Hantu Lapar
Sepasang mata sipitnya memandang kosong ke seberang jalan. Yueyin menatap sebuah toko kain yang sudah akan tutup, tempatnya sewaktu muda bekerja.

-
Seperti mentari yang enggan terbenam petang ini, Yueyin menunda kepulangannya.
Puluhan tahun Yueyin menghuni daerah pasar di sudut kota itu. Tubuhnya ringkih berbalut terusan merah dengan corak bunga-bunga merah jambu, rambutnya yang sudah memutih dicepol di atas tengkuk. Sosok sepuh itu sudah lama mematung di seberang pasar. Hatinya yang senantiasa gelisah mengharap cemas ingin segera pergi, tetapi sekarang belum waktunya.
Sepasang mata sipitnya memandang kosong ke seberang jalan. Yueyin menatap sebuah toko kain yang sudah akan tutup, tempatnya sewaktu muda bekerja. Lie Feng, pemuda itu dulu masih suka menghisap ibu jari ketika Yueyin bekerja di sana. Yueyin ingat betul bagaimana dulu ia suka menimang-nimangnya di pangkuan. Miris, saat ini bahkan Lie Feng tidak balas menyapa jika Yueyin muncul di hadapannya. Yueyin kerap mengajaknya berbincang, tetapi Li Feng tidak mengacuhkan.
Yueyin sudah terbiasa, tidak seorang pun yang melihatnya. Keberadaannya seperti udara yang tidak kasatmata, tenggelam dalam kesunyian yang dirasakan seorang diri. Hanya mereka yang terbuka nuraninya yang menyadari keberadaannya.
Tepat ketika mentari terbenam, aroma hio menyeruak dari ujung jalan. Yueyin mengendus-endus baunya. Ia beranjak menuju sumber aroma semerbak itu. Langkahnya agak terseret-seret mengikuti bendera segitiga berwarna-warni yang dipasang berderet di sisi jalan menuju ke suatu tempat. Yueyin terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar, sama seperti mereka yang tidak mengacuhkannya.
Yueyin berhenti di depan sebuah kelenteng berwarna merah dengan aksen kuning keemasan. Segelintir orang terlihat bergegas masuk ke dalam kelenteng, ritual besar akan dimulai. Yueyin memasuki gerbang besar, menyelinap di antara kelompok manusia yang sibuk berjalan.
Altar itu sungguh megah. Terlihat sebuah meja beser lengkap dengan hidangan mewah tertata di atasnya. Aroma hio sangat kuat tercium, menyeruak hingga ke sudut-sudut ruangan. Yueyin berdiri di sana. Dalam diamnya ia memperhatikan dari jauh, memilih tidak bergabung dengan barisan manusia yang khusyuk berdoa.
Yueyin menyimak altar bernuansa merah di hadapannya. Di atas altar itu tergantung sebuah pajangan merah dengan tulisan berwarna emas. Sepasang pilar merah mengapit altar, ornamen naga-naga emas menghiasinya. Lampion berwarna senada dengan aksen kuning keemasan mengantung pada masing-masing pilar. Patung dewa yang didudukkan di bawah naungan replika bangunan beratap merah menjadi pusat altar. Sebuah lampu gantung menyinari dari atas, memberikan kesan temaram yang hangat. Di hadapan patung dewa, diletakkan berbagai macam barang antik bernuansa merah dan hijau. Lilin-lilin besar berwarna merah berbaris rapi, apinya menari-nari tertiup angin. Sebuah hiolo antik berwarna hijau gelap dengan ornamen singa diletakkan di depan sesajian. Di dalamnya tertancap batang-batang hio yang ujungnya membara, menyebarkan aroma harum.
Seorang sinsang berdiri di hadapan altar sembari mengayun-ayunkan beberapa batang hio, merapalkan doa-doa kepada leluhur. Yueyin juga tidak mengerti maksudnya. Ia sungguh tidak peduli dengan doa-doa yang dirapalkan sinsang itu. Sesajian di depan sana jauh lebih menarik perhatian.
Ritual itu memakan waktu cukup lama, tetapi Yueyin masih memaku langkahnya di situ hingga sinsang itu memberikan penghormatan terakhir ke altar. Mereka yang ikut dalam ritual satu per satu menyingkir. Yueyin hampir menyentuh makanan yang diliriknya sejak tadi, tetapi dari luar terdengar keributan yang menarik perhatian.
Di bawah langit malam, Yueyin kembali mengikuti gerombolan manusia yang berjalan, kali ini menuju halaman belakang kelenteng. Di lahan yang luas itu, tersebar keranjang-keranjang makanan yang melimpah, masing-masing berisi daging, sayur-sayuran, jeruk, nanas, pisang, makanan ringan, bahkan karung-karung beras lima kilo. Ada juga banyak bungkusan kue-kue di dalam keranjang, seperti bakpao, kue apam, bolu kukus, kue keranjang. Di antara makanan-makanan itu, ditancapkan bendera segitiga berwarna hijau, kuning, dan ungu lengkap dengan mantra-mantra yang ditulis dengan tinta hitam.
