Api di Glodok
Hampir setiap hari massa berkumpul di depan Gedung DPR/MPR. Mereka menyuarakan suara yang sama, menuntut reformasi dan Soeharto turun.
Usai menata dagangannya, pagi itu Darno mendorong gerobak baksonya dari rumah kontrakan di daerah Kemanggisan Pulo. Udara masih terasa segar dan jalanan belum menjadi macet sepanjang Jalan Palmerah seperti biasa. Meskipun di jalan kendaraan sudah mulai ramai. Saat sampai di mulut gang, Darno bertemu temannya yang tengah berdiri di pinggir jalan. Setelah menyandarkan gerobaknya, Darno menyapa.
”Hari ini kamu enggak jalan, Jo?”
”Ah, enggak berani jualan aku, No,” jawab Bejo. Asap rokok menari di antara mulutnya. Matanya melihat gerobak Darno, dan kemudian menatap Darno yang berdiri di samping gerobak. Suara motor terdengar dari arah jalan.
”Kamu enggak dengar hari ini kabarnya akan ada ontran-ontran?”
”Walah, paling demo-demo seperti biasa. Jualan kita pasti cepat ludes,” Darno menjawab dengan ekspresi wajah yang bersemangat.
”Anak-anak mahasiswa itu pasti cepat kelaparan, pasti kehausan. Dagangan minumanmu pasti habis. Ayolah kita berangkat, Jo!”
Bejo lantas mendekat, menepuk bahu Darno dengan tangan kanannya. Dengan wajah serius dia bicara dengan nada serius.
”Kamu tidak dengar berita? Akan ada perang? Katanya istana mau dikudeta.”
Darno tersenyum. Tapi dia tak menjawab. Dia juga sudah mendengar desas-desus itu. Sejak tertembaknya beberapa mahasiswa Trisakti, suasana menjadi semakin genting. Kini demonstrasi tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa. Rakyat pun mulai marah. Hampir setiap hari massa berkumpul di depan gedung DPR/MPR. Mereka menyuarakan suara yang sama, menuntut reformasi dan Soeharto turun. Sudah hampir seminggu suasana Jakarta memang semakin mencekam. Sesuatu yang tak biasa terjadi, dan udara semakin panas. Hampir di tempat-tempat strategis, seperti Monas, perempatan Harmoni, perempatan Senen, ada tank-tank terparkir di jalan. Personel tentara pun makin rapat menjaga kota. Barikade dan kawat berduri makin bertambah. Banyak kantor yang meliburkan karyawannya. Isu semakin banyak berkembang. Katanya akan terjadi perebutan kekuasan.
Beberapa orang juga mengatakan melihat komet melintas di atas langit istana. Itu saat subuh. Orang-orang menyebut itu sebagai pertanda buruk. Setiap mata yang melihat, seolah merasakan kegelisahan yang mengambang di udara, dan menular pada orang-orang. Seperti sebuah bisul yang setiap waktu akan pecah, rakyat tahu akan terjadi sesuatu yang besar. Tapi, tentu saja Darno tak peduli. Dia tak paham apa itu reformasi. Satu-satunya yang dia pedulikan adalah dagangannya. Dagangannya adalah nasib keluarganya. Dan, demonstrasi para mahasiswa itu membuat dagangannya laris. Sebelumnya, dia hanya bisa menghabiskan bahan dua kilo daging sapi. Tapi, kini setiap hari dia bisa menghabiskan bahan hingga lima kilo. Hasil itu membuatnya senang. Keluarganya di kampung juga akan bahagia. Darno sudah merencanakan pulang kampung setelah tak ada demonstrasi. Jadi, kabar itu tak membuatnya khawatir. Matanya melihat Bejo yang wajahnya tampak gelisah.
”Mending jangan berangkat. Bahaya!” kata Bejo mencoba memperingatkan.
”Ah, udah telanjur bikin nih. Tapi apa hubungannya dengan kita? Biarkan saja mereka yang di atas ribut. Kita yang penting cari duit sebanyak-banyaknya. Ini kesempatan, Jo.”
