Mati Suri
Malam itu, aku melihat tubuhku sendiri tertidur tak berdaya. Ada rasa nyeri di dada serta tangan yang tidak mampu kugerakkan.
Aku tidak pernah membayangkan akan tertidur selama 365 hari. Bulan Januari sampai Desember aku lewati tanpa bicara dengan Puan kekasih hatiku. Atau mungkin selama itu juga dia mencariku di taman seberang Jalan Jendral Sudirman. Selama itu aku tidak tahu dia bepergian ke mana, bercerita dengan siapa dan mengisi waktu dengan cara bagaimana. Setelah siuman dari tidurku yang panjang tersiar kabar ada seorang perempuan yang masih setia menunggu pacarnya di taman kota. Itu Puan pacarku yang tetap mau menerimaku apa adanya. Berita ini ditayangkan berkali-kali, dimuat di surat kabar harian kota dan dijadikan sampul halaman depan.
Sungguh aku harus bergegas menemuinya agar perjuangannya tidak sia-sia. Lantas pada sore hari yang langitnya hampir terbenam, saat itu hujan gerimis turun dia masih duduk sendirian di sana. Aku membawakannya payung warna merah tanpa logo atau muatan politik apa pun dengan harapan kemunculanku dari kaum milenial tidak dibawa ke ranah-ranah politik yang sialan itu. Aku duduk di sampingnya lalu memastikan hubungan ini masih tetap terjalin penuh cinta dan kasih sayang.
”Puan kekasih hatiku, aku tidak main wanita! Kemarin aku mati suri dan dibawa ke dunia lain oleh bisikan itu.”
”Dasar lelaki tukang khayal, sudah berapa perempuan kamu tiduri?”
”Aku tidak bohong, kemarin aku benar-benar mati suri.”
”Peradaban sudah jauh berubah, kamu masih saja percaya hal seperti itu?”
”Sungguh aku tidak bohong, boleh aku ceritakan 365 hari tanpa kamu?”
”Silakan saja, mudah-mudahan aku percaya.”
Begini ceritanya, sepulang bekerja dari shift malam aku bermain HP sambil swipe-swipe konten orang. Pada konten yang membahas negara-negara yang teraman di dunia, aku tertidur. Ibuku bilang, aku tidur masih memegang HP dengan konten yang masih ngoceh. Ibu tidak ada firasat apa pun sehingga aku ditinggalnya pergi jualan ke pasar. Maklum ibuku kerjanya bukan mengabdi untuk negara, melainkan mengabdi untuk keluarga kecilnya. Singkat cerita malam sekitar jam delapan ibu dan bapak pulang masih melihatku tertidur. Saran dari ibu agar aku dibawa ke kamar saja agar tidurnya menjadi lebih lelap. Sampai saat itu belum ada kecurigaan apa pun.
Malam itu, aku melihat tubuhku sendiri tertidur tak berdaya. Ada rasa nyeri di dada serta tangan yang tidak mampu kugerakkan. Apa mungkin aku sudah mati sejak kemarin di ruang tamu. Namun, aku masih meragukan pendapatku itu karena aku masih bernapas dengan teratur. Pagi jam tujuh belum ada tanda-tanda aku akan bangun. Bapak dan ibu menjadi panik, menyadarkanku dengan berbagai cara, mulai dari memercikkan air putih, mencubit bagian perutku, lalu memapah tubuhku berdiri tidak ada hasilnya, mataku masih tetutup dan tidak ada tanda-tanda akan terbuka.
Puan kekasih hatiku sekadar info saja, jam delapan pagi aku dibawa ke UGD untuk diperiksa. Kata ibu, di hidungku dimasukkan selang oksigen, darah di lenganku diambil lalu jari-jariku dipasangkan alat yang kemudian terhubung ke monitor. Tiga jam kurang sembilan menit, dokter yang menanganiku datang dan memberikan hasil pemeriksaan lab, dia bilang kalau aku tidak menderita penyakit apa pun. Diagnosa sementara dokter, aku hanya mengalami kelelahan. Lantas bapakku bertanya kalau hanya kelelahan kenapa tidak sadarkan diri. Dokternya bilang, itu di luar kendalinya sebab apa yang menjadi hasil lab itu yang dia sampaikan. Malah ibuku mengumpat, tidak percaya dengan hasil lab itu bahkan berani menyuruh dokter untuk melakukan pemeriksaan ulang. Ibuku juga tidak mau memakai jaminan dari lembaga mana pun dia akan memakai jalur VIP agar pelayanan maksimal dan akurat. Sudah menjadi rahasia umum perlakuan pasien spesial jika mampu bayar sendiri. Padahal ibu tidak punya uang banyak kalau dipakai untuk membayar fasilitas VIP mungkin hanya cukup seminggu saja, itu pun pakai modal dagangannya.
