Benda dalam Tas Rajutan Rosa
”Kamu tidak percaya? Dia tetanggaku. Namanya Rosa. Dia terkenal sangat...”
Bus melaju dengan muram. Suara tarikan gasnya terdengar seperti batuk pria tua. Asap hitam mengepul dari knalpot setiap tarikan gas memaksanya melaju lebih cepat. Di dalam bus wajah para penumpang terlihat lelah. Mereka baru saja menempuh perjalanan lintas pulau yang sangat melelahkan dengan bus tua yang setiap mesinnya terlalu panas akan mogok. Mereka terlambat lima jam dari waktu yang diperkirakan.
Para penumpang terlihat mengantuk. Seseorang bahkan tertidur nyenyak dengan wajah menengadah dan mulut menganga. Air liur menetes di sela mulutnya. Lalu begitu bus berbelok menuju gapura yang bertuliskan Terminal Mandalika, seseorang lainnya tiba-tiba berteriak, membuat orang ini terkejut dan terlempar keluar dari mimpinya.
”Hei... Hei... Berhenti! Saya tidak mau masuk ke dalam. Berhenti!” teriak seorang wanita bertubuh kurus dengan rambut pendek tertutup topi. Bus itu tidak berhenti dan wanita ini kembali berteriak. Seorang pria paruh baya yang duduk di sebelahnya mencoba menenangkannya. ”Nanti bisa keluar lagi. Kita masuk dulu,” kata lelaki itu.
”Tidak mau. Saya mau turun di sini.” Wanita itu berdiri dan menunjuk-nunjuk ke arah jendela. ”Turunkan saya di sini. Sekarang!”
Pria tua yang baru saja terjaga itu menoleh sekilas ke arah pria paruh baya, melihat sekilas ke laki-laki dan wanita bertopi di belakangnya. Wanita itu mengulangi lagi permintaannya.
”Apa bedanya, sih?” bisik seorang gadis kepada kawan seperjalanannya. Mereka duduk tepat di belakang wanita yang kini jadi pusat perhatian.
”Biarkan saja ibu itu, dia agak ...” kata gadis kedua menempelkan jarinya di dahi dan membentuk garis miring.
”Hush tidak boleh ngomong gitu,” kata gadis pertama. Ketika mengatakannya, ia menoleh ke arah wanita bertopi.
”Kamu tidak percaya? Dia tetanggaku. Namanya Rosa. Dia terkenal sangat...”
Rosa meninggalkan kursinya dan berteriak, ”Turun, saya mau turun.” Rosa berlari menuju pintu bus, tak peduli bus itu masih melaju. Sopir bus lantas menginjak rem, membuat Rosa terlempar ke depan. Ia jatuh menelungkup. Setelah mengumpat, Rosa terlihat mencari-cari sesuatu. Matanya tertuju pada sebuah tas rajutan berwarna coklat yang tadi dipegangnya. Segera dipeluknya tas itu seperti seorang ibu muda memeluk bayinya yang baru saja lahir. Begitu bus berhenti dengan sempurna, Rosa berdiri cepat dan berlari turun. Ketika telah berada di luar bus, ia membuka sedikit penutup pada tas rajutannya. Diperiksanya benda di dalam tas seperti seorang ibu memeriksa anaknya yang baru saja jatuh ketika sedang belajar berjalan. Orang-orang melihat dengan penasaran lewat jendela dan berusaha mencari tahu benda apa yang sedang dibawanya, tetapi Rosa segera menutupnya.
”Siapa lagi yang mau turun di sini?” tanya sopir bus kesal.
Tidak ada satu penumpang pun menyahut. Termasuk sepasang gadis yang tadi membicarakan Rosa. Meski keduanya merasa ingin turun di depan terminal agar tidak terlalu jauh berjalan mencari taksi, mereka tidak berani mengatakannya.
***
Keluar dari terminal, dua gadis itu melihat Rosa berada di pangkalan ojek. ”Lihat itu ibu yang tadi, dia belum pergi juga,” kata gadis pertama. Mereka memperhatikan Rosa yang sedang bertukar kata dengan tukang ojek.
”Dulu tidak sampai segitu. Ini mahal sekali,” kata Rosa kepada pria berjaket Honda.
”Memang segitu sekarang bayarannya,” balas pria berjaket Honda.
”Mahal sekali. Saya tidak mau.”
Rosa meninggalkan si jaket Honda menuju pria bertopi kupluk. Pria bertopi kupluk pun menolak mengantar Rosa. Ia tidak terima saat Rosa menunjukkan ongkos ojek yang setara dengan ongkos ojek lima tahun lalu. Rosa tetap teguh dengan pendiriannya, ia hanya mau membayar sejumlah itu. Kedua gadis itu terus saja memperhatikan, berusaha mencuri dengar apa yang Rosa katakan. ”Sini sudah saya antar,” kata pria berkumis tebal. Pria itu duduk di atas di bawah rindang pohon ketapang. Ia merasa kasihan kepada Rosa yang dari tadi tidak dapat ojek. ”Tapi, saya mau bayarnya segini saja, Pak,” kata Rosa menunjukkan lembaran di tangannya. ”Gratis juga tidak apa-apa. Saya mau beramal,” kata si kumis. Ia seharusnya tidak mengatakannya kata-kata yang akan ia sesali beberapa menit kemudian.
”Dia bukan gila. Dia cuma ibu-ibu menyebalkan,” komentar gadis pertama.
