Bocah di Jembatan Sungai Ular
Bertahun-tahun yang lalu, hanya anak-anak yang tak takut pada sabetan ranting kayu ibunya yang berani bermain di bawah jembatan itu. Sering anak-anak hanyut karena nekat mandi di situ dan menjadi mayat ketika ditemukan.
Sebuah mobil SUV hitam berjalan lambat. Kacanya ditutup rapat-rapat. Pengemudi di dalamnya tak menghiraukan bocah yang mengikutinya dengan setengah berlari, dan tetap menginjak pedas gas mobilnya dengan pelan seraya menghindari lubang di sana-sini. Begitu tiba di seberang jembatan, mobil itu melaju sekencang-kencangnya. Si bocah menatap mobil itu mengecil diremas jarak, dengan cangkul yang ditopang di atas pundaknya.
Jembatan itu menghubungkan jalan lintas Sumatera di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sekitar 200 meter di sebelah selatan, paralel dengan jembatan jalan itu, ada jembatan jalur kereta api dengan ornamen besi melengkung membentuk separuh oval. Dari atas jembatan itu, corong pabrik kelapa sawit Adolina tampak menjulang di sebelah timur. Corong pabrik itu mengepulkan asap pekat saban pagi dan petang. Di bawah jembatan, air Sungai Ular tampak keruh.
Bertahun-tahun yang lalu, hanya anak-anak yang tak takut pada sabetan ranting kayu ibunya yang berani bermain di bawah jembatan itu. Sering anak-anak hanyut karena nekat mandi di situ dan menjadi mayat ketika ditemukan. Orang-orang bilang bahwa mereka menjadi santapan sepasang buaya putih yang bermukim di sana. Kenyataannya, buaya putih itu hanyalah mitos yang disebarluaskan untuk mengaburkan fakta sejarah mengenai pembantaian orang-orang yang menjadi korban politik Orde Baru—mereka yang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia dan para pendukungnya.
Selama ratusan tahun, sungai itu menjadi sumber kehidupan bagi warga puluhan desa di wilayah Deli Serdang, sebelum Serdang Bedagai mekar. Banyak warga menggantungkan hidup pada sungai itu, terutama para petani. Di sungai itu juga, dulu warga sering menangkap ikan atau udang. Sekarang, kecuali airnya yang masih tetap dipakai untuk mengaliri sawah dan menyirami ladang singkong yang ditanam oleh para petani penggarap di sepanjang bantaran, sungai itu nyaris sepenuhnya beralih fungsi menjadi lahan tambang pasir illegal. Tambang pasir itu beroperasi dengan leluasa atas izin dari pejabat setempat.
Para penambang pasir itu semula mengeruk pasir secara tradisional dengan menggunakan tapisan yang biasa dipakai untuk menyiangi beras. Belakangan, keberadaan pasir yang melimpah di sungai itu membuat pemodal tergiur, lalu mereka menyediakan puluhan mesin penyedot berbahan bakar minyak. Dengan alat itu, dalam sekejap berton-ton pasir menggunung di pinggir sungai. Puluhan truk hilir mudik setiap hari mengangkut pasir yang masih setengah basah. Berat beban truk-truk itu membuat akses jalan menuju sungai menjadi rusak tak karuan. Residu minyak yang merembes keluar dari mesin penyedot pasir membuat air sungai berminyak dan kian keruh dari hari ke hari. Daratan-daratan kecil terbentuk di sana-sini di tengah sungai akibat penambangan tak berkesudahan.
Sudah sejak pagi bocah itu berada di jembatan itu. Ia belum makan. Yang ia telan hanyalah dua buah ciplukan setengah matang yang ia petik di pinggir sungai di bawah jembatan. Perutnya semakin keroncongan karena pengaruh asam ciplukan. Ia ingin makan, tapi ia belum mendapatkan uang.
Bocah itu memakai kaos berwarna hitam kelabu yang sudah belel dan kerahnya mengeriting karena terlalu sering dicuci. Celana pendek merah yang memadu kaosnya adalah celana yang dulu ia pakai saat sekolah. Ia bertelanjang kaki dan memakai topi sekolah dasar berlambang Tut Wuri Handayani yang telah kumal dan tak lagi berwarna merah. Topi itu terakhir kali ia pakai saat upacara bendera lewat setahun yang lalu sebelum ia berhenti sekolah. Ibunya tak sanggup membiayai sekolahnya. Iuran bulanan di sekolahnya terus naik dan buku-buku paket pelajaran terus berganti setiap tahun mengikuti perubahan kurikulum, dan ia diwajibkan membeli jika ingin mendapat nilai bagus.
