Pada hari yang tak disangka-sangka, Diman, seorang pemuda berperawakan kurus tinggi dengan dua gigi seri atas yang menonjol, mendatangi Kiai Makdum. Dengan suaranya yang sengau, Diman mengeluh kepada sang Kiai. Betapa Tuhan itu menyebalkan. Ia, pemuda itu, merasa diolok-olok Tuhan yang memberinya dua gigi seri atas yang menonjol dengan bibir sumbing. Selain membuat tampangnya begitu lucu bagi kebanyakan orang di Jatimaras, dua bagian tubuhnya itu membikin suaranya sengau. Orang-orang yang berbicara dengannya pasti akan menyunggingkan senyum geli bahkan menahan tawa, meskipun Diman sama sekali tidak melawak atau bertingkah lucu. Gigi seri, bibir sumbing, dan suara khasnya membuat Diman ditertawai sejadi-jadinya oleh seisi kampung, terutama anak-anak dan gadis-gadis yang ia goda ketika lewat. Maka jadilah Diman dijuluki Diman Sumbing.
Dengan senyum seorang sepuhnya yang khas, sang Kiai mengangguk-angguk tatkala mendengarkan Diman berbicara. Sebagai seorang pemuka agama yang disegani di Jatimaras, tentu Kiai Makdum sebisa mungkin berusaha mengendalikan sikapnya di depan Diman. Akan tetapi entah apa yang ada dalam pikirannya, Kiai Makdum terus-terusan menyunggingkan senyum. Barangkali senyumnya merupakan bentuk keramahan dan kebijaksanaan seorang sepuh? Atau barangkali pula Kiai Makdum juga tergelitik oleh suara sengau lawan bicaranya? Tak ada yang tahu. Diman sendiri tak ambil pusing. Yang Diman tahu, Kiai Makdum pasti punya jalan keluar. Dengan suara sengaunya yang membikin orang mengernyitkan dahi dan menahan tawa, Diman mengajukan satu pertanyaan kepada Kiai Makdum: di manakah Tuhan berada. Diman ingin betul bertatap muka dan menuntut pertanggungjawaban Tuhan yang telah memberinya gigi seri atas yang menonjol, bibir sumbing, dan suara sengau. Ia tidak ingin jadi bahan lelucon orang lagi.
Tentu pertanyaan Diman yang begitu berani dan menantang membuat Kiai Makdum berhenti menyunggingkan senyum. Bibir Kiai Makdum terkatup rapat. Kelopak matanya yang keriput begitu saja memejam. Dengan satu tarikan napas panjang, Kiai Makdum kembali membuka kelopak matanya dan menatap Diman lekat-lekat. Sebagai seorang pemuka agama yang disegani di Jatimaras dan telah berpengalaman menjawab berbagai pertanyaan keagamaan, terutama tentang Tuhan, Kiai Makdum merasa berkepentingan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Diman. Meski demikian Kiai Makdum cukup paham, orang seperti Diman, meskipun polos, tak akan puas begitu saja jika diberikan jawaban berupa ayat-ayat kitab suci atau riwayat nabi karena perlu bukti nyata yang bisa diindera. Kiai Makdum pun memerlukan sedikit waktu untuk berpikir, sedikit saja.
”Betul kau ingin tahu, Man?”
”Sungguh, Yai.”
Setelah satu tarikan napas panjang, Kiai Makdum bangkit dari duduknya dan menepukkan tangan kanannya ke bahu kiri Diman. Matanya yang mulai redup karena usia memandang jauh ke luar melintasi deretan pohon randu alas di tepi jalan menuju persawahan yang berjarak 100 meter dari rumahnya.
Dari beranda depan rumahnya, Kiai Makdum mengarahkan pandang matanya pada satu-satunya pokok trembesi yang menjulang di antara deretan randu alas di sisi jalan itu. Kiai Makdum berkata bahwa di pokok trembesi itu Diman bisa bertemu langsung dengan Tuhan. Hanya saja butuh keberanian tingkat tinggi untuk bertemu dengan-Nya. Untuk bertemu Tuhan, Diman hanya perlu memanjat pohon setinggi 12 meter itu sampai pucuk dan memberanikan diri mengempaskan tubuhnya ke tanah. Demikianlah petunjuk sang Kiai sambil mengembangkan senyum pada wajah sepuhnya yang teduh. Kiai Makdum berharap Diman bakal memahami maksud ucapannya. Kiai Makdum bermaksud menghentikan Diman untuk menanyakan keberadaan Tuhan dan berkeinginan menemui-Nya sebab barangkali satu-satunya cara bersitatap dengan Tuhan adalah melalui kematian. Sayang yang di hadapannya adalah Diman, pemuda kampung yang tak paham isyarat. Yang Diman tahu, Kiai tahu segala hal dan bisa dipercaya.