Hari pertama aku berada di dunia lain ke sana-kemari berteriak siapa tahu ada manusia. Kuhampiri goa yang dindingnya licin itu berharap menemukan sesuatu yang bisa aku makan. Jujur perutku lapar ingin makan mi ayam Mas Yono yang biasanya kalau jam segini lalu-lalang di rumahku. Tapi aku ragu! Ada urusan apa Mas Yono hingga jualan di ruang yang hampa ini. Memang di dunia nyata dia tidak dikasih jualan? Katanya dipersulit masuk ke perumahan elite. Aku masih mencari tahu tempat apa ini, kalau misalnya surga kenapa gelap lalu kalau misalnya neraka kenapa tidak ada jembatan api. Baru kali ini aku merasakan ketakukan yang teramat dalam, menangis sepanjang jalan, menyebut-nyebut nama bapak dan ibu terus tanpa henti. Padahal ibu selalu mejagaku di Ruang Kamboja nomor 335. Jangankan menepuk pundaknya, menggerakkan jari-jari saja seperti mengangkat beban puluhan kilo.
Di dalam goa ada spesies serangga berkaki lima dengan bola mata yang besar selalu mengikuti ke mana kaki ini melangkah. Mungkin kalau di dunia nyata makhluk ini namanya kunang-kunang karena memiliki cahaya di bagian bokongnya. Dia jinak, tapi aku tetap saja waspada siapa tahu dia bisa berubah menjadi besar dan memakanku mentah-mentah. Lalu ada juga bangsa kelelawar warna merah menyala. Sejak tadi aku masuk goa sudah tidak ramah, mereka beterbangan dan mencakar kepalaku. Aku usir dengan potongan kayu yang bagian depan runcing karena tetesan air goa. Langkahku semakin pelan ketika melihat bayangan makhluk menyerupai manusia, namun kepalanya tikus. Aku mengintip dari sela-sela bebatuan mereka sedang berkumpul jumlahnya jutaan. Aku kira kakinya tiga ternyata bagian tengahnya ekor. Mereka sepertinya sedang merencakan sesuatu, aku tidak tahu rencana itu apa sebab dia ngomong memakai bahasanya sendiri.
Hari pertama aku berada di dunia lain ke sana-kemari berteriak siapa tahu ada manusia. Kuhampiri goa yang dindingnya licin itu berharap menemukan sesuatu yang bisa aku makan. Jujur perutku lapar ingin makan mi ayam Mas Yono yang biasanya kalau jam segini lalu-lalang di rumahku. Tapi aku ragu! Ada urusan apa Mas Yono hingga jualan di ruang yang hampa ini.
Raja tikus yang berbadan gemuk, perut besar serta baju hitam lengkap dengan gaya rambut klimis. Dari gerak tubuhnya mereka akan berperang entah dengan siapa lalu dalam rangka konflik apa. Aku menyaksikan sendiri salah seorang penghianat di tebas kepalanya lalu di mutilasi. Darahnya muncrat ke mana-mana bahkan mengenai sepasukan tikus sebelah kiri. Entah tubuhnya dibawa ke mana yang pasti aku melihat lima kantong keresek hitam berisi irisan tubuh tikus penghianat itu. Dalam goa yang minim penerangan itu perlahan aku mundur dan keluar dari goa menghindari aku dijadikan korban selanjutnya.
