Surat untuk Emak
Hidup di kota besar ternyata tak semudah ketika saya memimpikannya dulu, yang bisa dilakukan sambil nongkrong di toilet masjid. Pantas dulu Emak pernah bilang, daripada mengembara tidak jadi apa-apa mending di kampung.
Yth Emak
Mak, apa kabar? Semoga emak sehat. Alhamdulillah sekarang saya sama istri juga sehat. Ya, disehat-sehatkan saja, Mak. Banyak mengeluh juga percuma. Setiap hari dipaksa banting tulang, pulang kerja badan serasa rontok. Maklum, Mak, saya kan hanya lapisan paling bawah dari kehidupan kota besar ini. Mungkin tidak termasuk hitungan siapa pun dan apa pun kecuali pada saat pemilihan umum. Berangkat dari kontrakan berlomba dengan suara kokok ayam, pulang ketika semua orang sudah lelap.
Setiap berangkat kerja diantar istri yang menahan kantuk sehabis mengitari pusat kota setiap malam. Sering kali saat saya pulang, dia sudah tidak ada di rumah. Sama, Mak, mencari tambahan penyambung hidup di kota besar. Mimpinya sih setiap rupiah yang didapat akan ditabung. Siapa tahu suatu hari kelak bisa punya rumah sendiri. Tak apa jauh dari pusat kota pun asal punya rumah sendiri, bisa pulang ke rumah milik sendiri. Tapi namanya hidup ada saja keperluan mendesak, yang menguras tabungan istri saya itu. Sekalipun tak pernah mengeluh, tapi sering membuat saya tak enak hati. Kalau kebetulan ada tambahan penghasilan, saya bayarkan untuk tabungan istri yang terpakai itu. Begitulah kehidupan kami jalani dengan saling memahami atau barangkali dipaksa untuk saling memahami.
Hidup di kota besar ternyata tak semudah ketika saya memimpikannya dulu, yang bisa dilakukan sambil nongkrong di toilet masjid. Pantas saja dulu Emak pernah bilang, daripada mengembara tidak jadi apa-apa mending di kampung sendiri sekalipun kerja serabutan. Tapi dari dulu Emak tahu sendiri, saya tidak biasa kalau diam di rumah tanpa pekerjaan yang jelas. Makanya, Mak, lebih baik alon-alon asal kelakon hidup di kota besar untuk satu mimpi yang bagi kami luar biasa—punya rumah sendiri. Mengembara di kota besar sekalipun tidak jadi apa-apa, saya punya pengalaman yang berharga yang kelak bisa diceritakan pada anak cucu: untuk bertahan hidup harus siap berjuang sampai mati.
Saya hanya buruh kecil di kota besar ini. Hanya remah rengginang dalam pusaran kota besar, yang tak memiliki apa-apa, selain satu suara pada saat pemilihan umum. Hasil dari banting tulang setiap hari, hanya menyisakan lelah di akhir bulan dan rumah tetap saja ngontrak. Rumah itu hanya namanya, Mak, sebab sebenarnya lebih pantas kalau disebut kandang kambing yang sumpek dan sempit. Sebab itulah saya hanya bisa memaklumi ketika untuk menambah penghasilan—syukur-syukur bisa menabung seperti impian kami—istri jualan susu dan daging mentah di Kalijodo. Kata orang, istri saya itu PSK tapi bagi saya tetap saja pahlawan, Mak. Sebab sampai hari ini dia masih tetap sayang dan hormat sama saya, seperti juga hormat dan sayangnya saya pada dia yang tak pernah bisa diukur. Tidak bisa dimungkiri setiap malam istri saya menjual tubuhnya, tapi bukan dirinya. Bukan menjual hatinya. Sebab diri dan hatinya tetap milik saya seutuhnya.
