Laki-laki di Pohon Kelapa
Laki-laki itu masih berada di pohon kelapa ketika Pak Nurdin datang membawa berita bahwa sapinya tidak ada di kandang setelah digembalakan di sore hari.
Perkara itu terjadi pada masa pemberontakan di Sumatera Tengah. Di masa itu, kami sudah enggan membedakan yang benar dan yang salah. Bagi kami, segenggam beras dan sebiji kelapa lebih berharga daripada apa pun. Di saat itulah, kami menemukan seorang laki-laki di pohon kelapa.
Aku harus mengatakan bahwa pada waktu itu, kami memang tidak mengenali laki-laki di pohon kelapa itu. Tingginya pohon kelapa dan keberadaannya di sela pelepah membuat kami kesulitan untuk menerka. Aku baru mengetahuinya kemudian, bertahun-tahun, setelah orang-orang mulai melupakannya dan memercayaiku sebagai saksi kunci.
Aku ingat, ladang itu dipenuhi belukar dan mulai ditumbuhi tanaman liar. Aku sedang membersihkannya ketika laki-laki itu nyaris mencelakai Daru—si pemilik kelapa yang telah mengupahku.
Aku menduga, laki-laki itu baru saja naik ke pohon kelapa. Barangkali, ia baru memetik sebuah kelapa dan menaruh di pangkuannya. Namun, ketika kedua telapak tangannya menyentuh kelapa lain, kelapa di pangkuannya menggelinding lalu jatuh—tepat di hadapan Daru si pemilik pohon kelapa.
Daru menengadah, lalu mulai memaki seraya mencabut parang dari pinggangnya. Kendati bertubuh kecil, Daru sungguh ditakuti di kampung kami. Ia memiliki suara yang besar dan parang yang panjang, dan selalu membanggakannya. Dengan parang panjangnya, Daru pernah menebas leher adik kandungnya sendiri karena terlibat pemberontakan bersama Tentara Dalam.
”Turun kau, biar kucincang sebatang tubuhmu!” Daru mulai berteriak seraya mengacungkan parang.
Di saat bersamaan, aku melihat suami-istri yang kebetulan melintas di ladang kelapa. Barangkali, mereka baru saja kembali dari ladangnya, dan tak sengaja mendengar Daru yang terus berteriak. Mereka mulai mendekat, ikut menengadah, lantas bertanya, ”Itu siapa?”
Seorang lain juga terlihat melintas dan memutuskan berhenti dan bertanya; tak lama, ada sekelompok orang yang seketika muncul—entah dari mana. Semuanya bertanya sambil menengadah, dan laki-laki di pohon kelapa mulai memalingkan wajah dan berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik pelepah.
Kami yang berdiri di sekitar pohon kelapa mulai berembuk. Kami menduga, laki-laki itu memang sengaja mencuri dan telah berniat mencelakai Daru. Beberapa di antara kami memberi usulan.
”Kita laporkan saja pada kepala dusun.”
”Kita juga bisa meminta bantuan kepada Tentara Luar.”
”Atau aku saja yang menggorok lehernya ke atas sana.” Napas Daru memburu. Ia menghunus tanah dengan parangnya seraya membungkukkan badan, lalu terburu-buru melipat kaki celana. Ia hendak memanjat.
”Maling itu bisa membunuhmu, Daru. Ia bisa saja melemparkan kelapa itu ke kepalamu saat kau mulai memanjat.” Perempuan yang datang bersama suaminya memberi pendapat.
”Kau lebih baik menyalakan unggun dan tunggu saja sampai dia turun.”
Daru telah menyingsingkan celana panjangnya hingga lutut. Ia menoleh—memandangi si perempuan—lalu menatap wajah kami satu per satu. ”Baiklah. Akan kuberikan upah dan akan kutanakkan nasi untuk dua orang yang mau berjaga.”
***
Laki-laki itu masih berada di pohon kelapa ketika Pak Nurdin datang membawa berita. Lelaki tua berkumis putih itu mengabarkan bahwa sapinya tidak ada di kandang setelah digembalakan di sore hari, dan ia bermaksud menanyakannya kepada kami yang sedang duduk mengelilingi api unggun. Namun, kami bergeming.
”Minsilah yang menggembalakan sapiku.” Lelaki tua itu bicara sendiri. ”Sapiku hilang, anak itu tak pula bersua,” Pak Nurdin pun pergi, dan kami sungguh tak peduli.
Tengah malam, Daru memerintahkan kami untuk tidur bergantian. Setelah memintaku agar berjaga duluan, ia pun mulai berbaring di sebelah Karimi, lelaki seusiaku yang selalu mengeluarkan bau busuk dari mulutnya.