Hari-hari selanjutnya jiwaku mengembara entah dengan maksud dan tujuan yang bagaimana. Ada bisikan yang entah dari malaikat atau sejenisnya bahwa aku harus melewati 365 hari dengan hebat. Aku berbicara dengannya, agar boleh memberi kabar kepada bapak dan ibu bahwa aku sebenarnya baik-baik saja. Minimal hal itu akan membuatnya tidak khawatir serta berhenti mengumpat dokter-dokter itu lagi. Namun kata dia, tidak usah ada berita apa pun karena ini sudah garis takdir. Bisikan itu semakin menggema hingga menuntunku ke arah selatan mengikuti arus sungai yang deras. Katanya nanti aku akan bertemu pohon beringin yang masih muda dengan daun yang tidak lebat, di sampingnya ada lubang yang dibuat bangsa burung pelatuk. Aku di suruh memasukkan tangan ke sana lalu minta makanan apa saja yang aku inginkan. Minta secukupnya saja, tidak boleh dijadikan perbekalan karena satu kilo dari jarak pohon makanan itu akan berubah menjadi sehelai daun.
Aku hanya minta mi ayam bakso Mas Yono sedikit pedas isi pangsit lalu minumnya air mineral saja. Untuk mi ayam baksonya aku dikasi namun untuk air mineralnya tidak, dia menyuruhku untuk minum air yang ada di batang bambu. Setelah di rasa-rasa ini benar mi ayam bakso Mas Yono yang keliling di rumahku setiap sore. Bagaimana mungkin dia jualan di tempat seperti ini, dibayar berapa dia sama bangsa burung pelatuk itu. Aku baru pertama kali makan mi ayam bakso di dunia lain dengan pemandangan hutan belantara. Rasanya sama enak cuma khawatirnya banyak setelah ini aku dimangsa segerombolan serigala atau predator lainnya.
Pada hari yang entah keberapa, aku sampai di gunung yang paling tinggi. Di bawah sana sedang terjadi pertempuran hebat antara sepasukan tikus dengan suku Manteng. Suku Manteng adalah penduduk asli yang kerjaannya hanya berkebun dan bertani. Sepasukan tikus itu menyerang membabi buta dengan pedang panjang yang ujungnya bergerigi. Perempuan yang sedang memetik pucuk teh itu ditebas tepat di lehernya lalu suaminya di gantung di pohon kelapa. Remaja yang sedang belajar di berangus di sekolah dengan senjata penyembur api, mereka tewas di ruag kelasnya. Ketua Suku Manteng di seret dari rumahnya ke balai desa lalu di sana ditembak dengan peluru kaliber 5,50 x 40 mm. Ribuan brondongan peluru tajam itu mengenai seluruh tubuh ketua suku sehingga rakyat yang tersisa di tawan ke dalam balai desa itu.
Ternyata misiku ke sini adalah menyelamatkan para tawanan itu. Entah kenapa harus aku yang warga sipil ini yang mereka pilih yang pasti bisikan itu mengatakan bahwa aku adalah reinkarnasi serdadu tempur. Leluhurku dulunya bertempur dengan gagah perkasa melawan kebiadaban bangsa tirani yang ingin menguasai suku Manteng. Selang beberapa saat, tubuhku membesar keluar otot-otot yang kekar serta baju tempur lengkap dengan pedang dan tameng pelindung. Aku sempat berpikir melawan sepasukan tikus itu dengan pedang, sedangkan mereka memakai senjata khusus dan peluru tajam. Katanya ini bukan pedang sembarangan, apa pun yang terjadi jangan sampai lepas dari genggaman, apalagi dikuasai oleh musuh.
Doktrin menjadi seorang serdadu tempur berhasil. Aku terbang dari ketinggiang gunung menuju permukiman suku Manteng dengan kecepatan menyerupai pesawat tempur. Membantai sepasukan tikus yang berjaga di ujung kampung. Aku bertempur mungkin dengan 1.000 tentara tikus, semuanya aku bantai tanpa ampun. Setiap kali pedang itu menghujam jantung tentara tikus itu mengeluarkan cahaya merah keemas-emasan. Pedang ini seakan haus akan darah tikus-tikus ini, seperti ada dendam penindasan di masa lalu. Melewati ring tiga sepasukan tikus tentu mudah lalu sampai di ring dua pertahanan musuh aku tertembak peluru tajam pada bagian kaki kiri darahku tercecer di semak-semak. Ini pasti ulah sniper yang belum aku ketahui posisinya. Atas bantuan bangsa burung pelatuk, aku menemukan tiga sniper pasukan khusus bangsa tikus itu. Dari belakang aku iris lehernya dan mati pelan-pelan karena kehabisan darah.
