Surat untuk Ibu
Sepanjang jalan aku cuma terdiam dengan perasaan mamring, gabungan antara kesedihan, kebingungan, kehampaan, dan ketidakjelasan.
8 Oktober 1987
Berita meninggalnya ibu sungguh mengagetkan. Setahuku kondisi kesehatan ibu di usia 59 tahun itu cukup baik. Ah, sudahlah, itu diperjelas nanti. Yang penting bagaimana cara bisa sampai ke Solo paling lambat besok pagi, dari tempat kerjaku, proyek pengairan di tengah hutan di perbatasan Sumatera Selatan-Jambi ini.
Aku diantar speedboat ke Palembang. Sepanjang jalan aku cuma terdiam dengan perasaan mamring, gabungan antara kesedihan, kebingungan, kehampaan, dan ketidakjelasan. Otakku menerima berita itu, tetapi perasaanku tidak meyakininya. Menangispun aku tak bisa saat itu. Otakku masih mencoba berdamai dengan perasaanku untuk meyakini musibah ini.
Sesampai Palembang, ternyata aku ketinggalan pesawat. Saat itu, biasanya ada lima penerbangan Garuda Palembang-Jakarta. Namun, gara-gara kebakaran hutan yang sering terjadi di kemarau panjang tahun ini, asap hitam tebal mengepung udara Palembang. Akibatnya hanya ada satu penerbangan yang melayani Palembang-Jakarta, dan yang satu itu sudah berangkat setengah jam sebelum aku sampai Palembang, ketika sesaat udara sempat cerah, sehingga memungkinkan pesawat lepas landas. ”Kamu akan diupayakan terbang nanti sore, jam 3-an pakai Merpati ke Bandung. Itupun kalau udaranya memungkinkan buat lepas landas,” ujar Widodo, staf administrasi yang biasanya tak pernah ngomong serius, mendadak menjadi begitu formal kepadaku.
Allah memudahkan langkahku mengantarkan jenazah ibu. Sore itu, tiba-tiba udara di atas Palembang lumayan cerah, paling tidak, cukup ada lubang bebas asap di udara yang mengantarkan pesawat Merpati lepas landas menuju Bandung.
Aku terhenyak lemas di kursi pesawat. Setelah tiga jam diguncang speedboat, disambung ketegangan menunggu kepastian pesawat lepas landas, ragaku terlebih jiwaku sungguh lelah. Saat itulah aku baru sadar, otak dan perasaanku baru mampu sinkron berkoordinasi, sehingga aku pun terguguk menangis menyadari meninggalnya ibu, ”Ada apa nak?” tanya penumpang sebelahku, seorang ibu seusia ibuku. ”Ibu saya meninggal Bu,” jawabku menahan tangis.
**
Baca juga: Perempuan Hujan
Kami biasa mendapat jatah weekend ke Palembang setiap dua minggu sekali. Biasanya Sabtu pagi berangkat dan Senin pagi balik ke camp site lagi. Dua minggu sebelum meninggalnya ibu, aku mendapat jatah weekend. Seperti biasanya, aku menghabiskan weekend dengan jalan-jalan, nonton film dan makan empek-empek bersama teman-teman kerja.
Ketika Senin pagi, kepulangan kami ke camp site agak tertunda karena Team Leader masih ada urusan tagihan di Kantor PU, pemilik proyek kami. Tiba-tiba ada surat buatku dari calon istriku, Putranti, lewat surat kilat khusus. Ia mengabarkan, aku mesti kirim uang secepatnya untuk membayar down payment calon rumah kami di Bekasi.
Aku pun bergerak cepat, membuat surat ke adikku Palupi yang masih kuliah di Solo, yang selama ini menampung gajiku di tabungannya, untuk segera mentransfer sejumlah uang ke Putranti di Jakarta buat membayar DP calon rumahku itu. Suratku singkat, cuma dua paragraf, dan aku tutup dengan kalimat singkat, ”Sungkem katur ibu.” Aku tak sempat lagi menulis surat buat ibu untuk memperjelas hal ini, tidak cukup waktu karena kami mesti segera berangkat ke camp site untuk memulai lagi rutinitas proyek, dan aku menitipkan surat ke sopir agar diposkan.
Di camp site, ada punya banyak waktu untuk menulis surat. Aku menulis surat untuk ibu, menjelaskan panjang lebar bahwa akhirnya kami berdua memilih rumah Bekasi ketimbang Depok, karena lebih sesuai bagi kami, bagi dari segi harga maupun kemudahan menjangkau tempat kerja Putranti di Departemen Transmigrasi, Kalibata, Jakarta Timur. Surat itu aku titipkan ke teman yang mendapat jatah weekend ke Palembang Sabtu berikutnya, untuk diposkan.
