar meski tertatih. Hanya untuk sekedar membayar tagihan listrik dan air. Sementara aku tetap asyik duduk di teras membaca koran sambil menenggak kopi yang dia buatkan untukku.
Aku tak pernah melakukan tugas apapun selama berumah tangga dengannya. Ataupun berterimakasih. Karena bagiku toh sudah seharusnya demikian.
Sudah kodrat perempun untuk mencuci, memasak, mengurus anak, menyapu, dan lain-lain. Sebagaimana contoh dari kedua orang tuaku dulu.
Dulu, ibuku lah yang sepenuhnya mengurus aku. Kemudian aku beristri maka sesuai adab yang usang itu, istrikulah yang melakukan segalanya. Tugasku hanya mencari uang sebagai seorang karyawan yang gajinya pun tak seberapa.
Gaji itu selalu aku habiskan sendiri entah bagaimana. Hingga ibumu juga harus ikut bekerja dengan menjual gorengan ke warung-warung untuk menutup biaya bulanan.
Sepulang bekerja, aku sibukkan diri bermain judi bersama teman-teman.
Aku tak pernah jadi dewasa. Tak pernah ingat untuk menciummu saat kau masih kanak-kanak dulu. Tak pernah pulang. Tak pernah tahu tumbuh kembangmu.
Tiba-tiba saja kau sudah besar, tanpa sosokku sebagai seorang bapak.
Namun tentu saja egoku sebagai seorang laki-laki, menganggap kau tetaplah harus merawat aku nanti ketika tua. Sebagaimana adab itu, kau adalah investasiku satu-satunya. Investasi yang tidak terpelihara.
Suatu hari kau yang sudah remaja bertanya padaku.
”Bapak, bagaimana ritual menanam ari-ari menurut ajaran leluhur kita? Aku mendapat tugas dari sekolah.” Saat itu sejujurnya aku sangat malu, Nak.
Aku malu karena aku tak tahu harus menjawab apa.
Aku tak pernah menanam ari-arimu dulu. Aku bahkan tidak tahu siapa yang membantu melakukannya. Maka aku hanya bisa bersuara keras, membentakmu untuk segera pergi dari hadapanku.
Ketahuilah! Pada saat ibu melahirkanmu, dia sendirian. Menumpang angkot dengan perut besarnya. Pergi ke rumah sakit tempat bersalin. Aku tak mengantar, tak juga menunggunya. Aku beralasan pergi bekerja.
Padahal sesungguh, aku hanya malas saja. Aku merasa memang kewajiban istrilah yang melahirkan anak dengan selamat. Tak juga aku perlu berterimakasih kepadanya karena sembilan bulan mengandung lalu melahirkan kamu.
Sebenarnya aku agak kecewa dia tidak memberiku anak laki-laki. Sehingga saudara yang lain menggunjingkan hal ini. Adab kita menganggap melahirkan bayi laki-laki adalah kebanggaan. Sementara bayi perempuan hanya penyusah beban hidup.
Dan pada akhirnya begitulah, aku tidak sadar telah setua ini. Sekarang aku hanya punya belas kasihan darimu agar sudi merawatku. Belas kasihan dari seorang anak perempuan.
Sepertinya sorot matamu waktu itu, kau sama sekali tidak berniat menatap wajahku yang renta ini.
”Aku sangat takut, Nak!”
Takut kau akan menyia-nyiakan aku, seperti yang dulu aku lakukan.
Tapi tentu saja, aku punya cara. Egoku lagi-lagi berteriak dengan lantang, memekikkan kata ”Anak durhaka!” yang sebenarnya pastilah sangat menyakiti hatimu. Yang sebenarnya akulah yang durhaka kepadamu.
Pada akhirnya aku lega, kau menerimaku untuk tinggal di rumah ini bersama suamimu. Meski aku lihat raut wajahmu tampak tak senang. Tentu saja kau takkan senang melihat orang tua yang tidak berguna seperti aku.
Kau dengan sinis melihat tangan keriputku yang bergetar. Menenteng tongkat untuk berjalan. Dalam benakmu pastilah ingatan itu muncul kembali. Bahwa tangan keriput ini yang dulu sering memukul ibu hingga lebam.
Hari-hari masa kecilmu, tak pernah diisi dengan mendengar senandung tidur dari bibirku. Melainkan diisi suara isak tangis dan mengiba dari ibu yang memohon ampun agar tidak kupukul lagi.
”Nak, syukurlah kau tidak mendapatkan pendamping hidup seperti aku. Aku pun telah gagal menjaga anak perempuan dari mertuaku.”
Beberapa hari belakangan dada kiriku terasa sakit. Diikuti kepala yang berdenyut-denyut ingin meledak rasanya. Aku memaksamu dengan keras untuk membawaku ke dokter. Sekalipun kau mengatakan, usahamu sedang sepi dan kau sedang butuh uang untuk biaya sekolah dua orang anakmu.
Lagi-lagi kata-kata itu terlontar dariku. ”Anak durhaka!” Hingga akhirnya suamimu mengantarku ke dokter spesialis jantung dan membayar semua obat-obatan yang mahal.
Meski aku sempat melihat isi dompet suamimu tinggal selembar uang kertas berwarna biru, karena habis untuk membelikanku obat-obatan untuk jantung. Tetapi sesampai di rumah, obat itu tak kunjung kuminum.
Aku sengaja. Hal ini untuk menarik perhatianmu agar mau membujukku minum obat. Dan membelikanku hal macam-macam yang aku mau. Tapi kau tak juga melakukannya. Kau acuh saat melihat kaplet obat yang sudah dua minggu tidak aku sentuh.
