Mengapa Bumi Mengelilingi Matahari
Dia berdiri di hadapanku dengan wajah tanpa cahaya. Wajah tanpa cahaya itu sudah cukup lama terpasang di sana dan selama itu aku sering berpikir bagaimana dulu aku melihat cahaya di sana. Barangkali cinta memang menipu.
Dia telah mengepak semua barang-barang yang hendak dibawanya. Ada dua tas jinjing besar dan satu ransel, semuanya tampak gemuk. Sepertinya hampir semua barang yang dimilikinya telah masuk. Yang tersisa barangkali hanya kenangan: pakaian yang sudah kekecilan, wadah kosmetik tanpa isi, atau perlatan memasak dan rumah tangga yang menjadi dunianya selama di rumah ini. Dia akan pergi, aku tahu, tetapi aku tidak berpikir seserius ini.
Sekarang, dia berdiri di hadapanku dengan wajah tanpa cahaya. Wajah tanpa cahaya itu sudah cukup lama terpasang di sana, dan selama itu aku sering berpikir bagaimana dulu aku melihat cahaya di sana. Barangkali cinta memang menipu.
Ketika aku tidak lagi menemukan cahaya di wajahnya, aku menemukan cahaya di wajah perempuan lain. Kau pasti akan memakiku sebagai laki-laki brengsek, tetapi mengertilah bahwa dalam hal ini aku juga korban penipuan cinta.
Kami menikah karena cinta dan kami berpisah karena menyadari—meskipun tanpa saling menyatakan—betapa cinta itu sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanya letupan gairah, dan letupan itu pun pada akhirnya akan berhenti seperti kembang api kehabisan mesiu.
Sekarang, mesiu kembang api kami telah habis.
Dia melihat gawai, menghela napas panjang, lalu berkata bahwa mobil daring yang dipesannya telah menunggu di luar. Lalu dia menyeret satu tas jinjingnya, membawanya keluar, dan melakukan hal yang sama untuk tas jinjing ke dua, dan masuk lagi untuk mencangklong ransel di punggungnya. Sementara dia melakukan semua itu, aku hanya diam sambil merokok. Aku tidak berkata apa-apa. Semua ini memang sudah direncanakan dan mencegah pun percuma.
Lalu dia menghilang.
Aku masih menghabiskan batang rokokku dan kemudian meletakkan puntungnya di dasar asbak. Rumah ini terasa sunyi. Sejak cahaya di wajah istriku hilang, rumah ini terasa sunyi.
Aku menyalakan sebatang rokok lagi.
Lima tahun lalu kami menikah. Kami bertemu di museum sains. Perempuan itu mengawal anak-anak PAUD dan aku memperhatikan caranya menjelaskan fenomena sains dengan bahasa sederhana. Aku memperhatikan gestur tubuh dan pijar wajahnya. Aku tertarik oleh gravitasi yang besar dalam dirinya. Kami berkenalan, dan tiga bulan kemudian menikah.
***
Aku mencintainya. Dia mencintaiku. Kawan-kerabat banyak berkomentar kami pasangan yang harmonis dan sangat intim. Aku dan dia seperti logam dan magnet dan tidak ada celah untuk lainnya.
Dia keluar dari pekerjaannya sebagai guru PAUD—atas permintaanku, dan aku kemudian keluar dari pekerjaanku sebagai guru honorer sekolah dasar—dengan gaji ala kadarnya, dan kami sepakat membuka kafe. Dia suka memasak dan aku suka jajan—perpaduan yang klop untuk membangun usaha kuliner ini. Kafe kami bernama Orbit—gabungan dari nama kami: Orka dan Bita.
Kafe kami tidak terlalu ramai, tetapi cukup untuk membuat kami bertahan dan bisa membayar beberapa karyawan. Sesekali kami pergi menonton bioskop. Sesekali kami mengunjungi perpustakaan. Aku menyukai menonton bioskop dan dia menyukai membaca; kami melakukan semua bersama.
Dia kemudian hamil. Kami bahagia dan mempersiapkan kehadiran bayi kami—tetapi dia keguguran. Itu peristiwa traumatis baginya, tetapi aku selalu di sisinya dan menghiburnya dan menguatkannya dan mengatakan bahwa segala yang terpenting adalah aku dan dia dan hubungan kami.
Ketika kedua kalinya dia hamil, kami melakukan segala cara untuk membuat janin itu kuat sampai kelak saatnya lahir. Kami berkonsultasi ke dokter dan melakukan apa pun yang disarankannya.
Aku katakan kepadanya untuk tidak mencemaskan apa pun; kami akan tetap bersama dan selalu bersama. Dia tampak memahami maksudku, tetapi cahaya di wajahnya tampak meredup.
Dia keguguran lagi; kali ini dia tampak lebih terpukul dari yang pertama. Kali ini dia tampak putus asa. Namun, aku katakan bahwa semua baik-baik saja selama terus bersama.
Lalu pandemi Covid 19 membubarkan keramaian. Kafe kami tutup dan tidak mampu melanjutkan kontrak tempat usaha. Kami bangkrut. Namun, kami masih bisa membuka layanan antar dari rumah.
Pembatasan aktivitas luar rumah yang diterapkan pemerintah membuat kami mempunyai lebih banyak waktu bersama di rumah, tetapi kuingat justru sejak itu cahaya di wajahnya semakin memuram dan kemudian padam.