Hari Senin, ketika teman-teman pulang weekend, mereka membawakan dua surat buatku dari Putranti dan dari Mbak Ningrum, mbakyuku yang tinggal di Solo bersama ibu dan adikku. Putranti mengabarkan, uang DP sudah diterima dan sudah dibayarkan ke developer. Sementara surat dari Mbak Ningrum membuatku tidak nyaman.
Assalamualaikum adikku Suryo,
Semoga kamu sehat-sehat saja di tempat kerja. Dik Suryo, kemarin itu ibu tersinggung setelah membaca surat singkatmu ke Palupi, yang minta dia kirim uang DP untuk Putranti. ”Dupeh duite dewe, ibune ora dijaluki pertimbangan2,” begitu kata ibu. Sepanjang hari itu ibu diam saja di kamarnya, ngambek. Besok ibu mau ke Semarang, nungguin anaknya mbakyumu, yang baru lahir.
Mbak tahu kamu tentu tidak bermaksud seperti itu. Coba kamu jelaskan alasanmu mengapa kamu seperti tidak nganggap ibu seperti itu. Kamu jelaskan dengan hati-hati ya Sur, ibu memang agak sensitif akhir-akhir ini. Beberapa kali sempat tersinggung kepadaku maupun Palupi.
Segitu dulu suratku, hati-hati bekerja di hutan
Kakakmu yang selalu menyayangimu
Ningrum
Kaget aku membaca surat itu. Untunglah, aku sudah berkirim surat kepada Ibu menjelaskan persis seperti yang diminta mbak Ningrum. Surat itu tentu sedang dalam perjalanan ke Solo. Semoga Ibu segera membacanya. Aku paham betul karakter ibu, yang sangat tersinggung bila eksistensinya tidak diakui. Sungguh tak nyaman mengetahui ibu sedang memendam rasa seperti itu.
**
Sekitar pukul 16.30 pesawat Merpati yang membawaku, mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Tanpa pikir panjang, aku memanggil taksi untuk mengantar ke terminal bus. Widodo telah membekaliku uang cukup untuk perjalanan pulang ke Solo ini.
Ketika akhirnya aku dapatkan bus ”Bandung Cepat” bercat hijau jurusan Bandung-Solo, nalarku semakin mapan. Sepanjang jalan--sebelum akhirnya tertidur--aku mengira-ira apa yang terjadi dengan ibu, dan apakah ibu sudah sempat membaca suratku?
Bus yang kutumpangi sampai Solo sekitar pukul 3 dini hari. ”Sing sabar ya le, ibumu insya Allah husnul khatimah,” ucap Paklik Har, adik ibu nomor tiga, menyambut kedatanganku di halaman rumah. ”Iya paklik, insya Allah saya tabah kok,” jawabku tak yakin. Aku pasrah dituntunnya mendekat ke jenazah ibu yang terbaring di ruang tamu. Aku terpana, ibu tampak cantik dalam balutan kain kafan, di usianya menjelang 60. Ibu memang selalu tampak cantik dan anggun sepanjang hidupnya. Bahkan ibu tetap mampu mempertahankan keanggunannya ketika diomeli pedagang beras di pasar karena belum sanggup membayar utang.
Empat saudara-saudara kandungku yang semua perempuan, menyambut kedatanganku dengan isak tertahan. ”Mbak Ningrum, ibu sudah membaca suratku kah?” tanyaku waswas pada mbak Ningrum yang memelukku. ”Ibu sudah tidak marah kok, malah ibu dengan bangga cerita ke tetangga-tetangga dan teman pengajian kalau kamu sudah bisa beli rumah,” jelas mbak Ningrum membuat hatiku tenang.
Ternyata ibu meninggal di rumah kakakku di Semarang, mbak Ratih, karena stroke, pembuluh darah di otak pecah sehingga ibu tak sanggup bertahan lagi. Ibu memang mengidap penyakit tekanan darah tinggi. Kalau di rumah dan merasa tensinya naik, ibu akan langsung pergi ke Mantri Suharto, sekitar 200 meter dari rumah kami. Biasanya disuntik, istrirahat sehari semalam dan besoknya sudah sehat kembali. Mungkin di Semarang, di tengah repotnya ngurusin cucu, ibu tak tahu harus berobat ke mana, dan akibatnya fatal.
