Drs. Mandaram
Ada tulisan spidol hitam di pojok kardus itu: Pro Bapak Drs. Mandaram, MM. Dari sudut yang robek itu Pak Man melihat susunan rapi uang kertas pecahan seratus ribu.
Fitri, putri bungsu Pak Man, menyambutnya di pintu pagar sepulang dari salat Magrib dari Masjid Al-Amin tak jauh dari rumahnya.
”Ada tamu laki-laki.”
”Siapa?”
”Ntauk.Mama juga nggak tau.”
Hati-hati, Pak Man berdiri, menangkupkan kedua tangannya mengarah ke ustad dan keluar masjid mengikuti langkah Fitri yang berjalan seperti menari balet.Gadis kecil yang baru duduk di kelas empat SD itu gembira kalau ayahnya cepat pulang dari masjid, karena itu berarti makan malam segera dimulai.Biasanya, tiap Selasa, makan malam malah diundur sehabis salat Isya, setelah ayah pulang dari masjid.
Tidak ada tamu ketika Pak Man sampai di rumah yang cuma berjarak dua ratus meter dari masjid.
”Sudah pergi,” kata Marlini istrinya.
”Siapa?Urusan apa?”
”Tuh, di atas meja tamu,” jelas Marlini sambil menghidupkan lampu ruang tamu yang tadinya sengaja dimatikan setelah tamu itu pergi.
Di atas meja bundar itu teronggok sebuah kardus bekas mi instan yang sebagian kecil di atasnya sudah terbuka sedikit seperti habis dirobek paksa. Ada tulisan spidol hitam di pojok kardus itu: Pro Bapak Drs. Mandaram, MM. Dari sudut yang robek itu Pak Man melihat susunan rapi uang kertas pecahan seratus ribu. Darahnya tersirap. Dadanya bergemuruh.Pak Man berkeringat dan terduduk tanpa berkata apa-apa.Marlini berbuat hal yang sama.Duduk terhenyak di samping suaminya.Sementara Fitri sudah siap menunggu aba-aba makan malam. Mengambil piring dan mengisi gelasnya sendiri.
”Jangan-jangan ini jebakan,” gumam Pak Man. ”Siapa yang robek tadi?”
”Saya ingat peristiwa OTT Pak Markum. Makanya saya larang Fitri membukanya. Tuh, sudah terlanjur dirobeknya.Biasa, anak-anak punya rasa ingin tahu yang besar.”
”Fitri, sini! Jangan ganggu-ganggu kardus ini, ya.Mari kita makan. Oke?”
”Sip, Papa,” Fitri mengacungkan ibu jarinya.
**
Sejak dua tahun belakangan, Pak Man—begitu koleganya memanggil—menjadi jamaah tetap Masjid Al-Amin di tengah kompleks perumahan itu. Di masjid itulah Pak Man tiap Magrib dan Subuh salat berjamaah sambil mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memanggil anak laki-laki satu-satunya, Firman, akibat kecelakaan motor.Andai saja Firman masih hidup, tentulah sekarang sudah duduk di kelas tiga SMA.
Waktu itu, istrinya mendesak agar Firman dibelikan motor untuk ke sekolah.Selain SMA tempat Firman sekolah itu jauh, teman-temannya pada sudah dibelikan motor oleh orangtua masing-masing.Angkutan umum menuju sekolah itu tidak memadai dan kalau pun ada angkot, sopirnya ugal-ugalan.Begitu bunyi rayuan istrinya kepada Pak Man.
Meski Pak Man menjadi wakil kepala sekolah sebuah SMA Negeri, ia sengaja memasukkan Firman di SMA Negeri favorit atas bantuan teman sejawat sesama guru. Pak Man juga sudah banyak membantu teman sejawat atau bukan teman sejawat dalam hal utak-atik nilai rapor.Seperti halnya motor yang telah mencelakakan Firman itu hingga tewas didapatkan Pak Man dari jasa merekayasa rapor seorang lulusan anak orang kaya agar yang bersangkutan dapat diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur mandiri.
Berbulan-bulan Pak Man dan Marlini istrinya terpukul akibat kematian Firman.Sebagai seorang ibu yang telah melahirkan Firman, tumpahan rasa sesal Marlini selalu saja mengiris hati Pak Man.
”Akibat menerima suap, anak kita yang jadi korban.Sudahlah, Pa. Jangan lagi ya Pa.”
”Aku tidak minta, tapi dikasi.Masa, keikhlasan orang memberi, ditolak?”