Beberapa jam kemudian, aku mendengar gemeresik di pohon kelapa. Aku menengadah dan mencoba mundur beberapa langkah. Barangkali, laki-laki itu telah lelah dan ingin berbaring di atas pelepah. Barangkali, ada gigitan semut rangrang yang memaksanya pindah. Namun, kuat dugaanku, laki-laki itu mencoba memetik sebuah kelapa.
”Ada apa?”
Aku menoleh, dan melihat Daru yang telah duduk di sebelah Karimi. Agaknya, dia juga mendengar gemeresik, lalu bertanya ketika mendapatiku menengadah. Aku berusaha untuk tidak tersenyum, lalu mengalih pandangan pada unggun yang masih menyala—memberi petunjuk padanya: tidak ada apa-apa.
Sembari memandangi api yang terus menari di tubuh kayu, aku mulai membayangkan rupa laki-laki yang terperangkap di atas sana. Aku bayangkan bagaimana ia meringis waktu meremas perutnya saat lapar. Aku bayangkan bagaimana ia memejamkan mata ketika menelan ludahnya di saat haus. Atau ia sudah tidak bisa merasakan apa pun kecuali rasa takutnya pada Daru, yang tentu saja mempunyai keinginan menggorok lehernya. Entahlah. Aku hanya memastikan; ia memiliki tubuh yang lebih tinggi, lebih kurus, dan terlihat kelaparan. Aku menduga, laki-laki itu masih berusia tiga belas tahun.
***
Laki-laki itu masih berada di pohon kelapa keesokan paginya. Mataku terasa berat. Kendati sudah menyepakati untuk tidur secara bergantian, aku tahu tidak seorang pun di antara kami yang terlelap. Karimi kembali menguap dan mengeluarkan bau busuk dari mulutnya. Daru memiringkan tubuh, lalu duduk sambil meludah.
”Ah, dia kembali memetik sebuah kelapa.” Daru telah berdiri dan melangkah perlahan-lahan. Pandangannya seperti mata singa yang sedang mengawasi seekor kera. ”Lihat, coba kau lihat.”
Aku pun menengadah. Kabut yang sedang turun tidak begitu menghalangi pandangan mata. Aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Laki-laki itu sedang meringkuk sambil memeluk buah kelapa. ”Mungkin dia lapar,” kataku. ”Kedinginan.”
Daru meminta pendapat.
Aku terus menengadah, lalu menopang pundakku dengan kedua telapak tangan.
”Atau, kita memang harus memanggil kepala dusun untuk membujuknya turun? Kita–”
”Jangan!” kataku. Sebetulnya, aku bisa saja mencari cara dan memaksa laki-laki itu untuk turun. Namun, pekerjaan akan selesai dan aku akan kehilangan upah dan kembali kelaparan.
”Maksudku, kita bisa saja—”
”Ah, biarkan saja.” Karimi seperti terganggu dan kembali memperbaiki posisi tidurnya. ”Tunggu saja sampai dia turun atau mati kelaparan.”
Daru kembali menengadah, lalu berteriak ke laki-laki di pohon kelapa, ”Kau mati di situ atau kubunuh bila kau turun.”
Laki-laki itu tersentak. Ia tampak bergegas meraih pelepah, dan di saat bersamaan, buah kelapa di pelukannya terlepas dan … bum! Buah kelapa jatuh berdentum! Daru seketika mencabut parang dari pinggangnya; dan Karimi tiba-tiba bangkit seraya memegangi sarung. Di saat itulah Pak Nurdin keluar dari semak-semak.
”Adakah di antara kalian yang melihat sapiku?”
Kami bergeming. Tidak seorang pun yang menanggapi, pun tidak seorang pula yang mengalihkan pandangan. Kami menengadah, dan aku tahu Pak Nurdin pun ikut menengadah. Sementara laki-laki di pohon kelapa tampak memeluk pelepah dengan erat.
”Kaukah itu, Minsi?”
Laki-laki di pohon kelapa memalingkan muka.
”Bila itu memang kau, Minsi, turunlah,” pinta Pak Nurdin, lalu mengalihkan pandangan ke arah Daru yang memanggilnya.
”Apa kau mengenalnya?”
”Sepertinya Minsi. Ia penggembala sapiku.”
”Anak haram Tentara Dalam itu?”
Pak Nurdin bungkam. Ia tahu, Daru membenci Tentara Dalam lebih dari siapa pun.