”Mungkin,” balas gadis kedua sembari menatap motor Astrea Star tua yang mengantar Rosa entah ke mana.
***
Baca juga: Api di Glodok
”Eh, kenapa lewat sini? Bukan ke sini jalannya,” kata Rosa menepuk pundak si kumis.
”Belok-belok!” perintahnya. Suaranya nyaring melengking.
”Lewat sini lebih cepat Bu,” jelas si kumis
”Tidak. Saya tidak mau. Kamu mau culik saya? Belok-belok! Kembali!” Rosa terus saja berteriak sambil menepuk pundak si kumis. Dan, pria berkumis tebal itu terus saja mengacuhkannya.
Jalan itu adalah jalan satu arah yang dipisahkan oleh trotoar, yang mana masih jauh untuk memutar jika ingin kembali. Rosa semakin keras memukul pundak si kumis. Semakin keras juga ia berteriak dan mengata-ngatai si kumis. Akhirnya si kumis menyerah dan kembali memutar di perempatan pertama yang ia temukan karena takut ada yang salah paham setelah mendengarkan teriakan Rosa. Terpaksa ia mengambil jalan yang lebih jauh, sesuai kemauan Rosa. Setelah itu ia bersumpah tidak akan pernah mau beramal lagi dalam hidupnya.
Rosa tiba di rumah mertuanya ketika matahari telah condong ke barat. Anaknya yang saat itu sedang baca komik di teras, kaget mendengar suara salam yang meluncur dari depan pagar. Ia kenal betul suaranya cempreng itu. Suara itu adalah penanda bahwa akhir pekan yang menyenangkan telah berakhir, dan malam-malam mimpi buruk akan datang.
”Ibu datang sama siapa?”
”Sendiri.”
Ada urusan apa Ibu datang ke Mataram? Hampir saja pertanyaan itu meluncur dari bibir anak itu. Ia cukup sadar untuk tidak menanyakannya. Ia takut menanyakan sesuatu yang akan menyinggung ibunya. Hal terakhir yang akan ia lakukan dalam hidup adalah menyinggung ibunya. Ia tidak ingin dimaki dan disumpahi kurang ajar. Ia takut dikatain anak durhaka dan dikutuk masuk neraka.
”Ibu berapa hari di sini?” tanya anak itu setelah mencium tangan ibunya.
”Belum tahu,” balas Rosa ketus.
Rosa mengecup pipi kiri dan kanan anaknya hingga rasa gatal dan panas menempel di kedua pipi anaknya. Setelah itu Rosa melangkah masuk ke dalam rumah. Kaki mungil itu melangkah kecil dan cepat menuju kamar mertuanya.
”Yoh, kamu ini kok selalu begitu, datang tidak pakai kabar. Sudah saya bilang kalau kamu kangen anakmu telepon saja. Nanti saya suruh Alif ke Sumbawa,” kata wanita tua itu. Ia selalu kesal setiap Rosa datang. Setiap datang, Rosa tidak lupa membawa serta amarahnya, buah pertengkarannya dengan saudaranya atau dengan ibunya atau dengan tetangganya. Kemudian ia akan memaki-maki anaknya sebagai pelampiasan atas setiap gelombang kesal yang meletup-letup dari dadanya. Ia kesal mendengar caci maki yang keluar dari mulut mantan menantunya. Ia juga tidak mau tetangganya sampai ikut mendengarnya.
”Berapa lama kamu di Mataram?”
”Belum tahu, Bu,” balas Rosa dengan senyum yang dipaksakan.
Keluar dari kamar mantan ibu mertuanya, Rosa berjalan menuju kamar belakang. Kamar itu selalu menjadi kamarnya setiap ia menginap di rumah mertuanya.
”Apa itu, Bu?” tanya anak itu melihat tas coklat dari kain rajutan yang dibawa Rosa. Tas coklat itu tidak pernah dilihatnya sebelum ini. Tapi ia tahu pasti kalau isinya bukan oleh-oleh. Telah begitu lama ibunya tidak membawakan oleh-oleh untuknya. Oleh-oleh pertama dan mungkin juga yang terakhir dibawa ibunya adalah sumpah serapah yang meluncur dari mulutnya ketika ia pulang dari Arab Saudi. Ketika itu Rosa mendapati suaminya telah menikah lagi.
Rosa tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia mengeluarkan sebuah radio yang modelnya telah ketinggalan zaman. ”Buat apa radio itu, Bu?” tanya anaknya lagi. Rosa masih tidak menyahut dan menaruh radio itu di meja rias. Dipandangi radio tua itu, dielus-elus, lalu dibersihkan dengan tisu sampai radio itu bersih mengkilat. Meski terlihat tua, radio itu bersih seperti barang baru. ”Radio Ibu rusak. Mau ibu bawa ke Cakra.”
Anak itu terkejut mendengarnya. Dari Sumbawa ke Mataram cuma untuk perbaiki radio? Anak itu bahkan tidak ingat kapan ibunya membeli radio itu. ”Kenapa jauh sekali cuma untuk perbaiki radio? Memangnya di Sumbawa nggak ada?”
”Saya bukan mau perbaiki, saya mau kembaliin. Saya mau tuker. Masak baru lima tahun dipakai sudah rusak.”
***
Aliurridha, pengajar di Universitas Terbuka. Cerpennya berjudul ”Metamorfosa Rosa” masuk dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2021. Dia terpilih sebagai Emerging Writers dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023. Dia tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon.