
Zakia duduk termenung menatap sepiring nasi yang telah dingin. Matanya tertuju pada piring, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Tak didengar suara bising di sekeliling: suara dari orang-orang mengaji untuk almarhum suaminya, suara dari orang-orang saling bicara satu sama lain, dan suara dari anak-anak yang bermain menunggu orang tuanya. Tidak satu pun suara tertangkap telinganya. Hanya satu suara yang terus berputar di kepalanya: suara adik laki-laki almarhum yang dulu mengatakan kalau nanti suaminya meninggal, rumah yang dia tinggali akan diberikan ke adik bungsu suaminya.
Rumah yang Zakia tempati memang bukan milik suaminya, tetapi milik adik laki-laki suaminya, seorang juragan kapal yang tinggal jauh di Bulukumba. Rumah itu memang diberikan untuk dia tinggali bersama suaminya; akan tetapi, begitu suaminya meninggal, rumah itu sudah direncanakan akan diberikan untuk adik bungsu suaminya.
Ketika memikirkan nasibnya, bercerai air mata dari kedua bola matanya. Zakia tidak tahu ke mana harus pergi. Dia tidak punya anak, dan seluruh saudaranya telah meninggal. Ketika menikah dengan suaminya, dia adalah seorang breng yang tinggal tunggu waktu untuk menopause. Suaminya memang punya enam anak, tapi tidak satu pun yang bersedia menampungnya. Menampung ayah mereka di masa tuanya saja mereka tidak mau, apalagi menampung dirinya yang dianggap.
”Ayo Baba dimakan dulu nasinya,” kata Maria cucu tertuanya.
Maria tentu saja bukan cucunya, melainkan cucu almarhum suaminya. Meski begitu, Maria tetap memperlakukan Zakia seperti neneknya sendiri. Dari sekian keluarga suaminya; anak-anak suaminya, saudara dan saudari suaminya, keponakan-keponakan suaminya, mungkin hanya kedua cucu suaminya—Maria dan Aliya—yang peduli kepadanya. Namun apa daya, mereka tidak punya apa-apa yang bisa ditawarkan. Mereka sendiri masih menumpang di rumah orang tua mereka, yang sayangnya, tidak memiliki hubungan baik dengan almarhum.
Zakia menatap piring nasi di depannya dengan perasaan hampa. Sebenarnya perutnya perih karena sedari pagi tidak makan, namun lidahnya terlalu pahit untuk menerima suapan. Ketika suapan pertama tiba di mulutnya, dia merasa seperti menelan obat. Suapan kedua lebih susah lagi, mulutnya menolak apa yang hendak dia berikan pada tubuhnya. Suapan ketiga dia dorong paksa dengan beberapa teguk air.
*
”Cik Eva benar-benar tega,” kata Tanzina, anak kedua almarhum. ”Masak mereka mau bikin hari ketujuh di rumahnya. Benar-benar sudah dia itu, selalu mau paling kelihatan.”
”Saya juga tidak habis pikir. Padahal bukan uangnya yang dipakai untuk acara, tapi uang Ami Gazi. Mentang-mentang dia yang pegang uang Ami Gazi, dia jadi semau-maunya,” balas Zalizah, anak ketiga.
”Memang saudara Abah tidak ada yang betul. Kemarin juga Cik Evi minta HP peninggalan Abah ke Cik Kia. Karena Cik Kia tidak mau kasih, Cik Evi tidak datang semalam,” lanjut Zuriyah, anak kelima.
”Tapi memang Abah pernah janji mau kasih HP-nya ke Cik Evi bukan?” tanya Zinnia, anak keenam. ”Lagi pula ada dua HP peninggalan Abah di Cik Kia.”
”Mau dia dua, mau dia empat, itu kan peninggalan suaminya. Kalau Cik Kia tidak mau kasih, itu hak dia, masa tidak datang cuma karena itu? Ini kakaknya yang meninggal. Kakaknya!” tegas Tanzina.
Aliya dan Maria hanya mendengarkan percakapan bibi-bibi mereka. Keduanya tidak mau ikut campur. Keduanya tidak mau ikut-ikutan melemparkan bensin ke bara yang tengah menyala. Mereka memilih fokus mengurus jajanan untuk acara nanti malam. Keduanya ingin agar semua ini segera selesai.
Aliya, bahkan, sebenarnya kesal dengan bibi-bibi mereka yang menurutnya hanya bermodal mulut. Padahal, kalau mereka mau membuat acara ketujuh tetap di rumah ini, mereka tinggal keluarkan uang. Mereka bukannya tak punya uang. Mereka punya, mereka tak mau saja. Meski begitu, Aliya tetap bersyukur, setidaknya bibi-bibi mereka masih mau datang mengurus tahlilan, sedang ayahnya, tidak pernah sekalipun menunjukkan batang hidungnya di rumah duka.
”Kasihan ya Baba Kia, seandainya saja Habib ada ninggalin rumah untuknya. Dia tidak mungkin kelimpungan seperti sekarang,” kata Maria.