Seperti kebanyakan orang Jatimaras, Diman begitu mempercayai Kiai Makdum sebab kiai adalah ulama, para pewaris nabi. Ia percaya begitu saja dan bermaksud melakukan apa yang disarankan oleh Kiai Makdum tanpa perlu timbang pikir. Maka tepat ketika bulan sabit bertengger di puncak langit dan membentuk bayangan terkecil dari setiap wujud yang disinarinya, Diman memanjat pohon itu sampai pucuk dan mengempaskan tubuhnya ke tanah. Karena sarungnya yang belum dibasuh selama satu minggu dan berlubang di sana-sini tersangkut dahan trembesi, tubuh Diman tak langsung jatuh ke tanah. Hanya saja kepalanya terbentur batang pohon. Diman tak sempat meringis kesakitan sebab benturan keras membuatnya langsung tak sadarkan diri dan tergantung di dahan trembesi.
Dalam ketidaksadarannya, ia merasa bertemu tuhan. Entah tuhan yang mana, ia sendiri tak pernah tahu. Yang Diman tahu, Kiai Makdum tak mungkin berbohong. Maka, apa dan siapa pun yang ia temui tepat setelah jatuh dari pucuk pokok trembesi adalah tuhan, seperti kata Kiai Makdum.
Esok harinya, orang-orang Jatimaras geger. Diman si pemuda sumbing mengaku telah bertemu Tuhan. Ia mengatakan bahwa Kiai Makdumlah yang telah memberinya petunjuk untuk bertemu Tuhan. Karena membawa-bawa nama Kiai Makdum, orang-orang Jatimaras tak berani membantah. Maklum, bagi orang-orang Jatimaras, kiai bukanlah sembarang orang. Sebagai pewaris nabi, perkataan kiai mengandung tulah dan nubuat. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi rumah Kiai Makdum dan memintanya untuk membeberkan cara bertemu Tuhan. Sang Kiai tak habis pikir, isyaratnya kepada Diman telah membuat seisi kampung geger. Kiai Makdum hanya diam. Orang-orang semakin penasaran. Dengan senyum seorang sepuh, Kiai Makdum meminta salah satu warga memanggilkan Diman untuknya.
Diman, pemuda yang dikabarkan telah bertemu Tuhan di pokok trembesi, menghadap sang Kiai tak lama kemudian. Kedatangannya diiringi sorak sorai orang-orang yang menganggapnya sebagai seseorang yang mendapat karunia dan keajaiban karena bertemu Tuhan atas petunjuk sang Kiai. Entah karomah apa, tak seorang pun yang Tahu. Yang orang-orang Jatimaras tahu hanyalah Diman jatuh dari pucuk trembesi tanpa mati dan bersitatap dengan Tuhan seorang diri. Kenyataan bahwa Diman masih hidup dengan kepala benjol pun sudah cukup bukti. Itu cukup ajaib. Sebagai orang yang mengalami peristiwa ajaib atas petunjuk Kiai Makdum, Diman mendapat julukan baru: Wali Sumbing. Diman dianggap sebagai seorang sumbing yang memperoleh pencerahan di pucuk pokok trembesi. Betul wali atau bukan, orang-orang Jatimaras tak betul-betul tahu. Yang mereka tahu bahwa Diman berhasil bertemu tuhan berkat petunjuk Kiai Makdum.
Di hadapan Kiai Makdum Diman menampakkan senyum bangga. Pandang matanya berbinar. Dua gigi seri atasnya yang menonjol terlihat berkilat memantulkan sinar matahari yang masuk melalui celah atap beranda rumah Kiai Makdum. Sorot mata Diman menyiratkan kebanggaan sekaligus rasa terima kasih yang dalam kepada Kiai Makdum. Dalam hatinya, Diman menganggap Kiai Makdum sebagai seorang yang ajaib. Barangkali semacam guru para wali atau mursyid. Atas petunjuk Kiai Makdum, Diman berhasil bertemu tuhan. Entah tuhan yang mana. Tak seorang pun tahu. Yang Diman tahu hanyalah Kiai Makdum tidak mungkin berbohong.
Kiai Makdum tersenyum mendapati Diman di hadapannya. Diman dipersilakannya duduk di kursi beranda. Warga yang penasaran dengan percakapan Diman dan Kiai Makdum terus berdatangan. Halaman rumah Kiai Makdum mendadak penuh sesak seperti pasar malam. Di luar, orang-orang hanya berani berbisik sebab takut suara dari dalam tak kedengaran. Di dalam, Kiai dan Diman saling berhadapan. Tanpa aba-aba Diman bersungkur di hadapan Kiai Makdum dan mencium tangannya. Tanpa Diman katakan, Kiai Makdum paham betul bahwa Diman berterima kasih kepadanya. Kiai Makdum menarik napas dalam-dalam dan menepuk pundak Diman.
”Betul kau bertemu Tuhan, Man?”
”Tidak salah, Yai,” jawab Diman penuh keyakinan.