Kalau emak pernah bertemu dengan istri saya dan menanyakan bagaimana bangganya saya, bangga sekali, Mak. Istri saya itu patriot sejati, di dadanya bersemayam jiwa nasionalis. Sebab itulah, istri saya hanya mau melayani lelaki pribumi, pantang mau melayani orang asing. Istri saya juga memahami benar arti Bhinneka Tunggal Ika sekalipun sekolahnya hanya tamat sekolah dasar. Jiwa kebinekaan itu dibuktikan dengan mau melayani lelaki pribumi dari Sabang sampai Merauke, tapi tetap hanya punya satu suami.
Sembah sungkem untukmu, Mak. Saya sekarang bingung sebab istri saya sedang mengandung. Secara de facto tak jelas siapa bapaknya, tapi secara de jure jelas saya suaminya, sebab jelas di mana, dan kapan kami menikah. Kebingungan pertama soal nama, Mak. Saya khawatir kalau dikasih nama terlalu berat, anaknya kelak jadi sakit-sakitan. Kalau dikasih nama sembarang, asal ngasih nama, jangan-jangan anak kami itu calon pemimpin di masa depan. Kemarin ketika menuntaskan hasrat di toilet umum, muncul ide bagaimana kalau diberi nama diawal dengan suku kata ”Har”, sebab sepengetahuan saya nama yang diawali suku kata itu sakti mandraguna. Terpikir bagaimana kalau diberi nama Harmoko. Tapi setelah dipikir-pikir, kok, berbau Orde Baru ya. Di hari lain terpikir mau dikasih nama Harta, dengan harapan semoga saja anak kami kelak punya banyak kekayaan.
Tadi sambil menahan kantuk yang sangat, istri mengusulkan bagaimana kalau jabang bayi ini kelak lahir, beri saja nama Habibie. Tapi terpikir baru saja, Mak, bagaimana kalau anak kami itu kelak otaknya tidak moncer. Masak Habibie, tapi tidak paham matematika. Saya sadar, Mak, otak saya ini kan benar-benar pas-pasan. Pas hanya bisa baca, pas hanya bisa berhitung, selama sekolah benar-benar pas-pasan, setiap ulangan pas untuk nyontek. Saya ralat lagi memberi nama Habibie. Terlalu berat saya pikir. Takut jadi beban untuk anak kami kelak.
Belum selesai memikirkan nama, pikiran saya sudah terpecah lagi. Bagaimana kalau kelak ternyata lahir perempuan? Muncul kemudian ide. Sudahlah kasih saja nama Marsinah. Tokoh perempuan yang punya semangat baja untuk melawan, tak takut mati demi mempertahankan kebenaran. Saya sebagai orangtuanya tentu bangga kalau punya anak perempuan serupa itu.
Lain waktu terpikir kalau anak kami kelak perempuan, akan diberi nama Susi. Emak tentu ingat nama itu tak lain anak kepala desa, satu-satunya perempuan di desa yang terang-terang menyukai saya dan saya juga secara sembunyi-sembunyi menyukainya. Bagi saya, Susi itu sejarah, Mak. Sebab baru sepanjang sejarah di kampung kita ada anak seorang buruh tani yang mencintai anak kepala desa sekalipun secara sembunyi-sembunyi. Sejarah desa kita tentu mencatat siapa sebenarnya yang mengejar-ngejar. Yang jelas bukan saya, Mak, berani sumpah. Tapi Susi yang mengejar-ngejar saya. Suatu hari Susi pernah terus terang, wajah saya ini mirip bintang film kesohor. Lalu dia menyebut satu nama. Sayang waktu itu saya tidak bisa membayangkan seperti apa wajah bintang film kesohor itu, dan mirip sebelah mananya dibanding wajah saya. Susi juga bagi saya penyemangat, sebab dialah satu-satunya perempuan yang membantu saya pergi dari kampung sebab keselamatan saya terganggu dengan ancaman-ancaman hansip. Menamakan putri kami kelak Susi, bagi saya serupa cara yang paling sembunyi untuk memberi jalan pada kenangan.