**

Di hari keempat almarhum meninggal, Eva dan Evi mendatangi rumah duka. Evi mengatakan pada Zakia kalau rumah ini akan ada yang bayar karena itu harus direnovasi dulu tersebab rumah ini tidak pernah diperbaiki sejak gempa dahsyat tempo lalu. Memang ada sedikit retakan di ruang tamu, tapi Zakia tahu bahwa itu tidak lain hanyalah upaya mengusirnya secara halus.
”Apa tidak bisa ditunggu sampai hari ketujuh Baba? Biar rumah ini bisa dipakai untuk acara Habib,” kata Aliya.
”Tidak perlu. Nanti acaranya di rumah Baba Eva. Kamu datang ya,” balas Eva.
”Kak Kia juga boleh datang kok,” kata Evi menimpali.
Wajah Maria dan Aliya mengeras mendengar kata-kata kedua saudari kakeknya itu. Ketika Maria hendak membalas perkataan Evi, Zakia mendahului, ”Tentu, saya pasti datang.”
”Kalau bisa besok rumah sudah kosong ya, Kak,” kata Eva sebelum balik badan dan pergi tanpa salam.
Begitu kedua bersaudara itu pergi, Zakia membereskan barang-barangnya dibantu oleh Maria dan Aliya. Sehari sebelumnya, keponakannya, anak dari almarhum adiknya, mendatanginya saat mendengar kabar tentang pengusiran yang menimpanya, dan anak itu mengajak Zakia untuk tinggal di rumahnya.
**
Baca juga: Laki-laki di Pohon Kelapa
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Angin menderu-deru mengacak-acak tenda yang telah disiapkan untuk acara hari ketujuh. Rumah duka terlihat sepi, jauh lebih sepi dari malam-malam sebelumnya. Padahal acara hari ini adalah acara puncaknya, namun hanya segelintir orang yang datang. Mereka terhalang oleh cuaca dan kehendak hati.
Aliya dan Maria memutuskan tidak datang setelah Zakia diusir keluar dari rumah itu. Apalagi setelah mengetahui acara penutup justru dilakukan di rumah yang dua hari lalu masih ditempati oleh Zakia, hal itu membuat kedua gadis itu makin sakit hati.
Baca juga: Mengapa Bumi Mengelilingi Matahari
Anak-anak almarhum juga tidak satu pun yang datang. Mereka memang tidak pernah akrab dengan Zakia, tidak setelah Abah mereka menikah dengan Zakia dan meninggalkan ibu mereka, dan hal itu membuat mereka membenci Zakia lebih dari apa pun jua. Namun waktu seperti air, ia mampu mengikis kemarahan yang membatu di hati mereka. Meski begitu, waktu tak cukup mampu untuk membuat mereka mencintai Zakia. Tapi mereka telah memaafkannya, setelah mereka melihat bagaimana Zakia dengan sepenuh hati mengurus Abah mereka di hari-hari terakhirnya. Kecuali itu, kedua anak laki-lakinya tidak pernah bisa memaafkan Zakia.
Wajah Eva terlihat cemas melihat hanya sedikit tamu yang datang. Padahal ia telah memesan jamuan katering yang mencukupi jika tamu yang datang lebih dari seratus orang. Ketika ia menghitung para tamunya, hitungannya terhenti di angka delapan belas. Suaminya dengan santai menyundut rokok di teras rumah. Ia tampak tak peduli melihat Eva yang gelisah menghubungi keluarga-keluarga mereka di kampung Arab. Tapi yang dihubungi berkata cuaca tidak mendukung.
Begitu kedua bersaudara itu pergi, Zakia membereskan barang-barangnya dibantu oleh Maria dan Aliya. Sehari sebelumnya, keponakannya, anak dari almarhum adiknya, mendatanginya saat mendengar kabar tentang pengusiran yang menimpanya, dan anak itu mengajak Zakia untuk tinggal di rumahnya.
Di tengah guyuran hujan yang semakin deras, angin yang semakin menderu, dan guntur yang tak henti-henti menggelegar; sebuah lampu motor membelah gelap malam. Mereka yang duduk di teras rumah tidak bisa melihat siapa yang datang. Kecuali cahaya dari lampu motor itu, yang terlihat hanyalah guyuran hujan. Sampai motor itu masuk ke pekarangan rumah, baru mereka bisa melihat dengan jelas siapa yang datang. Mata-mata itu langsung tertuju pada seorang wanita tua yang tertatih-tatih turun dari motor dengan pakaian kuyup oleh hujan. Di belakangnya seorang pria muda tidak mau turun dari motor dan menatap benci pada orang-orang di rumah itu.
Blencong, Mei 2021
***
Aliurridha, Penerjemah dan pengajar di Universitas Terbuka. Ia menulis esai, dan cerpen. Karyanya tersebar di pelbagai media. Cerpennya berjudul Metamorfosa Rosa terpilih sebagai nominee cerpen terbaik pilihan Kompas. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.