Kiai Makdum tertegun melihat sorot mata Diman. Betapa Diman yakin betul itu Tuhan. Kiai Makdum merasa dadanya mendadak begitu sesak. Dalam hatinya ia merasakan perasaan yang begitu rumit. Ia ingin betul menyangkal pengakuan Diman bahwa yang ditemuinya belum tentu Tuhan. Pada satu sisi, jika ia lakukan itu tentu Diman dan orang-orang Jatimaras bakal kecewa betul sebab petunjuk dari dirinya tidak seampuh yang mereka harapkan. Pada sisi yang lain mereka juga tidak akan percaya begitu saja perkataan Kiai Makdum sebab yang dialami Diman sesuai petunjuk Kiai Makdum sendiri. Bagaimana mungkin Kiai Makdum tega membohongi Diman, seorang pemuda sumbing yang sekadar bertanya soal Tuhan. Pada sisi lain lain lagi membiarkan Diman dan orang-orang Jatimaras meyakini bahwa Tuhan menemui Diman di pokok trembesi pun tidak mungkin ia benarkan meskipun ia sendiri tidak tahu itu tuhan atau bukan. Selidiknya soal wujud tuhan kepada Diman pun tak akan membuahkan apa-apa.
Dalam kepala Kiai Makdum berpusing berbagai pikiran. Membenarkan pengakuan Diman yang bertemu tuhan merupakan suatu kebohongan. Akan tetapi mengungkap ketidakbenaran pengakuan Diman pun akan dianggap kebohongan. Orang-orang akan menganggap petunjuk Kiai Makdum adalah kebohongan. Dan itu tidak kalah mengegerkan.
”Betul itu Tuhan, Man?” Raut wajah Kiai Makdum menyelidik.
”Yai sendiri yang bilang,” jawab Diman penuh keyakinan.
Baca juga: Bocah di Jembatan Sungai Ular
Wajah Kiai Makdum yang biasanya teduh dan penuh kedamaian mendadak pucat tegang setelah mendapati jawaban Diman yang penuh keyakinan. Butiran keringat dingin mulai menetes dari dahi Kiai Makdum yang keriput dan kusam. Sebagai seorang pemuka agama yang disegani di Jatimaras dan telah berpengalaman menjawab berbagai pertanyaan keagamaan, terutama tentang Tuhan, Kiai Makdum merasa berkepentingan untuk membuktikan sendiri pengalaman Diman.
”Bagaimana caramu bertemu Tuhan, Man?” Tanpa sadar Kiai Makdum melontarkan pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan Diman kepada dirinya sendiri. Yang ditanya ternganga. Diman menjawab persis seperti yang dikatakan Kiai Makdum kepada dirinya tempo hari. Dalam hatinya, Diman betul-betul heran mendapati pertanyaan Kiai Makdum. Bagaimana mungkin Kiai Makdum lupa bahwa ia sendiri yang memberitahu Diman cara bertemu Tuhan. Diman bertemu sosok yang dijanjikan Kiai Makdum. Apa atau siapa pun yang ditemuinya dalam mimpi adalah Tuhan. Sebab ia dan orang-orang Jatimaras percaya, Kiai Makdum tidak akan bohong dan menyesatkan mereka. Kiai adalah pewaris para nabi bagi orang-orang Jatimaras.
Maka tepat ketika bulan sabit hampir menyentuh puncak langit dan menimbulkan bayang-bayang deretan pohon randu alas di sisi jalan menuju persawahan Jatimaras, pintu rumah Kiai Makdum terbuka. Dengan satu tarikan napas panjang, Kiai Makdum meneguhkan hatinya untuk bertolak menuju pokok trembesi itu. Ia ingin membuktikan pengakuan Diman yang bertemu Tuhan atas petunjuknya sendiri. Ia ingin mencapai puncak pohon trembesi dan mengempaskan tubuhnya sendiri. Ia ingin tersangkut dahan dan tak jadi mati. Ia ingin memburu tuhan atas petunjuknya sendiri.
Angin malam yang berembus menjadi saksi tirakat Kiai Makdum memburu tuhan yang ditemui Diman. Keteguhan hati Kiai Makdum membuat tubuhnya serasa muda kembali. Tanpa tarikan napas dalam dan ancang-ancang lebih dahulu, tubuh Kiai Makdum begitu saja menyatu dengan pokok trembesi. Yang mengherankan bahwa dengan tubuh sepuhnya Kiai Makdum berhasil sampai di pucuk pokok trembesi. Sesampainya di sini, tak ada yang tahu apa yang bakal terjadi.
***
A Rantojati,lahir di Cirebon pada 15 Agustus 1992. Ia menulis cerita pendek dan puisi. Selain membaca, ia juga gemar menatap langit dari balik kaca jendela. Sejumlah puisinya terhimpun dalam Buku Nasib (2015) dan Merayakan Pagebluk (2020). Ia bisa disapa melalui akun Instagramnya, @anto.rantojati.