”Kita juga berharap diberi bukan?”
”Saling memberi itu ’kan…”
”Dengan menyalahgunakan jabatan?”
Putri sulung Pak Man yang kini sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi terkenal juga masuk melalui jalur mandiri dan dengan sejumlah uang sumbangan yang besar. Silvia, putri Pak Man yang ingin jadi dokter itu tidak lulus ujian tulis SBMPTN.Gaji dan tunjangan Pak Man sebagai Wakil Kepala Sekolah tidak cukup untuk membiayai kuliah Silvia kalau bukan karena jasa rekayasa buku rapor juga. Tentu saja buku rapor Silvia juga telah direkayasa dengan mantap oleh ayahnya untuk salah satu syarat masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur mandiri.
**
Fitri melaksanakan ritual makan malamnya dengan lahap. Pak Man mengunyah makanannya hati-hati seperti tidak ingin terdengar oleh siapa pun. Ia pasang telinga kalau-kalau ada suara yang mengindikasikan ada tamu di teras rumahnya. Sementara, istrinya makan dengan gelisah membayangkan beberapa orang laki-laki masuk rumahnya membawa borgol, lalu menangkap suaminya dan membawanya pergi. Itulah peristiwa OTT, operasi tangkap tangan oleh petugas KPK atas tuduhan menerima sekardus mi instan uang haram yang jumlahnya entah berapa yang kini tergeletak di atas meja tamu yang lampunya dimatikan.
**
”Tentu papa tahu siapa orangnya,” Marlini memecah keheningan malam.
Pak Man diam saja. Ia sedang membayangkan sosok seorang teman yang sekitar tiga puluh tahun silam merupakan teman sebangkunya di SMA. Malah sama-sama bercita-cita menjadi anggota angkatan bersenjata alias ABRI waktu itu.Tahap pertama, tes awal, Mandaram dan John Ghattabana lulus.Untuk tahap selanjutnya, konon John lulus, tapi Mandaram tidak. Dengar-dengar, waktu itu John harus bayar sepuluh juta rupiah.Bagi orang tua John Ghattabana uang sejumlah itu secuil karena orangtuanya kaya. Mandaram tidak mungkin dapat mencarikan uang sebanyak itu. Ayahnya sudah lama meninggal.Ayahnya tewas dalam suatu pertempuran melawan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).Waktu itu, ayah Mandaram adalah tentara PRRI yang memberontak terhadap pemerintah yang konon saat itu tidak mau memberikan otonomi daerah.Sejak kematian ayahnya, Mandaram ingin sekali menjadi salah satu anggota angkatan bersenjata untuk membela harga diri ayahnya.
Awal tahun ini, sekitar tujuh bulan lalu, Pak Man mendapat kabar dari teman-teman bahwaJohn Ghattabana yang kini telah berpangkat perwira menengah pindah ke kota ini. Dengar-dengar, sebentar lagi bakal naik pangkat menjadi Brigjen. Pak Man belum pernah bertemu dia.Cuma saja, minggu lalu, seorang lelaki gagah yang mengaku teman dekat John datang menemui Pak Man. Pertemuan yang sangat ramah, sopan dan penuh basa basi.
”Saya pasti menemukan orang yang paling tepat sesuai saran Pak John,” kata orang itu. ”Saya tahu betul Pak John teman dekan Pak Man.”
”Lantas, apa yang dapat saya bantu?”
”Saya perlu bantuan Pak Man, sedikit saja. Ini,” katanya sambil mengeluarkan rapor lusuh dari tas kulit kecilnya yang kelihatan mahal. ”Mohon dibantu meluruskan isinya karena akan digunakan untuk keperluan anak bangsa, ha ha..” ujarnya ringan dan bersahabat sekali.
Pak Man terpana, hampir lupa membalas senyuman simpatik lelaki itu.
Ia bersalaman komando, sambil mengangguk dan hormat militer, lalu pergi meninggalkan kantor sekolah Pak Man.Mobilnya begitu cepat pergi sehingga Pak Man lupa melihat nomor polisi mobil sedan hitam itu. Pak Man kembali ke meja kerjanya dan membuka rapor itu. Di dalamnya ada secarik kertas dan selembar kartu nama lengkap dengan nomor telepon dan e-mail.
Rapor itu berasal dari sebuah SMA di sebuah kota di Pulau Jawa atas nama Yung Tiluang. Pak Man belum tahu persis mau diapakan rapor itu. Pak Man yakin betul, yang mengantarkan uang sekardus mi instan itu adalah lelaki atau utusannya yang tak sempat mengenalkan namanya kecuali mengaku sahabat dekat John Ghattabana.
