Ingatan Buruk tentang Toko Kelontong
Sebagaimana para tetangga yang lain, di tanah seberang sana Yuyud bekerja sebagai penunggu toko kelontong. Sebuah usaha yang kini begitu didambakan sekaligus diagung-agungkan oleh orang-orang, begitu pun diriku sendiri.
Berita perampokan toko kelontong di Depok menggemparkan kampungku. Video rekaman CCTV yang memperlihatkan aksi tiga perampok menyebar luas dari ponsel ke ponsel. Tampak di video berdurasi 48 detik itu satu orang menodongkan pistol ke arah seseorang yang meringkuk ketakutan. Sedangkan dua orang lainnya terlihat buru-buru memasukkan sekotak uang dan rokok-rokok dagangan ke dalam tas hitam.
Seseorang yang tertimpa musibah itu tak lain adalah tetanggaku sendiri, Yuyud. Anak muda yang masih terbilang pengantin baru. Dia pergi merantau bersama istrinya dua bulan lalu, tepat lima belas hari setelah hari pernikahannya. Kondisi ekonomi yang pas-pasan, tidak adanya lapangan kerja yang memadai di tanah sendiri, serta didukung oleh lingkungan di mana orang-orang sedang gemar-gemarnya merantau, menuntut Yuyud agar ikut arus demi memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sang istri.
Memang, di kampungku, tidak harus lebih dulu punya pekerjaan yang mapan untuk membangun rumah tangga. Ketika seorang lelaki siap menikah, bagaimanapun ia sudah siap bertanggung jawab. Kebetulan, dalam dasawarsa ini, orang-orang di kampungku punya peluang luas mendapatkan mata pencarian yang sangat menjanjikan di kota-kota besar. Sebab itu, pemuda penganggur sekalipun tidak akan ragu melamar seorang gadis yang dicintainya, seperti yang dilakukan Yuyud.
Sebagaimana para tetangga yang lain, di tanah seberang sana Yuyud bekerja sebagai penunggu toko kelontong. Sebuah usaha yang kini begitu didambakan sekaligus diagung-agungkan oleh orang-orang, begitu pun diriku sendiri, dulu. Tak heran, peruntungannya membuat kami sangat tergiur. Tak sedikit famili dan tetangga yang bisa melunasi utang-utangnya, merenovasi rumah bahkan membangun rumah baru, membeli mobil mewah atau motor keluaran teranyar, berlomba-lomba menunaikan ibadah umrah—berkat adanya pekerjaan tersebut.
Dan, tak terelakkan, keberuntungan mereka menanamkan benih keirian di hati kami. Sehingga kami begitu bergairah untuk ikut berduyun-duyun merantau, menekuni dunia perniagaan itu. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, kami meninggalkan kampung halaman, seolah-olah telah lupa jalan pulang.
Persis empat tahun silam, bersama anak-istri aku betah sekali berlama-lama di Jakarta, berhubung juragan kami—yang juga kerabat istriku—memberi kebebasan pada kami terkait masa kontrak kerja. Dengan kata lain, dia pasrah saja, tergantung pada kami seberapa lama kami mau bekerja di toko kelontong miliknya. Tentu saja kami senang dan cukup puas menikmati pekerjaan itu, pada mulanya.
Di toko yang diamanahkan kepada kami, aku bebas memilih rokok apa saja yang kusuka, juga tak ada batasan mengenai berapa banyak aku mesti menghabiskannya per hari. Begitu pula jatah makan-minum kami bertiga, termasuk susu dan popok si kecil yang kala itu masih berumur 17 bulan. Pokoknya serba bebas. Semua kebutuhan sehari-hari terjamin, tanpa perlu mengambil lima ratus perak pun dari gaji yang kami terima tiap bulannya. Sungguh memuaskan dan memang seperti itulah sistem kerja yang berlaku. Yang penting, kata juragan, jangan mencabut keuangan secara berlebihan atau di luar nalar. Karena itu jelas bakal merugikan toko, dan otomatis merugikan kami sendiri.