***
Laki-laki itu telah berada di pohon kelapa selama beberapa hari. Kami pun selalu berjaga hari ke hari. Tapi, siang itu, orang-orang terus berdatangan seperti sekelompok pemberontak yang merampas beras ke rumah-rumah. Mereka ingin menyaksikan laki-laki yang tak kunjung turun itu.
”Itu Minsi!” teriak Pak Nurdin sambil berlari ke arah kami. ”Itu kupastikan Minsi! Dia bukan pencuri!”
Pak Nurdin menghadap Daru, lalu memohon agar si pemilik kelapa mau mengampuni laki-laki itu. Kepada si pemilik kelapa yang masih menggenggam parang, Pak Nurdin meminta maaf dan mengatakan beberapa hal. Pertama, ia akan mengganti semua kelapa yang telah diambil Minsi; kedua, laki-laki itu anak tak beribu dan ayahnya pun baru saja ditembak mati; ketiga, Minsi mengambil kelapa itu hanya karena lapar; keempat ….
”Kau terlambat!” Salah seorang di belakang kami memotong pembicaraan dan meminta kami untuk melihat laki-laki di pohon kelapa. Laki-laki itu tak lagi bergerak, dan seingatku, memang sudah begitu sejak terakhir aku memandangnya. Seseorang yang lain mulai memanggilnya. Ada pula yang memberi ancaman, menakut-nakuti untuk memastikan keadaannya. Namun, laki-laki itu masih terduduk di pelepah dengan wajah yang tengadah.
”Kalian telah membunuhnya!” kata Pak Nurdin.
Aku dan Karimi saling memandangi karena semua orang seketika melihat ke arah kami.
”Ayahnya baru saja mati dan ….” Pak Nurdin seketika membelakangiku dan kembali berhadapan dengan Daru, ”Kalian bertiga telah membunuh yatim piatu!”
Aku melirik Karimi. ”Bukankah ayahnya itu seorang pemberontak?” kataku.
”Sepertinya Pak Nurdin ini mata-mata Tentara Dalam!”
Pak Nurdin tersentak dan kembali menoleh ke arah kami. Perlahan, ia memutar badan dan bersiap memberi sanggahan. Namun, Daru mengalungkan lengannya ke leher Pak Nurdin, lalu menarik parang di genggamannya dengan bengis.
Aku memalingkan wajah dan mendapati Karimi menelan ludah. Seingatku, aku sempat menoleh ke arah Daru dan tubuh Pak Nurdin di hadapannya. Tapi, setelahnya, aku seperti berada di tempat lain selama beberapa waktu. Aku tidak bisa mendengar teriakan atau apa pun dari orang-orang di sekeliling kami. Aku tidak tahu: siapa yang datang setelahnya, siapa yang pergi, dan siapa pula yang telah menggotong tubuh Pak Nurdin.
Di sore hari, orang-orang saling memandangi lantas pergi. Aku sempat mendengar bisikan Karimi dan ia pun pergi. Aku menengadah sejenak, lalu meninggalkan Daru seorang diri.
Sejak saat itu, aku sudah tidak pernah lagi menemui Daru. Kupikir, dia pun telah enggan menjumpaiku. Orang-orang mengatakan, Daru masih menunggu siapa pun yang bersedia diupah untuk membersihkan ladangnya. Namun, tidak seorang pun yang mau datang ke ladang itu, selama bertahun-tahun. Hanya anak-anak, yang kemudian datang mencari tempurung kelapa lalu menendangnya seperti bola. Hingga akhirnya, mereka menemukan tempurung kepala—milik laki-laki yang dibiarkan mati di pohon kelapa.
-
2022
Boni Chandra, lahir di Payakumbuh, 25 Juli 1989. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2015 di Padang Panjang. Pada tahun 2016, ia diundang ke festival internasional Ubud Writer and Reader Festival (UWRF). Cerpennya yang berjudul ”Pabaruak” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ”The Monkey Handler” dan dimuat dalam antologi Tat Tvam Asi (2016). Antologi lainnya berjudul Kulminasi (2017) dan Dari Teluk Kao hingga Negeri Raja-Raja (2019). Saat ini, ia menetap di Pekanbaru.
Krishnamurti Suparka lahir dan menetap di Bandung. Ia tinggal di Australia sejak awal 1990-an, sebelum kembali ke kota kelahirannya pada tahun 2018. Beberapa pameran bersama yang ia ikuti di antaranya Hitam di Grey Gallery Bandung (2023), ICAD dan Mogus Studio (2022), dan Grammars Posters Exhibition (2020). Karyanya telah dikoleksi oleh sejumlah galeri dan koleksi pribadi di Australia, Indonesia, Jerman, Kanada, dan Amerika Serikat. Ia juga mengajar di School of Design Binus Bandung.