Entah dari mana muncul rudal kendali yang memborbardir gedung ini sehingga hancur berkeping-keping. Aku kira diriku telah mati tertimbun reruntuhan gedung itu. Dada sebelah kiri tertusuk besi, dahi tersayat kaca lalu kaki terimpit batu. Seketika aku terkoneksi ke dunia nyata melihati diriku sendiri mengeluarkan darah dari hidung dan telinga. Ibuku panik lalu aku dibawa ke meja operasi. Sampai di meja operasi dokter-dokter kebingungan mencari bagian mana yang terluka, namun tidak ditemukannya. Bapakku sudah marah-marah tidak karuan, dokter spesialis itu dibentaknya setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku di ruang operasi.
Pedang itu menuntunku untuk bangun dari reruntuhan dan melawan lagi sepasukan tikus itu. Dengan energi penuh yang diberikan oleh pedang itu, aku mampu bangkit dan membasmi tank-tank musuh. Aku terbang menunggangi raja burung pelatuk untuk mencari raja tikus yang diam di balai desa. Burung pelatuk lainnya kami beri tugas untuk melawan sepasukan tikus di ring dua. Aku akan bertempur satu lawan satu dengan raja tikus yang bengis itu. Sampai di balai desa, aku telah ditunggunya. Pertarungan pedang tidak bisa dihindarkan. Berkali-kali saling tikam, namun selalu berhasil menghindar. Pada tikaman yang tepat menghujam ke jantungnya, raja tikus itu menahannya dengan pedang. Namun pedangku lebih sakti sehingga mematahkan pedang milik raja tikus sialan itu. Kini dia tidak punya senjata dan akhirnya tersudut. Aku sempat bilang kepadanya agar menyerah saja lalu menyerahkan tawanan baik-baik.
Baca juga:Ingatan Buruk tentang Toko Kelontong
Aku malah diperdayainya, ditembak dengan pistol yang dia sembunyikan di saku belakang. Aku tertembak di dada, namun tidak mengenai jantungku. Di sela-sela energi yang tersisa, aku gunakan untuk menikam perutnya, matanya lalu terakhir jantungnya. Pedangku sampai mengeluarkan cahaya dan kurasakan panas pada gagangnya. Aku terpental dan pedang itu hancur bersamaan dengan tubuh raja tikus yang menjadi abu.
Sementara di dunia nyata, bapak membawa tiga dukun kenalannya untuk menerawang apa yang terjadi padaku. Katanya, aku disembunyikan bangsa jin utara dia meminta sesajen pada bulan mati waktu tengah malam. Baru pertama kali ada keluarga pasien membawa dukun ke rumah sakit umum daerah. Atas petunjuk dukun itu, bapak sepakat merawatku di rumah saja. Dia sangat benci pelayanan di rumah sakit itu yang menurutnya tidak bisa mendiagnosis penyakit malah setiap hari diminta untuk ke kasir membayar perawatan. Sedangkan jiwaku di sini sedang dirawat oleh dayang-dayang istana seusai bertempur tadi. Aku diobati dengan daun-daunan dan diambil peluru di tubuhku menggunakan jarum emas. Memerlukan waktu yang tidak lebih dari 365 hari untuk aku bisa pulih. Maka aku yang berada di dunia akan terus bernapas dan mati suri.
Puan kekasih hatiku, kira-kira begitu cerita singkat yang aku alami di dunia lain. Pacarmu ini ternyata punya darah juang mengalir ke kehidupan selanjutnya agar demokrasi tidak dikebiri, penindasan atas alasan apa pun harus kita lawan serta saling bantu adalah ciri kita memanusiakan manusia. Demikian yang bisa aku sampaikan kepadamu, selanjutnya aku ingin merayakan cinta denganmu. Anggap saja aku sedang menebus banyak malam minggu yang terlewatkan saat aku mati suri.
***
I Wayan Kertayasa, pengajar literasi di Yayasan Was. Saat ini, penulis tinggal di Banjar Kedungu, Taro, Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Novel yang sudah diterbitkan Romansa Lagu (2020) dan antologi puisi Semoga Aku Sampai (2021).