Baca juga: Kemuning
Siang itu, ibu dimakamkan di samping ayah yang meninggal 12 tahun sebelumnya, di makam keluarga Pracimaloyo. Ayah, dengan berbekal Bintang Gerilya, seharusnya bisa dimakamkan di Makam Pahlawan. Namun, keluarga memilih dimakamkan di makam keluarga, dengan upacara militer.
Ibu pun dimakamkan dengan upacara semi militer yang digelar oleh para anggota Korps Veteran Surakarta. Memang, beberapa tahun lalu, ibu akhirnya tercatat menjadi anggota Veteran, bukan lagi sekadar istri Veteran. Bertahun-tahun ibu memang menjabat sebagai ketua organisasi isteri Veteran di Solo, namun itu tak cukup memuaskan hatinya.
”Aku sendiri seharusnya anggota Veteran. Memang dulu ibu resminya tercatat sebagai anggota Palang Merah, bukan Laskar Wanita, makanya tidak bisa menjadi anggota Veteran. Tapi tugasku tidak kalah berat dibandingkan Laskar Wanita. Aku sering menyelundupkan peluru dari kota ke pasukan gerilya, disembunyikan di dalam jadah yang kugendong, pura-pura jualan jajanan. Kalau ketangkap pasukan Belanda, mati aku, atau diperlakukan lebih buruk daripada kematian,” ujar ibu berapi-api dan diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Ibu bertemu jodoh dengan ayah juga di medan perjuangan. Cerita romantisisme mereka turut mewarnai dinamika perjuangan di Solo ketika itu.
Maka ketika para anggota Veteran yang usianya kisaran 60-an itu berbaris melangkah pelan, mengiring jenazah ibu ke liang lahat, aku cuma bisa membayangkan betapa bangganya bila ibu bisa menyaksikan semua ini.
**
Kemarin itu ibu tersinggung setelah membaca surat singkatmu ke Palupi, yang minta dia kirim uang DP untuk Putranti. ’Dupeh duite dewe, ibune ora dijaluki pertimbangan2,’ begitu kata ibu. Sepanjang hari itu ibu diam saja di kamarnya, ngambek. Besok ibu mau ke Semarang, nungguin anaknya mbakyumu, yang baru lahir.
Tiga bulan setelah ibu wafat, aku pulang cuti ke Solo. Selain berziarah ke makam kedua orangtuaku, aku pun bermaksud membicarakan kelanjutan rencana perkawinanku dengan saudara-saudara kandungku, setelah ibu tidak ada. Agak gamang rasanya menikah tanpa satu pun orangtua di sampingku.
Siang itu, sepulang dari makam, aku masuk ke kamar ibu. Aku lihat lemari ibu terbuka, mungkin Mbak Ningrum lupa menutup kembali setelah mengambil sesuatu. Aku menghampiri lemari itu, dan meraba tumpukan pakaian ibu. Ketika tanganku menggeratak tumpukan pakaian itu dengan perasaan haru biru, sesuatu terjatuh dari sana: sepucuk surat.
Aku tersentak, langsung mengenali itu suratku yang terakhir aku kirim ke Ibu. Subhanallah, surat itu masih rapi, lemnya masih terekat sempurna, dan tak sejumput pun sobekan di sana. Berarti???
Suara isak tertahan terdengar dari belakangku. Mbak Ningrum berdiri di sana sambil memegang daun pintu. ”Suratmu datang ketika ibu sudah berangkat ke Semarang. Maafkan aku tidak mengirim surat itu ke Semarang, karena rencananya ibu hanya seminggu di sana.”
Bekasi, 8 Oktober 2022
***
Catatan:
1. Mamring: perasaan sunyi, hampa (bahasa Jawa)
2. Dupeh duite dewe, ibune ora dijaluki pertimbangan: Mentang-mentang uangnya sendiri, ibunya tidak dimintai pertimbangan.
3. Le: dari kata tole, panggilan sayang untuk anak laki-laki.
Budi Setyanto,lahir di Solo 22 Agustus 1961. Setelah lulus dari IPB pada 1994, ia bekerja di Proyek Pengairan Pasang Surut Sumatera Selatan selama empat tahun, kemudian menjadi wartawan di Majalah Warta Ekonomi (7 tahun), Majalah Panji (5 tahun), dan Koran Jurnas (7 bulan), kemudian bekerja freelance sebagai penulis buku-buku korporat hingga saat ini.