Aku merajuk, merengek seperti anak kecil tanpa tahu malu kepada suamimu. Agar kalian mengantarku berjalan-jalan.
Aku sangat bosan di rumah sendirian. Kalian terlalu sibuk bekerja, dan cucu-cucuku sibuk dengan kegiatannya di sekolah.
Saat aku kesepian tidak ada teman bercakap, entah kenapa timbul niatku untuk membuat pertengkaran kecil dengan kalian. Aku tak tahu bahwa ternyata itu sangat mengganggu pikiranmu.
Suatu malam, aku bermimpi. Aku tak bisa menjelaskan apakah ini mimpi buruk atau mimpi indah. Aku melihat seluruh kisah hidupku sendiri. Dari semenjak dilahirkan, hingga aku setua ini.
Pikiranku baru menangkap, ternyata aku dulu begitu sangat dimanja. Orang tua selalu menuruti kemauanku. Mereka memang terlalu banyak memiliki anak-anak, tetapi hanya aku yang laki-laki dari sembilan bersaudara itu.
Ternyata aku dibesarkan dalam pengagungan yang tinggi akan status seorang laki-laki. Keluarga itu miskin dengan pola pikir yang juga miskin. Membuatku tak sadar, bahwa ternyata selama ini aku sama sekali tak bisa melakukan apa-apa. Selain hanya meminta dan harus dituruti.
Aku melihat kembali segala perlakuanku kepada ibu dan dirimu. Aku tidak pantas kau sebut bapak. Aku bukan bapak yang siap menerima tanggung jawab sebagai orang tua. Dan kini aku menyesal dengan semua itu. Waktu tak dapat kuputar kembali untuk memperbaiki semua.
Dalam mimpi itu, aku berkali-kali menyaksikan dirimu menangis di kamar sendirian. Memendam bertahun-tahun betapa bencinya kau padaku. Aku ingat, tak sekali pun aku meminta maaf padamu. Egoku tak membiarkannya melakukan itu.
Malam ini aku sadar semua kesalahanku padamu. Esok pagi saat aku melihatmu menyiapkan sarapan untuk keluarga, aku akan ke dapur. Meminta maaf setulusnya sebisaku.
Kau tak usah memaksakan diri memaafkan aku. Tapi dengan meminta maaf, setidaknya akan sedikit meringankan perasaan mengganjal dalam hatiku. Rasa bersalah yang entah bagaimana menebusnya.
Pagi ini aku terbangun. Aroma telur yang kau goreng mengorek-ngorek hidungku. Aku bergegas bangun menuju dapur. Dari sana aku bisa melihat suasana rumah sedang sepi. Hanya ada kamu yang tampak asyik menyiapkan sarapan tanpa memperdulikan kedatanganku.
Jam dinding masih menunjukan pukul enam pagi, dan itu artinya suami dan cucu-cucuku sedang berjalan-jalan keliling kompleks.
Ini kesempatan bagus! Aku bisa berbicara denganmu dari hati ke hati. Bicara sebagai seorang bapak dan anak, yang sama sekali tidak pernah kita lakukan.
”Ratna…” suaraku tiba-tiba tercekat. Ada rasa sakit seperti terhujam belati di dada kiriku. Kau memandangku tanpa ekspresi. Tubuhku jatuh tersungkur tepat di bawah kakimu.
Baca juga: Drs.Mandaram
Dengan sisa-sisa kekuatan, aku mendongakkan kepala. Mengulurkan tangan berharap anak gadisku membantuku berdiri. Menolongku, atau melakukan apa saja untuk menyelamatkan nyawaku.
Tapi wajahmu dingin. Kau hanya diam menatapku menggelepar dalam rasa sakit.
Tiba-tiba gambaran itu kembali teringat.
Gambaran dua puluh lima tahun lalu saat kau masih berusia lima tahun. Kau tidak sengaja terpeleset. Gadis kecilku menangis tersedu-sedu mengulurkan tangannya kepadaku. Berharap aku menggendong menolongnya.
Tetapi saat itu pikiranku sedang sangat kosong, karena baru saja kalah bertaruh judi. Hingga yang aku lakukan hanyalah memandangmu saja. Tak bergeming. Persis seperti tatapanmu sekarang padaku. Dingin tanpa perasaan.
Nafasku sudah semenit lalu terhenti. Jiwaku melolong memohon ampun padamu. Namun semua terlambat. Dalam gelap ini, kau tak bisa mendengar aku mengiba.
”Ratna, inikah hukumanmu?!”
”Kembalikan saja jasadku kepada ibu. Ibu Pertiwi. Biarkan angin membawa nafasku kepada bapak. Angkasa yang perkasa. Leburkan jiwaku bersama saudara empat, Catur Sanak. Lalu tinggalkan saja bekasnya, dalam lautan panas ether.”
Setelah itu, barulah kau akan bahagia, karena telah benar-benar kehilangan aku. ”Ratna, selamat tinggal. Maafkan bapak.”
Bali, 22 Juli 2023
***
Ni Wayan Wijayanti,lahir di kota seni Gianyar-Bali pada 30 April. Menulis cerpen adalah hobinya sejak masih anak-anak. Cerpen karya-karyanya telah beberapa kali dimuat di berbagai media seperti Kompas, Ceritanet, Indonesiana.Id, dan Cerano. Saat ini aktif sebagai seorang SEO Content Writer untuk beberapa media dan sales marketing di salah satu penginapan wilayah Ubud.