Bocah itu menunggui kendaraan yang melintas. Dengan cangkul yang lebih tinggi dari badannya, ia menimbun lubang-lubang yang ada di jembatan itu dengan tanah. Jembatan itu sebenarnya sudah berkali-kali diaspal, namun kondisinya tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan. Aspal akan segera terkelupas seperti lapisan cokelat yang lepas dari kue brownies.
Ketika ada kendaraan yang melintas, bocah itu akan mencangkul dan meratakan tanah untuk menutupi lubang, lalu cepat-cepat menadahkan topinya. “Pak, seikhlasnya, Pak… Bu, seikhlasnya, Bu…,” katanya.
***
Bocah itu melakoni pekerjaan sebagai penambal lubang di jembatan Sungai Ular sejak setahun yang lalu, saat masih berstatus sebagai siswa di sebuah SD negeri di Desa Sukamandi Hulu, Pagar Merbau. Suatu siang, dalam perjalanan pulang dari sekolah, ia menyingkirkan batu-batu kerikil dan pecahan aspal yang berserakan di jembatan dengan kakinya, dan menutupi lubang dengan pasir yang tumpah dari bak truk pengangkut pasir. Terharu melihat penampilan kumalnya melebihi tindakan heroiknya, seorang pengendara mobil Starlet lawas berwarna merah menghentikan laju dan memanggilnya, memberinya selembar uang Rp 50 ribu.
“Jangan main di sini, Dik. Bahaya!” pesan pengendara itu seraya mengulurkan uang. Bocah itu mengangguk dengan wajah polosnya. Senyum riangnya menampakkan gigi ompongnya.
Saat tiba di rumah, ia tak mempermasalahkan ibunya yang belum memasak lauk. Dengan uang itu, ia mengisi perut keroncongannya dengan bakso bakar—jajanan kesukaannya. Sisa uang yang ia pegang ia berikan kepada ibunya yang lantas memeluknya erat sambil menangis.
Bocah itu melakoni pekerjaan sebagai penambal lubang di jembatan Sungai Ular sejak setahun yang lalu, saat masih berstatus sebagai siswa di sebuah SD negeri di Desa Sukamandi Hulu, Pagar Merbau. Suatu siang, dalam perjalanan pulang dari sekolah, ia menyingkirkan batu-batu kerikil dan pecahan aspal yang berserakan di jembatan dengan kakinya, dan menutupi lubang dengan pasir yang tumpah dari bak truk pengangkut pasir.
Keesokan harinya, ia mengulangi tindakannya. Namun kali itu, tak ada pasir yang tumpah dari bak truk pengangkut pasir sehingga ia tak bisa menutupi lubang. Siang itu, ia memang memperoleh pemberian dari seorang pengendara motor Astrea Star setelah berjam-jam berdiri di sana, namun hanya Rp10.000. Pemotor itu memberinya uang karena kasihan melihatnya celingak-celinguk seorang diri di jembatan seperti anak pengemis yang ditinggal ibunya.
Setelah siang itu, ia sempat berhenti mencari uang di jembatan itu selama dua minggu. Sampai pada suatu pagi, dalam perjalanan berangkat ke sekolah, gagasan cemerlang melintas di kepalanya. Di bantaran sungai, terlihat olehnya tanah gembur. Tanah itu menjadi gembur seusai petani penggarap memanen singkong yang mereka tanam dan bersiap-siap memulai untuk menanam yang baru. Di ujung sebelah barat tanah gembur itu ada plang bertuliskan ‘Tanah Ini Milik Pemerintah’, namun ia tak peduli. Dalam benaknya, ia mengira pemerintah adalah manusia, tetapi manusia yang bernama pemerintah itu tak pernah ia rasakan kehadirannya. Karena itulah, ia tidak takut sama sekali dengan peringatan di plang itu.