Di buku akuntansi toko, ada aturan tak tertulis tentang untung-rugi hasil penjualan selama masa kontrak kerja. Apabila penghitungan barang dagangan diketahui rugi di kemudian hari, sesuai kesepakatan awal, kami wajib mengganti utuh jumlah nominal kerugian itu. Itu artinya, walaupun kami diberi jaminan kepuasan mengisi perut, kami diminta sangat hati-hati mengelola toko. Dalam hal ini kejujuran menjadi satu-satunya kunci yang harus senantiasa kami genggam.
”Kasihan Yuyud dan istrinya. Padahal, mereka baru belajar nyari uang sendiri,” seru istriku sembari mengepel lantai. Raut mukanya menunjukkan kerutan masai.
Aku tertegun di atas kursi, membayangkan betapa terpukulnya Yuyud saat peristiwa perampokan itu menimpanya. Betapa histerisnya istri Yuyud begitu terbangun dari tidurnya tiba-tiba mendapati wajah sang suami kelihatan pucat dan sedih teramat dalam, sementara sisa dagangan di etalase toko berantakan.Sejurus kemudian aku teringat diriku sendiri selama mencari nafkah di perantauan.
Menunggui toko selama 24 jam, bergantian dengan istri siang-malam tanpa hari libur. Jadwal tidur harus benar-benar teratur dan rasa lelah di tubuh kami tidak pernah betul-betul sirna. Belum lagi kami juga disibukkan dengan keperluan serta gerak aktif si kecil, di samping kesibukan melayani para pembeli, menuang bensin dari jeriken ke botol-botol, memasukkan minuman ke kulkas, menata barang-barang belanjaan ke rak, menakar tepung, gula pasir, minyak goreng, dan segala macam aktivitas lain yang berkaitan dengan toko.
Lantaran semua kesibukan tersebut dan toko tidak pernah tutup, kami tidak pernah tidur berdua dan jarang sekali berhubungan badan. Semisal hasrat sudah tak mampu lagi dibendung, untuk urusan yang satu ini kami harus menunggu si mungil tidur pulas, lalu memilih waktu yang biasanya sepi pembeli. Sekali bercinta pun tidak bisa berlangsung lama, khawatir tiba-tiba ada orang yang suka panjang tangan. Mau tak mau kami selalu bercinta secara tergesa-gesa di belakang rak dagangan. Malah, terkadang sudah ada pembeli memanggil-manggil sebelum sempat kami ejakulasi. Dengan sangat terpaksa kami tetap harus mendahulukan pembeli sebelum kemudian kembali menyalurkan hasrat yang tersisa.
Ya, lama-lama pekerjaan itu ternyata amat membosankan. Apalagi kalau mengingat-ingat nasib jiwa-raga yang kami pertaruhkan. Terasing dari keluarga, kerja nonstop yang membuat kami sering kali ketiduran di atas kursi, makan-tidur harus giliran antara aku dan istri, meladeni berbagai watak pembeli yang kerap menyebalkan, menghadapi para penipu dengan bermacam modusnya, terlebih ketika kami mendengar ”saudara-saudara” kami yang tokonya kebanjiran, kebakaran, kena palak preman atau kena rampok seperti yang dialami Yuyud, nyatanya tidak dapat dihibur atau diiming-imingi oleh kebebasan memilih makanan maupun rokok apa saja yang kami suka, bahkan oleh banyaknya hasil keringat yang kami terima sekalipun.
Menunggui toko selama 24 jam, bergantian dengan istri siang-malam tanpa hari libur. Jadwal tidur harus benar-benar teratur dan rasa lelah di tubuh kami tidak pernah betul-betul sirna. Belum lagi kami juga disibukkan dengan keperluan serta gerak aktif si kecil, di samping kesibukan melayani para pembeli, menuang bensin dari jeriken ke botol-botol, memasukkan minuman ke kulkas, menata barang-barang belanjaan ke rak, menakar tepung, gula pasir, minyak goreng, dan segala macam aktivitas lain yang berkaitan dengan toko.
Namun, seakan tidak punya pilihan lain, orang-orang semakin bernafsu merantau dan toko kelontong terus didewakan. Tak banyak yang masih setia pada jalan ikhtiar yang semula menghidupi mereka. Lahan-lahan yang mereka miliki sudah diserahkan ke tangan asing, karena bercocok tanam dirasa mustahil mendatangkan kekayaan. Usaha peternakan sapi juga mulai kekurangan peminat karena dianggap meremukkan tulang belaka. Begitu pun masyarakat pesisir, mereka kompak melepas sampannya karena kepercayaan mereka kepada laut kian menyusut.