Seperti kukatakan sebelumnya, aku menemukan cahaya di wajah perempuan lain dan tertarik oleh gravitasinya dan berhubungan diam-diam. Apakah istriku mengetahuinya atau tidak, tidak bisa kupastikan karena, meskipun kami masih berhubungan seksual sebagai kewajiban, tetapi aku tahu ada yang terasa dingin dan kemudian membeku.
Aku menemukan kehangatan perempuan lain, dan itulah barangkali yang membuat reaksiku terlalu datar ketika dia berkata, ”Aku ingin pergi.”
”Ke mana?” tanyaku.
”Aku tidak tahu.”
”Seusai pandemi mungkin kita bisa pergi.”
”Aku ingin sendiri.”
Aku mengangguk begitu saja.
Itulah yang dilakukannya kini. Sejak pagi dia berkemas tanpa bicara dan hanya mengatakan ’akan pergi’. Lalu dia pergi, benar-benar pergi, lepas begitu saja seperti daun kering ditiup angin.
***
Ketika kedua kalinya dia hamil, kami melakukan segala cara untuk membuat janin itu kuat sampai kelak saatnya lahir. Kami berkonsultasi ke dokter dan melakukan apa pun yang disarankannya.
Setelah dia pergi, aku keluar untuk makan. Rasanya seperti berjalan dengan tubuh separuh mati. Makan dengan mulut separuh katup. Duniaku menjadi dunia separuh, tidak utuh.
Meskipun aku sebelumnya berhubungan dengan perempuan lain, setelah dia pergi aku justru tidak ingin melanjutkan hubungan dengan perempuan lain lagi.
Selama hampir dua bulan aku menjalani hidup dengan perasaan asing pada duniaku. Pada hari ke-56, seorang kawan lama mendatangiku. Dia bertanya siapa yang membuat desain gambar dinding kafe kami dulu dan aku menjawab itu kubuat sendiri. Dia bilang aku berbakat dan dia menyukai itu. Dia mempunyai usaha daring dan membutuhkan tukang desain untuk konten media sosial. Lalu dia memintaku mengisi lowongan itu jika mempunyai waktu luang.
”Aku menganggur,” kataku.
”Bayarannya mungkin tidak banyak,” katanya.
”Tidak apa-apa; aku suka mengerjakan desain.”
Pekerjaan membuatku sedikit melupakan kekosongan dalam diriku. Kemudian beberapa orang lain juga memberiku pekerjaan lepas mendesain sehingga aku cukup sibuk, tetapi aku menikmatinya.
Saat-saat tertentu aku berkumpul dengan mereka dan membicarakan gagasan-gagasan kreatif untuk konten berikutnya. Saat-saat lain aku bertemu teman-teman lama dan kami melewatkan waktu bersama: bermain biliar, menonton bioskop, mengunjungi pameran otomotif, menyaksikan pertandingan bola.
Sejauh itu, tidak ada yang bertanya tentang istriku. Apakah mereka sesungguhnya tahu tentang kepergiannya dan tidak menyinggungnya demi perasaanku? Mungkin demikian; aku juga tidak peduli. Yang terpenting adalah aku telah kembali seperti dulu.
Benar bahwa dalam diriku masih ada lubang oleh kepergiannya. Namun, aku pikir sebelum kami menikah hidupku baik-baik saja. Artinya, sesungguhnya setiap kita mempunyai lubang itu, tetapi sebelum bertemu orang yang tepat dan kemudian kehilangan, kita tidak merasa mempunyai lubang.
Meskipun demikian, aku masih sering mengunjungi museum sains itu sekadar untuk kenangan.
***
Baca juga: Ciu dan Durian Tembaga
Lima bulan setelah dia pergi, aku melihatnya lagi di museum sains. Dia bersama sekelompok kecil remaja tanggung, menjadi pemandu mereka. Dia menolehiku sekilas, tetapi tidak ada perubahan apa pun pada roman mukanya seolah aku hanya orang asing seperti pengunjung lainnya. Aku memperhatikan roman wajahnya, ekspresinya, gestur tubuhnya, dan cara bicaranya ketika menerangkan fenomena-fenomena sains pada sekelompok remaja itu.
Aku melihat cahaya di wajahnya. Aku merasakan gravitasi yang besar dari dirinya. Aku berada dekat dengannya sekarang, tetapi dirinya hanya untuk sekelompok remaja itu, menerangkan mengapa gravitasi matahari tidak membuat bumi menubruknya, alih-alih hanya mengelilingi.
”Karena bumi mempunyai inersia,” katanya. ”Gaya ini akan menjauhkannya dari matahari, tetapi ditahan oleh gravitasi sehingga terciptalah orbit yang membuat bumi hanya mengelilingi matahari—tidak menjauh, tidak pula menubruk.”
Dia menoleh padaku sesaat, tanpa ekspresi, lalu kembali pada sekelompok remaja itu.
”Dalam bahasa hubungan,” katanya lagi, dalam nada yang lebih lambat,
”Bumi mencintai matahari, tetapi ia juga mencintai diri sendiri.”
Aku memperhatikan perutnya yang buncit. Kami akan mempunyai anak, pikirku, jika tidak keguguran lagi.
***
Aveus Har, tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mi ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (LABITA). Novel terbarunya berjudul FORGULOS.