Itu saja dulu surat dari saya, Mak. Semoga emak tak pernah lupa cara berdoa kepada Tuhan, semoga istri saya nanti melahirkan dengan lancar dan selamat, seperti lancar dan selamatnya istri saya selama melayani laki-laki selama ini. Jangan terlalu dipikirkan tentang apa yang dilakukan istri saya, Mak, sebab di kota besar ini halal dan haram baru sebatas sertifikat.
Salam hormat,
Anakmu.
***
Emak yang selalu saya hormati.
Semoga emak tambah sehat, jangan kayak tetangga saya, Mak, masih muda tapi sudah sakit-sakitan. Katanya sih sewaktu remaja suka jajan, ada juga berita angin kalau sesungguhnya dia itu stres, Mak, ditinggal istrinya minggat gara-gara tak bisa memberi kepuasan. Entah kepuasan apa yang tak bisa dipenuhinya itu. Beruntung saya, Mak, setiap malam istri selalu pulang membawa uang dari hasil jual susu dan daging mentah. Seingat saya belum pernah sekali pun istri saya itu berniat pulang kampung, apalagi minggat gara-gara tidak terpuaskan.
Mak, kemarin istri saya melahirkan, laki-laki, sehat, demikian juga istri saya sehat dan selamat. Kalau diperhatikan bentuk hidungnya, sepertinya enggak jauh beda dengan saya, Mak. Tapi anak kami itu matanya sipit dan dahinya lebar. Ah, siapa tahu kelak bisa jadi Habibie. Senang sekali ketika saya mendengar gurauan suster, katanya anak kami itu calon orang pinter. Sekalipun hanya gurauan, tapi cukup membuat senang saya sebagai orangtuanya. Tapi kebahagiaan itu harus terhenti karena ternyata anak dan istri saya tidak bisa dibawa pulang sebab saya tak bisa melunasi biaya perawatan.
Sungguh bukan sok-sokan membawa istri ke bidan, Mak, tapi saya bingung di kota besar ini ke mana harus mencari dukun beranak. Kata tetangga daripada susah nyari dukun beranak, lebih baik ke bidan saja. Tadinya saya pikir antara bidan dan dukun beranak tidak jauh beda, sama-sama menolong yang akan melahirkan, biayanya bisa dicicil atau dicampur dengan beras dan palawija seperti yang sering saya lihat sewaktu di kampung. Emak masih ingat Ni Rumsiah, dukun beranak di kampung kita, setiap selesai menolong yang melahirkan, pulangnya selalu diberi beras, ayam, kelapa, dan hasil pertanian lainnya sebagai tanda terima kasih, dan jarang sekali dibayar dengan uang.
Setelah anak kami lahir, saya menemui bidan. Aduh, Mak, serasa mendengar petir di siang bolong. Biayanya besar sekali. Sampai hari ini saya belum pernah melihat bagaimana uang sebanyak itu. Saya berusaha memohon kebijakan, dibayar setengahnya dengan harapan bisa mengambil dari uang tabungan istri. Tapi bidan tetap menggeleng, apalagi ketika saya menawarkan jalan keluar, bagaimana kalau dicicil tiap bulan. Bu Bidan malah marah, memangnya tukang kredit katanya. Agar istri bisa cepat dibawa pulang, akhirnya saya memberanikan diri menemui atasan istri saya. Saya malah kena marah, Mak. Memangnya saya ini pengelola panti sosial katanya. Saya masih bingung, Mak, sebab sampai hari ini belum bisa membawa pulang anak dan istri.
Tolong doakan ya, Mak, saya cepat dapat rezeki, supaya bisa membawa pulang anak dan istri, berkumpul di rumah kontrakan untuk saling berbagi cerita. Semoga saja kalaupun terlambat membayar, istri dan anak saya masih bisa dibawa pulang, tidak seperti ngegadai sawah, terlambat bayar sawah kita hilang.
Salam hormat dari saya, Mak.