”Kamu enggak takut lihat tank-tank itu?” Darno tertawa. Bejo mengisap rokoknya.
”Malah akan kutawarin makan bakso mereka,” canda Darno.
”Tentara itu baik, kok,” lanjutnya. ”Mereka bukan musuh kita. Kata mahasiswa, musuh kita adalah KKN.”
Bejo tak bisa mencegah meskipun wajahnya menunjukkan rasa gelisah. Darno kemudian memutuskan menuju Senayan, di Gedung DPR/MPR. Gerobaknya melintasi Pasar Palmerah sebelum kemudian menyeberangi persimpangan rel kereta api. Setelah melawan arah, dia menyusuri kawasan Mandala Wanabakti, kemudian berbelok ke kanan. Begitu sampai di Senayan, dia merasa heran karena di depan gedung tempat wakil rakyat itu sepi dari mahasiswa. Matanya hanya melihat puluhan tentara berbaris rapi di depan pagar. Tapi, dia masih berharap, jadi disandarkannya gerobaknya di dekatnya dan berharap beberapa dari aparat itu membeli baksonya. Namun, setelah satu jam menunggu, tidak ada satu pun di antara mereka yang membeli. Udara mulai gerah. Tubuhnya mulai lengket karena keringat. Karena tak kunjung ada yang membeli, Darno memutuskan berjalan menuju ke arah Benhil melewati pinggir jalan tol.
Pikirannya mulai kalut. Hari ini tidak seperti kemarin. Meskipun suara bising kendaraan masih terdengar, tapi rasanya sangat sepi. Tidak ada hiruk-pikuk demonstrasi. Dalam beberapa waktu yang cepat, semangatnya mulai goyah. Dia mulai memikirkan ucapan Bejo. Jangan-jangan, memang benar yang dikatakan Bejo, pikirnya. Udara terus merambat dan panas. Kakinya mulai terasa pegal. Jarak yang ditempuhnya cukup jauh. Sesampainya di jembatan penyeberangan menuju Benhil, Darno melihat beberapa orang yang bergerombol. Kemudian dia meminta tolong pada mereka menaikkan gerobaknya melewati jembatan itu. Dua orang yang baik lantas menolongnya.
Setelah itu, dia melanjutkan perjalanan ke arah pasar Benhil. Berharap di sana menemukan keramaian dan pembelinya. Harapannya terkabul. Di sana, dia melihat banyak orang berkumpul di depan pasar. Tapi keramaian itu rasanya ganjil baginya. Darno termangu. Belum selesai rasa herannya, matanya melihat toko di depan yang terbakar. Asap tebal membubung ke angkasa. Langit seolah dinodai asap berwarna hitam. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan. Ternyata ada sekelompok orang yang membakar sebuah mobil. Keadaan menjadi kacau. Darmo melihat orang-orang mulai beringas. Darno mencoba bertanya kepada seorang anak muda di sebelahnya.
”Ada apa, Dik?”
”Kita juga bingung, Bang. Tiba tiba saja ada kelompok orang, tapi bukan dari kampung sini, membakar toko milik orang....”
Perasaan Darno bimbang mendengar itu. Dia mulai sadar sudah terjebak dalam situasi yang tak baik. Dia memikirkan dagangannya dan mencoba menghindar dari keributan itu. Tapi tubuhnya justru tak bergerak sama sekali. Tubuhnya hanya berdiri di samping gerobaknya, dan matanya menyaksikan semua yang terjadi. Orang-orang tampak beringas di jalan, berjalan dan berlarian di jalan, di antara rumah, kantor, dan toko. Mereka juga berteriak beringas, dan mulai melempari kaca-kaca toko dan perkantoran.