Alhasil, ini kampung tak seramai dulu. Rumah-rumah megah bagai jasad tanpa roh, tidak ada kehidupan di dalamnya. Sebagian besar warga sudah telanjur menjadikan rantau sebagai pemandu arah nasib mereka. Jika ada satu keluarga hendak pulang kampung, maka satu keluarga yang lain akan berangkat sebagai gantinya. Demikianlah cara kerja toko kelontong yang sudah lumrah diterapkan. Sebab, setiap juragan enggan mencari pekerja kecuali punya hubungan karib tertentu dengannya—entah itu kerabat, tetangga, atau teman.
”Kira-kira juragannya minta ganti rugi nggak, ya?” istriku melanjutkan kata-kata keprihatinannya terhadap pasutri muda yang malang itu, ”Semoga saja nggak.”
Aku masih saja tercekat di kursi dengan sebatang rokok yang mengepul di tangan. Spontan sebuah memori buruk terputar di kepala. Musibah yang melanda Yuyud memang mengerikan. Tapi, musibah yang pernah menumbuk diriku dan istriku juga bukan hal sepele dan tidak gampang dilupakan. Omongan juragan kami masih saja membekas di benak. Kami dituduh maling. Kami dikecam tidak tahu malu, tidak tahu diuntung, tidak tahu balas budi. Anak kami pun kena tempias. Katanya, anak kami boros susu, boros popok.
Ingin sekali kutonjok mulut juragan kami begitu dia bawa-bawa anak kami sebagai sumber petaka. Akan tetapi, sebuah kesadaran yang jernih meredam emosiku. Kesadaran di mana hati kecilku mengakui dosa yang kulakukan. Diam-diam aku selalu menyisihkan uang sepuluh ribu saban hari dari perolehan toko, tanpa sepengetahuan istri. Setiap akhir bulan uang gelap itu kutransfer ke orangtua di kampung, bersama uang dua ratus ribu dari gaji kami yang kuminta kepada istri secara terang-terangan.
Baca juga : Semangkuk Mie Ayam dan Kenangan
Seolah mengamini pendapat umum bahwa pekerjaan bisa ditiru sedang rezeki tidak, akibat yang ditimbulkan tangan jailku sungguh di luar dugaan. Rupanya kecuranganku menyebabkan kerugian sebesar 7.233.000 rupiah di akhir masa kontrak kerja. Tidak, tidak mungkin kukira. Aku meragukan besarnya angka itu. Aku yakin ada penyebab lain. Sayangnya aku tidak punya bukti apa pun, selain kebohongan yang membuatku hanya bisa jujur kepada diri sendiri.
Semenjak kejadian itu, kami tak pernah lagi merantau. Aib kami jadi penghalang sekaligus pantangan. Aib yang alangkah cepatnya mencemari kuping penduduk seantero kampung di desa ini, meski kenyataannya kami sudah lebih dulu mengganti seluruh kerugian tadi. Di antara para juragan toko kelontong yang tidak memercayai kami, ternyata masih ada seorang juragan yang bersedia memberi kami kesempatan. Tapi kebaikannya kami tolak. Kami masih trauma. Lebih-lebih istriku. Dia tidak mau harga diri kami tercoreng untuk kedua kalinya, kendati aku sendiri tidak punya niat tercela secuil pun untuk kembali berulah.
Toh, kami juga sudah cukup bahagia dengan jalur yang kini kami tempuh. Istriku jadi guru honorer di sebuah lembaga di mana putri kesayangan kami menggayung ilmu, sedangkan aku jadi kurir di sebuah kantor ekspedisi. Walau upah kami sama-sama relatif kecil, kami merasa nyaman dan tenteram menjalani apa yang telah menjadi pilihan kami masing-masing.
***
Daviatul Umam, lahir dan tinggal di ”Kota Keris”, Madura. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kini bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Bisa disapa di Instagram-nya: @daviatul.umam.