***
Baca juga: Ingatan Buruk tentang Toko Kelontong
Emak yang selalu saya hormati,
Berkah, Mak, doa kita dikabul Tuhan. Sekalipun shalat sering bolong, tapi doa masih juga dikabulkan. Ceritanya begini, Mak. Waktu saya termenung sepulang dari rumah bidan, datang seorang wanita paruh baya meminta bantuan, menyuruh mengantarkan barang. Barangnya dibungkus kertas koran, seukuran tempat kerupuk. Entah berapa kilo beratnya. Tapi saya pikir anak kecil juga bisa mengangkatnya.
Barang itu diminta dikirimkan ke daerah C, tak terlalu jauh dari tempat praktik bidan. Tentu saja saya mau sebab selain diberi ongkos, juga dapat uang saku dalam amplop. Selesai mengirimkan barang, saya pulang. Baru di rumah ketahuan uang saku dalam amplop itu jumlahnya banyak sekali. Uang seratus ribuan baru, entah berapa jumlahnya, saya tak sempat menghitungnya saat itu keburu shock. Sore itu juga saya kembali ke tempat praktik bidan, menebus anak dan istri. Memang belum lunas seluruhnya, tapi Bu Bidan berbaik hati, sisanya bisa dicicil katanya, tapi jangan dikasih tahu orang lain sebab bisa jadi kebiasaan. Benar juga saya pikir, masak bayar biaya bidan kayak bayar cicilan panci.
Selang seminggu saya ketemu ibu itu lagi. Minta tolong lagi. Kali ini mengantarkan barangnya ke daerah Bogor. Barang yang dikirim juga lebih banyak, dua dus bekas indomi. Seperti biasa, Mak, ongkos dikasih, uang jajan ada, bahkan ketika pulang mengantarkan barang, saya juga dapat amplop. Isinya tentu saja lebih banyak. Baru kali itulah saya sadar, Mak, ternyata kalau sudah rezeki, akhirnya saya bisa menemukan cara mencari uang dengan gampang.
Setelah mengantarkan barang ke Bogor, kami tak pernah bertemu lagi, saya pun kembali kerja di pabrik dan istri menghentikan kegiatan jualan susu dan daging mentah malam hari, sebab harus mengurus anak kami.
Selang sebulan setelah saya menerima gaji, kami bertemu lagi dengan ibu itu tak jauh dari tempat praktik bidan. Saya diminta mengantarkan barang lagi, dan tempatnya lebih jauh lagi. Sebenarnya waktu itu saya mau menolak, sebab kata istri, uang upah mengantar barang ke Bogor saja masih ada sisa. Tapi karena ibu itu terus memohon bantuan dengan sangat, akhirnya saya menerima tawaran itu. Tak tanggung-tanggung, Mak, saya harus mengantarkan barang itu ke Surabaya. Entah barang apa sebenarnya yang harus saya kirimkan tersebut. Keesokan harinya saya mengajukan cuti dari tempat kerja karena mengirim barang ke Surabaya perlu beberapa hari perjalanan.
Tiba waktunya mengirim barang, saya bawa mobil sendiri lengkap dengan sopir. Barang yang akan dikirim juga lebih banyak lagi, berdus-dus bekas indomi. Bahagianya saya waktu itu, Mak, sebab bisa ke Surabaya tempat yang tak pernah ada dalam bayangan untuk dikunjungi, bawa mobil sendiri lengkap dengan sopir, dan tugas saya ringan sekali hanya mengantarkan barang. Tak terbayang pulang dari Surabaya nanti, betapa tebalnya amplop yang akan saya terima. Mengantar barang ke Bogor saja, tidak habis sebulan dipakai belanja keperluan sehari-hari.