Yueyin berdiri di antara kerumunan, berusaha maju ke barisan paling depan untuk melihat ke tengah lapangan. Yueyin mendengar dua orang setempat yang tengah berbincang di sela-sela percakapan yang lain.
“Bile mule? Dah kebuloran aku.”
“Sabarlah, bantar agek. Biak barok nak keluar yebe.”
Tidak lama kemudian, si sinsang membelah kerumunan. Berdiri di tengah-tengah, lantas berbicara sebentar. Sekejap setelah si Sinsang mengakhiri kalimatnya, mereka sontak berlari memasuki lapangan. Dengan rusuh gerombolan manusia itu berburu bungkusan.
Baca juga:Seekor Buaya di Sungai Karang Tambak
Yueyin tidak ketinggalan, ia dengan segera bergabung dengan manusia-manusia yang membabi buta. Di tengah-tengah lapangan ia terdesak, tubuhnya yang sudah ringkih ditabrak dari segala arah. Yueyin ketakutan, manusia-manusia itu berebut dengan agresif, berharap mendapat berkah dari makanan-makanan itu.
Tidak satu pun melihat sosok tua yang pucat ketakutan itu. Ya, hanya mereka yang terbuka nuraninya dapat menyadari keberadaannya. Namun tanpa diduga, sinsang tadi menghampiri, mengangguk sopan dan memberikan bungkusan. Kemudian, menyuruhnya pulang dan mendoakan berkah untuknya.
Yueyin menangis dalam hati. Di tengah kerumunan yang membuatnya ketakutan itu, akhirnya ada yang melihat sosoknya. Di bawah langit malam yang temaram, Yueyin menjauh dari hiruk pikuk. Langkahnya terasa ringan. Ia tidak menunggu hingga wangkang dibakar. Malam ini ia akan pulang dengan simpul senyum di wajahnya.
**

-
Di sudut pasar yang sudah terlelap, sebuah bedeng reyot berdiri. Cahaya kekuningan mengintip dari sela-sela bingkai jendela. An Ni menyibak tirainya, membuka daun jendela. Gadis kecil itu menyembulkan kepalanya ke luar. Ia menatap nanar rembulan yang berpendar di balik awan kelabu yang menutupinya.
“Ng mo am cut, li puam shin hi cut lu kai hang.”
Begitu ia dipesankan pagi tadi. Sejatinya, An Ni ingin menangis keras, ia takut di bedeng sendirian, apalagi perutnya kelaparan belum makan sejak siang tadi. Gadis kecil itu rindu rembulannya kembali.
Tiba-tiba terdengar suara langkah yang diseret. An Ni menutup jendela, menarik tirainya kembali. Ia terbirit-birit mengunci pintu dan duduk meringkuk di baliknya. Gemetar bibirnya meminta ampun sudah berani-beraninya membuka jendela, bahkan melongok keluar. Ia memohon agar tidak diculik hantu.
Tiga kali ketukan di pintu terdengar.
Tok. Tok. Tok.
Senyap, An Ni masih duduk meringkuk sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
“An Ni, buka pintunya. Lia jiu bak pao pun nyi!” Seseorang berteriak dari luar.
An Ni sontak berdiri dan membuka pintu.
“Pho Pho!”
“Kita makan besar malam ini, An!” seru sosok itu.
Rembulannya telah pulang dengan gurat lelah di wajah, tetapi segaris senyum menutupi lemah tubuhnya. Ialah Yueyin yang berarti sinar rembulan terang.
Catatan:
- - - Hio artinya harum. Yang dimaksud harum disini ialah Dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau sedap/harum.
- -Hiolo : Tempat meletakkan hio.
- -Sinsang : Semacam dukun dalam masyarakat Tionghoa di Sambas, Kalimantan Barat
- -Bile mule? Dah kebuloran aku: Kapan dimulai? Sudah kelaparan saya. (Bahasa Melayu Sambas, Kalimantan Barat)
- -Sabarlah, bantar agek. Biak barok nak keluar yebe: Sabar. Mereka baru saja keluar. (Bahasa Melayu Sambas, Kalimantan Barat)
- -Wangkang: Replika kapal laut dan pesawat terbang yang dibuat dari kertas dan kayu dan nantinya dibakar sebagai simbol mengantar arwah dalam ritual Chiong Shi Ku atau Sembahyang Rampas. Biasanya pembakaran wangkang dilakukan setelah ritual merampas makanan.
- -Ng mo am cut, li puam shin hi cut lu kai hang: Jangan keluar, malam ini para arwah keluar ke jalanan.
- -Lia jiu bak pao pun nyi! : Ada bakpao buatmu!
- -Pho Pho! : Nenek
***
Ribka Syalom Christianti Saragih, lahir di Semarang, Jawa Tengah. Tengah menempuh pendidikan semester keempat di Program Studi Informatika Universitas Tanjungpura Pontianak.