Hingga larut malam Pak Man duduk di teras rumahnya yang gelap karena lampunya dimatikan sambil merenungkan apa saja yang terpikirkan olehnya.Terbayang olehnya jika saja uang itu cukup untuk membeli mobil dan dia segera berhenti mengendarai sepeda motor ke sekolah.Atau cukup didepositokan saja dan bunganya bisa untuk menutupi biaya kuliah Silvia di Fakultas Kedokteran. Atau uang itu diserahkan saja kepada polisi?
”Ah, tidak. Orang yang memberi uang itu pasti bukan orang miskin,” bisik hatinya.
Begitu pun Marlini resah membolak-balikkan badannya di atas ranjang tanpa sepicing pun mata terlelapkan.Terbayang olehnya sebentar lagi Silvia akan minta uang bulanan dan bayaran ini dan itu. Suami istri itu akhirnya melakukan salat Tahajud di tengah malam itu berdua untuk menenangkan hati masing-masing.
**
Ketika pagi itu Pak Man mau berangkat ke sekolah, ia tidak melihat lagi kardus mi instan itu di meja ruang tamu. Mungkin sudah disimpan Marlini, pikir Pak Man jernih sekali pagi itu.Setelah Pak Man hilang di tikungan bersama sepeda motornya, Marlini tidak melihat lagi kardus mi instan di meja ruang tamu itu.Mungkin sudah dibawa papa Fitri ke bank, pikir Marlini jernih sekali pagi itu.Sementara, Fitri tidak peduli dengan benda itu.Ia terus saja berjalan seperti menari-nari, seperti apa yang sering ditontonnya di Youtube, menuju sekolahnya tak seberapa jauh dari rumahnya.
Esoknya, hari Minggu pagi, sekembali dari olah raga jalan kaki, Pak Man menanyakan uang dalam kardus mi instan itu kepada istrinya.
”Papa bercanda, ah.”
”Tidak, papa serius. Sudah kamu simpan bukan?”
Marlini terbelalak, ”Wah, bagaimana ini.Justru saya menyangka Papa yang bawa kardus itu kemarin ke bank untuk disimpan.Ya, ’kan?”
”Tidak! Sekali-kali tidak.Ada apa ini? Betul bukan kamu yang menyimpan?”
”Demi Allah!” Marlini tersedak.
”Fitri…! Sini!”
”Ada apa ayah? Bunda?”
”Kamu yang menyimpan kardus berisi uang itu?”
Firi menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Papa ’kan sudah larang Fitri menyentuhnya lagi malam itu.Mengapa Fitri yang dituduh menyimpan?”
”Betul, bukan kamu yang simpan, Nak?”
Fitri mengangguk-angguk sambil menatap kedua orangtuanya itu.Bola mata gadis cilik itu berkaca-kaca. Tampaknya dia mengerti bahwa kedua orangtuanya sedang bertengkar perkara uang pemberian orang kepada papanya.Ia khawatir, kalau-kalau pertengkaran itu membawa perceraian ayah dan ibunya seperti cerita-cerita yang didengarnya dari teman-temannya di sekolah.
**
Baca juga: Bukit yang Tidak Selesai Dibangun
Pak Man makin merasa tertekan, bila melihat rapor jelek atas nama Yung Tiluang itu di mejanya.Karena, sewaktu-waktu, lelaki ramah itu tentu akan datang menjemput rapor yang sudah dibersihkan oleh rekayasa Pak Man atas kerja sama Kepala Sekolah.Hingga hari ini, Pak Man belum juga membersihkannya.Malah dia berniat akan menolaknya.Oleh karena itu, rapor jelek itu disimpannya jauh-jauh.
Pak Man juga tidak bisa menghilangkan rasa curiganya pada Marlini istrinya.Tidak ada orang lain di rumah itu dan tidak mungkin ada orang lain yang masuk mencuri kardus itu. Bisa saja Marlini membuang atau menguburkan kardus itu karena trauma dengan kematian Firman, putra satu-satunya keluarga itu. Setidaknya, begitu lintasan pikiran Pak Man.
Padang, 2017-2023
***
Harris Effendi Thahar,lahir di Tembilahan, Riau, 4 Januari 1950. Tinggal dan bekerja di Padang sebagai Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Padang. Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat 2007-2010. Terus menulis cerpen atas anjuran tiga orang anaknya yang kini menghadiahinya tujuh cucu, agar tidak cepat pikun.