Bermodal cangkul yang biasa dipakai oleh ibunya untuk menimbun tahi selepas buang hajat di samping gubuk mereka, siangnya ia berangkat dengan membawa karung bekas kosong. Karung bekas itu ia isi dengan tanah gembur yang ia ambil dari lahan di pinggir sungai berstatus milik pemerintah itu. Tubuh kecilnya mengangkut karung berisi tanah ke atas jembatan. Itulah awal mula ia berhenti sekolah. Ia masih duduk di bangku kelas 5 saat namanya dicoret dari daftar siswa.
Tanah itu kemudian ia tuang ke beberapa lubang yang ada di jembatan. Melihat jumlah dan ukuran lubang yang ada, satu karung tanah jelas tak cukup. Bahkan, satu lubang saja pun tak bisa ditutup dengan pejal hanya dengan satu karung tanah. Menyadari hal itu, ia tersenyum karena itu berarti ia bisa terus bekerja di jembatan itu selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dan memperoleh banyak uang dari para pengendara yang lewat. Pada akhirnya, ia benar-benar melupakan sekolahnya. Ibunya, yang tak bisa bekerja apa-apa karena diserang penyakit lupus semenjak ditinggal mati oleh ayahnya, tak bisa melarangnya untuk mencari uang.
***
Setahun menjadi penambal lubang di jembatan itu, pengendara yang bermurah hati padanya semakin sedikit. Dalam sehari, tidak tentu ada pengendara yang memberinya uang. Sementara bocah penambal lubang di jembatan itu semakin bertambah. Anak-anak lain itu mengikuti jejaknya karena tergiur dengan uang yang bisa mereka peroleh. Setiap hari, setidaknya ada empat hingga lima bocah penambal lubang di jembatan itu selain dirinya. Namun, bukan karena kehadiran pesaing yang membuat penghasilannya berkurang. Penyebabnya lebih karena para pengendara yang melintas di jembatan itu lama-lama tahu bahwa bocah-bocah itu tak sungguh-sungguh menimbun lubang. Di jembatan itu, masih banyak lubang lain yang sama sekali tak ditutupi. Bocah-bocah itu hanya sekadar mengulang-ulang menutup dan membongkar tanah di lubang-lubang yang sama setiap hari. Dan semakin hari, bocah-bocah itu semakin tak sungkan meminta-minta uang, membuat para pengendara kehilangan rasa iba.
Baca juga: Lelah Digantung
Suatu petang, ketika ia baru memperoleh Rp4.000 dan hanya tinggal ia seorang di jembatan itu, ia bertemu dengan beberapa pria yang mengenakan pakaian dan helm proyek. Mereka tampak sedang melakukan pengukuran di jembatan itu.
“Hei, sedang apa kau di situ?” bentak salah seorang dari mereka.
“Untuk apa kau pegang-pegang cangkul?’ timpal rekannya.
“Untuk menutup lubang, Pak.”
“Tidak perlu! Ini jalan mau diperbaiki. Pergi sana!”
Dibentak begitu, nyalinya menciut. Ia pun pergi dari jembatan itu, tertunduk lesu memanggul cangkul dan karung bekasnya. Sinar matahari petang menyorot langkah kaki gosongnya menuju gubuk beratap daun rumbia di bantaran sungai yang ia tempati bersama ibunya.
***
Tak sampai sebulan kemudian, jalan aspal di jembatan itu sudah mulus seperti disulap. Kali ini, material yang digunakan lebih berkualitas daripada biasanya lantaran presiden dan rombongannya akan datang berkunjung pekan depan. Trotoar dan besi pembatas di sisi kiri dan kanan jembatan itu juga dicat ulang dengan warna hijau-kuning cerah khas Tanah Deli.
Dari atas jembatan jalur rel kereta api, mata bocah 11 tahun itu berkaca-kaca menyaksikan jembatan jalan itu mulus dan cantik. Tidak ada lagi lubang-lubang yang bisa ia tutupinya dengan tanah. Kendaraan-kendaraan melaju dengan kencang. Melamun menatap jembatan itu di sebelah utara, bayangan ibunya yang terbaring tak bergerak di dipan bambu melintas di kepalanya. Ia kini hidup sebatang kara. Dari arah barat, kereta api jurusan Medan-Tanjungbalai mendekat. (*)
*Abul Muamar, lahir di Perbaungan, Serdang Bedagai. Menulis beberapa cerpen sejak 2013.