Darno masih berdiri bingung. Dia melihat sebuah toko material bangunan mulai dibongkar. Isinya dibuang ke jalan raya. Orang-orang berteriak marah dan rasis. Di saat matanya melihat kejadian itu, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dari arah dalam, tepat mengarah pada badan gerobaknya. Di belakangnya tampak banyak orang yang berusaha mengejar. Mobil itu bergerak cepat dan gagap, dan menabrak gerobaknya hingga hancur. Suara benturan keras terdengar bersama teriakan massa yang beringas. Bakso bertebaran di jalan bersama tumpahan kuah di atas aspal. Darno sendiri terpental. Tubuhnya berguling di atas aspal dengan kening berdarah. Wajahnya pucat. Matanya nanar memandang mobil yang terbalik. Sesaat kemudian tampak pria bermata sipit, berusaha keluar dari mobil dengan susah payah. Darno berusaha bangkit ketika dia melihat orang-orang mengejar pria itu dan memukulinya tanpa ampun. Darno sendiri merasa ngeri melihatnya. Lalu, seorang pria berbadan tegap membantunya berdiri. Pria itu berbisik di telinganya.
”Ayo bangun… balaskan dendam, karena gerobakmu sudah dihancurkan. Merekalah yang selama ini sudah merampok kita. Saatnya rakyat mengambil miliknya kembali!”
Baca juga: Ra Tanca
Darno tidak tahu maksudnya, tapi melihat gerobaknya hancur, dia seperti melihat masa depannya sendiri hancur. Harga gerobak tidak murah. Dia harus berutang banyak untuk membelinya. Dia tak tahu harus bagaimana. Kehilangan harapannya, hatinya mulai panas dan marah. Perasaannya dipenuhi kebencian yang tiba-tiba. Tidak saja pada kejadian yang menimpanya, tapi juga pada orang-orang kaya bermata sipit. Orang yang menolongnya itu berkata benar. Dia ingat cara kaum kaya itu bersikap. Mereka biasanya tidak memandang orang kecil seperti dirinya. Lalu, diiringi dengan rasa marah, dia bergabung bersama orang-orang, berjalan di sepanjang jalan sembari melemparkan batu ke kaca-kaca gedung. Mereka berteriak girang setiap kali kaca-kaca hancur. Darno juga ikut membakar mobil dan motor yang terpakir di jalan tanpa peduli milik siapa. Siang itu kota merah menyala oleh api.
Tidak selesai di sana, Darno bersama orang-orang yang tak dikenalnya lain menuju Glodok. Pusat pertokoan elektronik Jakarta. Ketika berada di sana, Darno melihat banyak-barang yang sudah dijarah di sana. Seorang remaja berjalan di depan Darno sedang menggotong TV dua puluh inch sendirian. Sementara di belakangnya empat orang menyeret sebuah lemari es besar. Darno juga mendengar suara-suara yang memberi semangat.
”Ayo ambil semua... barang ini milik rakyat!”
”Habiskan…. Bakar.... Bakar!”
”Hidup Rakyat!”
Suara itu bagi Darno seperti memberinya energi yang besar untuk ikut menjarah barang-barang di dalam gedung. Di antara teriakan yang simpang siur, dia masuk ke dalam gedung yang lampunya masih menyala. Tapi, di lantai dasar dia sudah tak menemukan barang-barang. Semua sudah lenyap. Karena tak mendapatkan barang, Darno bersama beberapa orang memutuskan naik ke lantai dua. Di sana, karena tak juga menemukan barang, Darno naik ke lantai tiga. Tapi lampu tiba-tiba padam, dan orang-orang panik ketika tiba-tiba terdengar orang berteriak kebakaran. Keadaan menjadi semakin kacau dan tak terkendali. Orang-orang berebut turun ke bawah, tetapi mereka kemudian naik ke atas lagi. Ketika asap panas mulai masuk ke dalam ruangan, Darno melihat orang-orang meloncat dari jendela. Dalam kekalutan yang gelap, Darno melihat api menyala merah.
***
Endres Hermawan adalah salah satu warga yang menjadi saksi hidup kerusuhan Mei 1998