Sedang membayangkan akan menerima upah lebih banyak sambil menikmati nyamannya duduk di dalam mobil sendiri, di daerah Tanjungsari kami dicegat polisi, isi mobil diperiksa, dan yang mengherankan kenapa saya harus dibawa ke kantor polisi. Di kantor polisi, saya diperiksa, ditanya segala macam yang semua saya jawab tidak tahu karena memang tidak tahu. Pertanyaan itu diulang-ulang, disaling silang, membuat saya mau muntah saja.
Sejak saat itulah saya tidak bisa ke mana-mana, Mak, sebab ditahan di kantor polisi. Bahkan pada anak dan istri pun saya tidak diberi kesempatan untuk ngasih kabar. Saya juga tidak yakin apakah surat ini akan diterima Emak atau tidak, sebab surat ini hanya dititipkan ke polisi. Tapi saya yakin sekalipun terhalang gunung dan samudra, seorang ibu akan mendengar rintihan anaknya. Kali ini saya menulis surat sambil menahan air mata agar tidak terus menyungai di pipi.
Salam dari putramu dari dalam tahanan.
***
Dari dalam tahanan polisi tanpa tahu apa kesalahannya, anak yang merindukan emaknya itu terus menulis surat, lalu menitipkannya kepada petugas. Dia memang tidak tahu kalau selama ini emaknya tak pernah sekali pun menerima surat itu. Sebab setahun sebelum anak itu mengirim surat, emaknya sudah berada di dalam kubur. Anak itu tak pernah tahu yang terjadi di kampung sebab masih ketakutan kalau pulang kampung akan diancam hansip gara-gara tak tahu diri mencintai Susi sekalipun sembunyi-sembunyi.
Sungguh bukan sok-sokan membawa istri ke bidan, Mak, tapi saya bingung di kota besar ini ke mana harus mencari dukun beranak. Kata tetangga daripada susah nyari dukun beranak, lebih baik ke bidan saja. Tadinya saya pikir antara bidan dan dukun beranak tidak jauh beda, sama-sama menolong yang akan melahirkan, biayanya bisa dicicil atau dicampur dengan beras dan palawija seperti yang sering saya lihat sewaktu di kampung.
Suatu hari ketika menangis di dalam tahanan, seorang petugas menghampiri dan menyodorkan sepucuk surat. Dia segera membacanya. Surat dari emaknya. Dia sangat yakin tulisan dan rangkaian kata-kata dalam surat itu dari emaknya. Selesai membaca surat itu, seketika dia merasa tenteram, sekalipun isi surat itu hanya beberapa kalimat:
Ujang anak emak yang baik.
Tak perlu dibuat sedih, sebab hidup sudah ada yang mengatur. Boleh kamu sedih kalau sudah lupa pada kekuatan yang Maha Menghidupkan. Boleh kamu menangis kalau hidup sudah lupa dari siapa sumber kehidupan. Bangkitlah, Nak. Lihat matahari. Matahari tak pernah sekalipun terlambat untuk terbit.
Doa emak menyertai hidupmu.
Emak.
***
E Rokajat Asura lahir di Bandung. Telah banyak memperoleh penghargaan dalam menulis. Belakangan lebih mengkhususkan diri dalam menulis novel sejarah atau berlatar belakang sejarah. Novel ”Dwilogi Prabu Siliwangi” merupakan novel sejarah pertama yang laris di pasaran. Novel ”Kupilih Jalan Gerilya” (novel biografi Panglima Besar Sudirman), yang terbit tahun 2015, mengantarkan ke Ubud Writers and Readers International Festival 2016 di Ubud, Bali, dan dipresentasikan dalam diskusi panel bertajuk Past & Present bersama penulis lain dari Meksiko, Amerika, Inggris, dan Australia. Novel ”Raden Pamanah Rasa” telah diproduksi sinetron serial dengan judul sama dan tayang di RCTI. Buku tunggal paling mutakhir adalah Haji Hasan Mustapa: Sufi Besar dari Tanah Pasundan (Biografi, Imania, 2020) dan Budak Angon: Kiprah M. Ridwan Kamil (Biografi, Biro Adpim Sekda Jabar, 2021)